Feromon (serapan dari bahasa Belanda: feromoon) adalah sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seksual pada jantan maupun betina.[1]

Zat ini berasal dari kelenjar endokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat memengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies).

Penemuan feromon

sunting

Feromon pertama ditemukan di Jerman oleh Adolph Butenandt, ilmuwan yang juga menemukan hormon seksual pada manusia yaitu estrogen, progesteron dan testosteron. Ketika pertama kali ditemukan pada serangga, feromon banyak dikaitkan dengan fungsi reproduksi serangga. Para ilmuwan mula-mula melihat feromon adalah sebagai padanan dari parfum di dunia manusia.

Zat feromon pertama kalinya ditemukan oleh Jean-Henri Fabre pada serangga ketika musim semi tahun 1870-an. Ia mengamati ngengat jenis great peacock betina keluar dari kepompong dan diletakkan di kandang kawat di meja studinya, kemudian ia melihat pada malam harinya lusinan ngengat jantan berkumpul mengerubungi kandang kawat di meja studinya. "Mereka datang dari segala penjuru, tanpa aku tahu bagaimana mereka menemukan betina di mejaku ... " tulis Fabre.

Fabre menghabiskan tahun-tahun berikutnya mempelajari bagaimana ngengat-ngengat jantan menemukan betina-betinanya. Fabre sampai pada kesimpulan kalau ngengat betina menghasilkan zat kimia tertentu yang aromanya menarik ngengat-ngengat jantan.

Dengan kesimpulan Fabre ini, mulailah penelitian baru tentang feromon diteliti.

Feromon pada hewan

sunting

Kupu-kupu

sunting

Ketika kupu-kupu jantan atau betina mengepakkan sayapnya, saat itulah feromon tersebar di udara dan mengundang lawan jenisnya untuk mendekat secara seksual. Feromon seksual memiliki sifat yang spesifik untuk aktivitas biologis di saat jantan atau betina dari spesies yang lain tidak akan merespons terhadap feromon yang dikeluarkan betina atau jantan dari spesies yang berbeda.

Untuk dapat mendeteksi jalur yang dijelajahinya, individu rayap yang berada di depan mengeluarkan feromon penanda jejak (trail following pheromone) yang keluar dari kelenjar sternum (sternal gland di bagian bawah, belakang abdomen), yang dapat dideteksi oleh rayap yang berada di belakangnya. Sifat kimiawi feromon ini sangat erat hubungannya dengan bau makanannya sehingga rayap mampu mendeteksi objek makanannya.

Feromon dasar

sunting

Di samping feromon penanda jejak, para pakar etologi (perilaku) rayap juga menganggap bahwa pengaturan koloni berada di bawah kendali feromon dasar (primer pheromones). Misalnya, terhambatnya pertumbuhan/ pembentukan neoten disebabkan oleh adanya semacam feromon dasar yang dikeluarkan oleh ratu, yang berfungsi menghambat diferensiasi kelamin.

Segera setelah ratu mati, feromon ini hilang sehingga terbentuk neoten-neoten pengganti ratu. Tetapi kemudian neoten yang telah terbentuk kembali mengeluarkan feromon yang sama sehingga pembentukan neoten yang lebih banyak dapat dihambat.

Feromon dasar juga berperan dalam diferensiasi pembentukan kasta pekerja dan kasta prajurit, yang dikeluarkan oleh kasta reproduktif.

Dilihat dari biologinya, koloni rayap sendiri oleh beberapa pakar dianggap sebagai supra-organisma, yaitu koloni itu sendiri dianggap sebagai makhluk hidup, sedangkan individu-individu rayap dalam koloni hanya merupakan bagian-bagian dari anggota badan supra-organisma itu.

Perbandingan banyaknya neoten, prajurit dan pekerja dalan satu koloni biasanya tidak tetap. Koloni yang sedang bertumbuh subur memiliki pekerja yang sangat banyak dengan jumlah prajurit yang tidak banyak (kurang lebih 2 - 4 persen). Koloni yang mengalami banyak gangguan, misalnya karena terdapat banyak semut di sekitarnya akan membentuk lebih banyak prajurit (7 - 10 persen), karena diperlukan untuk mempertahankan sarang.

Ngengat

sunting

Komunikasi melalui feromon sangat meluas dalam keluarga serangga. Feromon bertindak sebagai alat pemikat seksual antara betina dan jantan. Jenis feromon yang sering dianalisis adalah yang digunakan ngengat sebagai zat untuk melakukan perkawinan. Ngengat gipsi betina dapat memengaruhi ngengat jantan beberapa kilometer jauhnya dengan memproduksi feromon yang disebut "disparlur". Karena ngengat jantan mampu mengindra beberapa ratus molekul dari betina yang mengeluarkan isyarat dalam hanya satu mililiter udara, disparlur tersebut efektif saat disebarkan di wilayah yang sangat besar sekalipun.

Semut dan lebah madu

sunting

Feromon memainkan peran penting dalam komunikasi serangga. Semut menggunakan feromon sebagai penjejak untuk menunjukkan jalan menuju sumber makanan.

Bila lebah madu menyengat, ia tak hanya meninggalkan sengat pada kulit korbannya, tetapi juga meninggalkan zat kimia yang memanggil lebah madu lain untuk menyerang.

Demikian pula, semut pekerja dari berbagai spesies mensekresi feromon sebagai zat tanda bahaya, yang digunakan ketika terancam musuh; feromon disebar di udara dan mengumpulkan pekerja lain. Bila semut-semut ini bertemu musuh, mereka juga memproduksi feromon sehingga isyaratnya bertambah atau berkurang, bergantung pada sifat bahayanya.

Kecoak

sunting

Kecoak betina menarik lawan jenisnya dengan cara mengeluarkan periplanon-B. Konon senyawa ini dimanfaatkan CIA untuk menangkap seorang mata-mata. Caranya orang yang dicurigai dikenai periplanon-B dan ditangkap kalau beraksi dengan detektor kecoak jantan. Kecoak jantan dengan sangat tepat akan menemukan orang yang di bajunya dikenai periplanon-B, walau si mata-mata mungkin tidak membaui senyawa ini.

Hamster, gajah, dan ngengat

sunting

Dari penelitian pada hewan-hewan lain, cara kerja yang sama juga ditemukan. Menurut penelitian, hamster betina menggunakan dimetil disulfida untuk menarik hamster jantan mendekat. Tapi yang ternyata mengejutkan adalah gajah dan ngengat mempunyai feromon seksual yang sama, yakni Z-7-dodesen-1-il-asetat. Walaupun sama, gajah dan ngengat tidak akan saling tertarik karena Z-7-dodesen-1-il-asetat yang dihasilkan ngengat terlalu sedikit untuk dirasakan gajah, begitu juga sebaliknya.

Feromon pada manusia

sunting

Feromon pada manusia merupakan sinyal kimia yang berada di udara yang tidak bisa dideteksi melalui bau-bauan tetapi hanya bisa dirasakan oleh VMO di dalam hidung/indra pencium. Sinyal ini dihasilkan oleh jaringan kulit khusus yang terkonsentrasi di dalam lengan. Sinyal feromon ini diterima oleh VMO dan dijangkau oleh bagian otak bernama hipotalamus. Di sinilah terjadi perubahan hormon yang menghasilkan respons perilaku dan fisiologis.

Feromon pada siklus haid

sunting

Pada tahun 1998, McClintock bersama rekannya Kathleen Stern mempublikasikan kembali hasil penelitiannya di jurnal Nature. Kali ini mereka menyatakan ada dua jenis feromon yang secara spesifik berpengaruh pada kesamaan siklus haid.

Siklus menstruasi terdiri atas tiga fase, yakni menses, pra-ovulasi, dan luteal alias pasca ovulasi. Salah satu dari feromon dihasilkan oleh perempuan pada fase pra-ovulasi dari siklusnya dan mempercepat ovulasi di fase berikut.

Feromon lain dipancarkan pada saat ovulasi berlangsung. Sinyal ini memiliki efek memperlambat siklus. Hasil akhirnya adalah berupa siklus sejumlah perempuan yang tinggal saling berdekatan.

Jatuh cinta

sunting

Fenomena feromon sebagai bentuk komunikasi ini lama-lama mulai dicoba diterapkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Terutama sejak ditemukan bahwa feromon juga dihasilkan kelenjar dalam tubuh manusia. Dan yang penting, bisa memengaruhi hormon-hormon dalam tubuh (terutama otak) manusia lainnya. Contoh paling mudah adalah "bau badan".

Lepas dari jenis bau badan menyengat hingga bikin orang lain menjauh, setiap manusia punya bau yang khas dan menjadi ciri dirinya. Oleh para ahli dianalogikan bahwa bau badan itu seperti sidik jari. Jadi, kita masing-masing punya bau yang unik dan sangat berbeda dengan manusia lainnya. Dengan demikian feromon yang dihasilkan manusia, pada masa depan bisa jadi salah satu identitas diri.

Feromon pada manusia ternyata juga berfungsi sebagai daya tarik seksual. Para ahli kimia dari Huddinge University Hospital di Swedia malah mengklaim bahwa feromon juga punya andil dalam menghasilkan perasaan suka, naksir, cinta, bahkan gairah seksual seorang manusia pada manusia lainnya.

Ini mereka buktikan saat melakukan penelitian terhadap reaksi otak 12 pasang pria-wanita sehabis mencium bau senyawa sintetik mirip feromon. Bebauan tersebut langsung bereaksi terhadap hormon estrogen (pada wanita) dan hormon testoteron (pria).

Jadi, ketertarikan manusia pada manusia lain, baik itu berupa hubungan cinta, gairah seksual, maupun dalam memilih teman, juga didasari pada bau feromon yang dihasilkan manusia.

Senyawa kimia tubuh lainnya yang berperan

sunting

Seperti yang tertulis di majalah National Geographic Indonesia, edisi Februari 2006, hasil penelitian Helen Fisher dan kawan-kawan, ketika seseorang memandang kekasih hatinya, dopamin akan merangsang bagian ventral tegmental dan caudate nucleus di otak menyala. Dalam dosis yang tepat, dopamin menciptakan kekuatan, kegembiraan, perhatian yang terpusat, serta dorongan yang kuat untuk memberikan imbalan. Itulah sebabnya jatuh cinta dapat membuat makan tak enak, tidur tak nyenyak.

Para peneliti lainnya menunjukkan bahwa gangguan kimiawi tubuh memang terbukti ketika seseorang jatuh cinta. Misalnya didapatkan bahwa kadar serotonin orang yang terobsesi dan kekasihnya 40 persen lebih rendah dari kadar serotonin orang normal.

Manusia dapat hidup rukun sampai mereka berusia lanjut juga karena senyawa kimia yang disebut oksitosin. Menurut penelitian, kesetiaan pada pasangan berhubungan dengan kadar oksitosin yang tinggi. Kadar oksitosin ini dapat ditingkatkan dengan cara masing-masing dari pasangan yang berusaha saling menyayangi, walau kadang pasangannya menjengkelkan.

Alomon dan feromon

sunting

Alomon adalah zat yang digunakan untuk komunikasi antargenus. Feromon adalah isyarat kimiawi yang terutama digunakan dalam genus yang sama seperti disekresi pada seekor semut dapat dicium oleh yang lain.

Zat kimia ini diduga diproduksi oleh kelenjar endokrin. Saat semut menyekresi cairan ini sebagai isyarat, yang lain menangkap pesan lewat bau atau rasa dan menanggapinya.

Penelitian mengenai feromon semut telah menyingkapkan bahwa semua isyarat disekresikan menurut kebutuhan koloni. Selain itu, konsentrasi feromon yang disekresikan semut bervariasi menurut kedaruratan situasi.

Perkembangan ilmu feromon

sunting

Seiring dengan berkembangnya ilmu tentang feromon, dapatlah dimengerti ternyata serangga menghasilkan bermacam-macam zat kimia yang mempengaruhi perilaku serangga sejenis lainnya.

Semut misalnya, menghasilkan feromon untuk menarik teman-temannya bergotong-royong mengangkut makanan dari tempat yang jauh ke sarang mereka. Itu sebabnya kita sering melihat semut berjalan beriring-iring.

Beberapa spesies lalat, ngengat dan kumbang juga menghasilkan zat kimia tertentu yang dioleskan ke sarang tempat meletakkan telur-telurnya. Zat-zat kimia ini akan mencegah serangga lain untuk menaruh telur di tempat yang sama, jadi mengurangi kompetisi serangga-serangga baru yang nantinya menetas dari telur tadi.

Sampai sekarang, para ilmuwan sudah mengenali lebih dari 1600 feromon yang dipakai oleh berbagai serangga, termasuk serangga-serangga yang dikategorikan hama. Karena telah teridentifikasi, feromon ini bisa dibuat dalam jumlah besar secara sintetis. Feromon sintetis ini banyak dipakai untuk dijadikan perangkap serangga.

Referensi

sunting
  1. ^ Nadesul, Handrawan. Mengintip Rahasia Seksual Si Doi. Gradien Books, Yogyakarta. Januari 2006. Hal 114.

Bacaan lanjutan

sunting
  • Yahya, Harun. "Menjelajah Dunia Semut": Harun Yahya International, 2004
  • Ismunandar. "Romansa Kimia": Harian Kompas, 2006