Relikui

Barang peninggalan atau sisa tubuh orang kudus yang sudah wafat

Di ranah agama, relikui adalah benda atau barang-barang peninggalan masa silam yang memiliki signifikansi keagamaan.[1] Relikui biasanya berupa sisa jasad atau barang-barang milik pribadi orang kudus atau tokoh lain yang dilestarikan sebagai kenang-kenangan untuk kepentingan venerasi. Relikui merupakan unsur penting di dalam beberapa aliran agama Buddha, Kristen, Islam, syamanisme, dan banyak agama lain. Istilah relikui berasal dari kata benda Latin reliquiae, artinya "sisa-sisa", maupun salah satu dari bentuk kata kerja Latin relinquere, artinya "meninggalkan atau menelantarkan". Wadah khusus untuk menyimpan satu atau beberapa buah relikui disebut relikuarium.

Relikuarium berisi tengkorak Santo Ivo (bahasa Prancis: Saint Yves) di Tréguier, Bretagne, Prancis

Relikui kuno klasik

sunting
 
Bejana yang menggambarkan kultus pahlawan Yunani untuk menghormati Oedipus (380-370 SM)

Pada zaman Yunani Kuno, sebuah kota atau kuil dapat dianggap sebagai peninggalan dari pahlawan yang dihormati atau dikultuskan, tanpa perlu memajang atau menunjukkan peninggalan fisik tubuh sang pahlawan atau benda-benda miliknya. Benda-benda lain yang dimuliakan yang berhubungan dengan pahlawan dan lebih mungkin untuk dipajang di kuil-kuil, antara lain tombak, perisai, atau persenjataan lainnya; kereta perang, kapal, atau patung; furnitur seperti kursi atau bejana; dan pakaian. Kuil Leucippides di Sparta mengklaim memajang telur Leda.[2]

Tulang-tulang tidak dianggap memiliki kekuatan tertentu yang berasal dari sang pahlawan, dengan beberapa pengecualian, seperti bahu pemberian Dewa milik Pelops yang disimpan di Olympia. Mukjizat dan penyembuhan tidak umum dikaitkan dengan mereka.[2] Sebaliknya, kehadiran relikui dimaksudkan untuk fungsi penunggu, seperti makam Oedipus disebutkan untuk melindungi Athena.[3]

Agama Hindu

sunting

Dalam agama Hindu, relikui kurang umum dibandingkan dengan agama-agama lain karena orang-orang suci yang telah meninggal kebanyakan dikremasi. Penghormatan terhadap relikui fisik mungkin berasal dengan gerakan śramaṇa atau munculnya agama Buddha, dan praktik penguburan menjadi hal yang umum setelah invasi Muslim.[4]

Agama Buddha

sunting
 
Relikui Buddha dari stupa Kanishka di Peshawar, Pakistan, sekarang di Mandalay, Myanmar (2005)

Dalam agama Buddha, relikui-relikui Buddha dan beberapa orang bijak dimuliakan. Setelah sang Buddha wafat, jasadnya dibagi menjadi delapan bagian. Setelah itu, relikui-relikui itu diabadikan dalam stupa di tempat-tempat agama Buddha tersebar, meskipun petunjuknya tidak menyebutkan relikui-relikui tersebut tidak untuk dikumpulkan atau dimuliakan.

Beberapa relikui diyakini merupakan sisa-sisa tubuh Buddha yang masih bertahan, termasuk relikui gigi Buddha yang sangat dimuliakan di Sri Lanka.

Stupa adalah bangunan yang dibuat khusus untuk relikui. Banyak kuil Buddha memiliki stupa dan secara historis, penempatan relikui di dalam stupa sering menjadi struktur awal di sekitar kuil yang akan didirikan. Saat ini, banyak stupa juga menyimpan abu atau śarīra dari pengikut Buddha yang terkenal/dihormati yang dikremasi. Beberapa kasus yang jarang terjadi, jasadnya diawetkan, contohnya dalam kasus Dudjom Rinpoche. Setahun setelah ia meninggal, jasadnya dipindahkan dari Prancis dan ditempatkan dalam stupa di salah satu biara utama dekat Boudhanath, Nepal, pada tahun 1988. Peziarah dapat melihat jasad tersebut melalui jendela kaca pada stupa.

Relikui Buddha dianggap dapat menunjukkan kepada orang-orang bahwa pencerahan adalah hal yang mungkin, untuk mengingatkan mereka bahwa Buddha adalah seorang manusia nyata dan juga menunjukkan suatu kebajikan.

Agama Kristen

sunting
 
Relikui St. Yakobus, St. Matius, St. Filipus, St. Simon, St. Thomas, St. Stefanus dan santo-santo lainnya di Seminari Nasional Santo Paus Yohannes XXIII

Sejarah

sunting

Salah satu sumber paling awal yang dimaksudkan untuk menunjukkan khasiat relikui ditemukan dalam 2 raja-Raja 13:20-21:

20 Sesudah itu matilah Elisa, lalu ia dikuburkan. Adapun gerombolan Moab sering memasuki negeri itu pada pergantian tahun.21 Pada suatu kali orang sedang menguburkan mayat. Ketika mereka melihat gerombolan datang, dicampakkan merekalah mayat itu ke dalam kubur Elisa, lalu pergi. Dan demi mayat itu kena kepada tulang-tulang Elisa, maka hiduplah ia kembali dan bangun berdiri. (Versi Internasional Baru)

Juga dikutip bahwa penghormatan relikui Polikarpus tercatat dalam Kemartiran Polikarpus (ditulis 150-160 M).[5] Dalam kaitannya dengan relikui sebagai objek, bagian yang sering dikutip adalah Kis 19:11-12, yang menyebutkan bahwa saputangan Paulus dikaruniai Tuhan dengan kekuatan menyembuhkan.

Pada gereja awal, jasad para martir dan santo tidak pernah diganggu atau dibagikan. Kuburan mereka sering tidak teridentifikasi di pemakaman-pemakaman dan katakomba Roma, yang selalu berada di luar tembok kota, tetapi martirium mulai dibangun di lokasi penguburan, dan itu dianggap bermanfaat bagi jiwa santo yang dimakamkan dekat dengan jasadnya. Beberapa "balai pemakaman" besar dibangun di situs makam martir, termasuk Basilika Santo Petrus Lama. Menurut Ensiklopedia Katolik hal itu karena mungkin ada anggapan bahwa ketika jiwa-jiwa para martir naik ke surga pada hari kebangkitan, mereka akan didampingi oleh orang-orang yang dikebumikan di dekatnya, yang akan mendapatkan bantuan dari Tuhan.[6]

Banyak kisah-kisah mukjizat dan keajaiban-keajaiban lainnya dikaitkan dengan relikui-relikui yang dimulai pada abad-abad awal gereja. Hal ini menjadi populer pada Abad Pertengahan. kisah-kisah ini dikumpulkan dalam buku-buku hagiografi, seperti Golden Legenda atau karya-karya Caesarius dari Heisterbach. Kisah-kisah tersebut membuat relikui banyak dicari-cari selama Abad Pertengahan. Pada akhir Abad Pertengahan pencarian dan pengumpulan relikui telah mencapai proporsi yang sangat besar, serta telah menyebar dari gereja ke kalangan kerajaan, dan kemudian ke kaum bangsawan dan pedagang.

Relikui dan ziarah

sunting

Roma menjadi tujuan utama bagi para peziarah Kristen karena lebih mudah diakses bagi peziarah daripada Tanah Suci. Konstantinus mendirikan basilika besar di atas makam Santo Petrus dan Paulus. Perbedaan dari kedua situs ini adalah keberadaan relikui suci. Pada abad kesebelas dan kedua belas, sejumlah besar peziarah berbondong-bondong ke Santiago de Compostela di Spanyol, tempat peninggalan Rasul Yakobus, putra Zebedeus, yang ditemukan c. 830, seharusnya disimpan.[7] Santiago de Compostela tetap menjadi situs ziarah besar, dengan sekitar 200.000 peziarah pada tahun 2012, baik yang sekuler maupun Kristen, menyelesaikan berbagai rute ziarah ke katedral di sana.[8][9]

Daftar relikui

sunting

Agama Islam

sunting
 
Jejak kaki Nabi Muhammad, diawetkan dalam makam di Eyüp, Istanbul

Di Istanbul

sunting

Banyak relikui disimpan oleh berbagai komunitas Muslim. Salah satu tempat yang menyimpan banyak relikui, lebih dari 600 benda, adalah Istana Topkapı di Istanbul.

Umat Muslim mempercayai bahwa koleksi tempat itu antara lain:

Sebagian besar benda berharga bisa dilihat di museum, tetapi benda-benda paling penting hanya dapat dilihat selama bulan Ramadhan. Ayat-ayat Al-Qur'an dibacakan di dekat relikui-relikui tersebut tanpa terputus, tetapi umat Muslim tidak menyembah relikui-relikui itu.

Jubah suci Nabi

sunting

Jubah (kherqa) yang diyakini milik Nabi Muhammad tersimpan di masjid besar di Kandahar, Afghanistan. Menurut sejarah setempat, jubah itu diberikan kepada Ahmad Shah oleh Mured Beg, pemimpin Bokhara. Jubah Suci disimpan dalam tempat terkunci, yang dibawa keluar hanya pada saat krisis besar. Pada tahun 1996 Mohammed Omar, pemimpin Taliban mengambil jubah itu untuk diperlihatkan pada sekumpulan ulama (ulama), dan ia dinyatakan sebagai Amirul Mukminin. Sebelumnya, terakhir kali jubah itu dipindahkan ketika kota tersebut dilanda epidemi kolera pada tahun 1930-an."[10]

Referensi

sunting
  1. ^ Article title [URL kosong]
  2. ^ a b Ekroth, Gunnel (2010). "Heroes and Hero-Cult". Companion to Greek Religion (dalam bahasa bahasa Inggris). Blackwell: 110-111. Diakses tanggal 19-09-2016. 
  3. ^ Sophocles (Januari 2009). The Theban Plays: Oedipus the King, Oedipus at Colonus, Antigone (dalam bahasa bahasa Inggris). Johns Hopkins University Press. hlm. xii. ISBN 978-0801891342. 
  4. ^ Aymard, Orianne (2014). When a Goddess Dies: Worshipping Ma Anandamayi after Her Death. Oxford University Press. hlm. 71. ISBN 0199368635. 
  5. ^ Head, Thomas. "The Cult of the Saints and Their Relics". The ORB: On-line Reference Book for Medieval Studies (dalam bahasa bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-17. Diakses tanggal 19-09-2016. 
  6. ^ Thurston, Herbert (1911). "Relics". The Catholic Encyclopedia (dalam bahasa bahasa Inggris). New York: Robert Appleton Company. Diakses tanggal 19-09-2016. 
  7. ^ Sorabella, Jean (April 2011). "Pilgrimage in Medieval Europe". Heilbrunn Timeline of Art History (dalam bahasa bahasa Inggris). New York: The Metropolitan Museum of Art. Diakses tanggal 19-09-2016. 
  8. ^ Beardsley, Eleanor (20-05-2013). "An Ancient Religious Pilgrimage That Now Draws The Secular". Parallels: NPR (dalam bahasa bahasa Inggris). Diakses tanggal 20-04-2015. 
  9. ^ Camino de Santiago (dalam bahasa bahasa Inggris) title=Camino de Santiago http://www.santiago-compostela.net/ title=Camino de Santiago Periksa nilai |url= (bantuan). Diakses tanggal 19-09-2016.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  10. ^ Lamb, Christina (2004). The Sewing Circles of Herat: A Personal Voyage Through Afghanistan (dalam bahasa bahasa Inggris) (edisi ke-First Perennial edition). HarperCollins. hlm. 38. ISBN 0-06-050527-3. 

Bibliografi

sunting
  • Relics, oleh Joan Carroll Cruz, OCDS, Our Sunday Visitor, Inc, 1984. ISBN 0-87973-701-8
  • Reliques et sainteté dans l'espace médiéval
  • Brown, Peter; Cult of the Saints: Its Rise and Function in Latin Christianity; University of Chicago Press; 1982
  • Vauchez, Andre; Sainthood in the Later Middle Ages; Cambridge University Press; 1997
  • Mayr, Markus; Geld, Macht und Reliquien; Studienverlag, Innsbruck, 2000
  • Mayr, Markus (Hg); Von goldenen Gebeinen; Studienverlag, Innsbruck, 2001