Limbah radioaktif

bahan radioaktif yang tidak dapat digunakan

Limbah radioaktif adalah jenis limbah yang mengandung atau terkontaminasi radionuklida pada konsentrasi atau aktivitas yang melebihi batas yang diizinkan (Clearance level) yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Definisi tersebut digunakan di dalam peraturan perundang-undangan. Pengertian limbah radioaktif yang lain mendefinisikan sebagai zat radioaktif yang sudah tidak dapat digunakan lagi, dan/atau bahan serta peralatan yang terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif dan sudah tidak dapat difungsikan/dimanfaatkan. Bahan atau peralatan tersebut terkena atau menjadi radioaktif kemungkinan karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion.[1][2][3][4][5][6]

Barel limbah

Jenis limbah radioaktif

sunting
  • Dari segi besarnya aktivitas dibagi dalam limbah aktivitas tinggi, aktivitas sedang dan aktivitas rendah.
  • Dari umurnya di bagi menjadi limbah umur paruh panjang, dan limbah umur paruh pendek.
  • Dari bentuk fisiknya dibagi menjadi limbah padat, cair dan gas.

Sumber-sumber limbah radioaktif

sunting

Limbah radioaktif umumnya berasal dari setiap pemanfaatan tenaga nuklir, baik pemanfaatan untuk pembangkitan daya listrik menggunakan reaktor nuklir, maupun pemanfaatan radiasi untuk keperluan penelitian, industri dan rumah sakit.

Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia

sunting

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Bab VI Pengelolaan Limbah Radioaktif Pasal 23, Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Pasal 5 dan penjelasannya ditentukan bahwa Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) adalah instansi pengelola limbah radioaktif. Selain itu, limbah radioaktif juga diatur dalam Peraturan pemerintah No. 27 tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. Dengan demikian, BATAN merupakan satu-satunya institusi resmi di Indonesia yang melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif. BATAN memiliki satu Pusat yang khusus bertugas dalam pengelolaan limbah radioaktif yaitu Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR). Bagi industri atau rumah sakit yang menghasilkan limbah radioaktif dapat mengirim limbahnya ke PTLR. Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia diawasi pelaksanaannya oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Penghasil limbah radioaktif dari luar BATAN wajib membayar tarif pengelolaan ke PTLR sesuai Peraturan Pemerintah No 8 tahun 2019 Diarsipkan 2019-10-17 di Wayback Machine. tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Tenaga Nuklir Nasional. Sumber radioaktif bekas yang disimpan sebagai limbah radioaktif di PTLR punya potensi untuk dimanfaatkan kembali (reuse) oleh pihak swasta, lembaga pendidikan, maupun lembaga penelitian melalui beberapa persyaratan keselamatan. Tujuan reuse adalah mengurangi impor sumber radioaktif dan mengurangi jumlah limbah radioaktif yang tersimpan di Indonesia.[7][8][9][10][11][12][13]

NORM (naturally occurring radioactive material)

sunting

Ada material-material yang secara alami bersifat radioaktif. Mengolah material-material ini dapat menghasilkan limbah radioaktif dan biasanya dikategorikan dalam NORM. Kebanyakan limbah ini adalah material pemancar partikel alpha yang berasal dari rantai peluruhan uranium dan torium. Di Indonesia, menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 1997, limbah NORM tidak dimasukkan sebagai limbah radioaktif, sehingga tidak disimpan di PTLR.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "The Geological Society of London - Geological Disposal of Radioactive Waste". www.geolsoc.org.uk. Diakses tanggal 2020-03-12. 
  2. ^ "Recycling used nuclear fuel - Orano la Hague". YouTube. Orano la Hague. 2019. Recycling used nuclear fuel - The Orano la Hague site has been recycling 96% of nuclear materials in used nuclear fuel into new fuel for decades. The remaining 4% nuclear waste is vitrified in canisters, which then require storage for about 300 years, significantly less than the storage time required for unprocessed used nuclear fuel. 
  3. ^ "The Joint Convention". IAEA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-28. 
  4. ^ "What about Iodine-129 – Half-Life is 15 Million Years". Berkeley Radiological Air and Water Monitoring Forum. University of California. 28 March 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 May 2013. Diakses tanggal 1 December 2012. 
  5. ^ Attix, Frank (1986). Introduction to Radiological Physics and Radiation Dosimetry. New York: Wiley-VCH. hlm. 2–15,468,474. ISBN 978-0-471-01146-0. 
  6. ^ Anderson, Mary; Woessner, William (1992). Applied Groundwater Modeling. San Diego, CA: Academic Press Inc. hlm. 325–327. ISBN 0-12-059485-4. 
  7. ^ "The 2007 Recommendations of the International Commission on Radiological Protection". Annals of the ICRP. ICRP publication 103. 37 (2–4). 2007. ISBN 978-0-7020-3048-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-16. 
  8. ^ Gofman, John W. Radiation and human health. San Francisco: Sierra Club Books, 1981, 787.
  9. ^ Sancar, A. et al Molecular mechanisms of mammalian DNA repair and the DNA damage checkpoints. Washington D.C.: NIH PubMed.gov, 2004.
  10. ^ Cochran, Robert (1999). The Nuclear Fuel Cycle: Analysis and Management. La Grange Park, IL: American Nuclear Society. hlm. 52–57. ISBN 0-89448-451-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-16. Diakses tanggal 2011-09-04. 
  11. ^ "Recycling spent nuclear fuel: the ultimate solution for the US?". Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 November 2012. Diakses tanggal 2015-07-29. 
  12. ^ "Continuous Plutonium Recycling In India: Improvements in Reprocessing Technology". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-06. 
  13. ^ "Global Defence News and Defence Headlines – IHS Jane's 360". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-07-25. 

Pranala luar

sunting