Konsili Nikea I

(Dialihkan dari Konsili Nicea I)

Konsili Nikea I adalah konsili para uskup sedunia yang diselenggarakan Kaisar Konstantinus Agung pada tahun 325 Masehi di kota Nikea (sekarang İznik), Provinsi Bitinia, Kekaisaran Romawi.

Konsili Nikea I
Konsili Nikea I
(lukisan dari abad ke-16)
Waktu20 Mei - 19 Juni 325
Diakui oleh
Konsili berikutnya
Konsili Konstantinopel I
PenyelenggaraKaisar Konstantinus Agung
PemimpinHosius Uskup Korduba, (dan Kaisar Konstantinus Agung)[1]
Jumlah peserta318 orang (menurut tradisi)
250–318 orang (menurut taksiran) — hanya 5 orang dari Gereja Barat
Pokok bahasanArianisme, kodrat Kristus, tanggal perayaan Paskah, penahbisan orang kasim, larangan berlutut pada hari-hari Minggu dan hari-hari dalam Masa Paskah, keabsahan pembaptisan yang dilakukan ahli bidah, orang Kristen yang murtad, dll.[2]
Dokumen dan keputusan
Syahadat Nikea Purwa,[3] 20 kanon,[4] dan sepucuk surat konsili[2]
Daftar kronologis Konsili Ekumene

Konsili ekumene ini adalah usaha pertama untuk mencapai mufakat di dalam Gereja melalui suatu majelis permusyawaratan yang mewakili segenap Dunia Kristen. Persidangan mungkin dipimpin Hosius Uskup Korduba.[5][6]

Capaian-capaian utamanya adalah penuntasan sengketa Kristologi mengenai kodrat ilahi Allah Putra dan hubungannya dengan Allah Bapa,[3] penyusunan bagian pertama Syahadat Nikea, penyeragaman tanggal perayaan Paskah,[7] dan promulgasi hukum kanon perdana.[4][8]

Ikthisar

sunting
 
Ikon Ortodoks Timur yang menggambarkan persidangan Konsili Nikea I

Konsili Nikea I adalah konsili ekumene yang pertama di dalam sejarah Gereja. Konsili inilah yang berjasa merumuskan doktrin pertama yang dianut segenap umat Kristen, yakni Syahadat Nikea. Dengan dirumuskannya Syahadat Nikea, muncul preseden bagi konsili-konsili tingkat lokal maupun regional (sinode) untuk merumuskan uangkapan-ungkapan kepercayaan dan kanon-kanon ajaran yang lurus demi menciptakan kesatuan iman Dunia Kristen.[9]

Ekumene (οἰκουμένη) adalah kata Yunani yang secara harfiah berarti "yang berpenghuni". Di ruang wacana, kata "ekumene" digunakan dengan makna "sedunia", tetapi cakupan makna "sedunia" dari kata ini pada umumnya dibatasi menjadi "dunia berpenghuni yang sudah dikenal",[10] dan ketika itu sinonim dengan wilayah Kekaisaran Romawi. Istilah ini diketahui pertama kali digunakan untuk menyifatkan sebuah konsili oleh Eusebius sekitar tahun 338 di dalam karya tulisnya, Riwayat Hidup Konstantinus 3.6,[11] tepatnya di dalam kalimat "ia menyelenggarakan konsili ekumene" (bahasa Yunani: σύνοδον οἰκουμενικὴν συνεκρότει, sinodon ekumeniken sinekrotei).[12] Bentuk pemakaian yang sama juga terdapat dalam sepucuk surat dari Konsili Konstantinopel I yang dikirimkan kepada Paus Damasus I beserta para uskup Gereja Latin pada tahun 382.[13]

Salah satu tujuan penyelenggaraan Konsili Nikea I adalah menuntaskan perselisihan yang muncul di tengah-tengah jemaat di Aleksandria mengenai kodrat Sang Putra dalam hubungannya dengan Sang Bapa, khususnya silang sengketa antara pendapat yang mengatakan bahwa Sang Putra tidak berpermulaan karena "diperanakkan" Sang Bapa dari keberadaan-Nya sendiri, dan pendapat yang mengatakan bahwa Sang Putra memiliki permulaan karena diciptakan Sang Bapa dari ketiadaan.[14] Pendapat yang pertama diusung Aleksander Uskup Aleksandria dan diakonnya yang bernama Atanasius, sementara pendapat yang kedua diusung Arius, seorang presbiter Keuskupan Aleksandria yang populer. Para peserta konsili, nyaris tanpa kecuali, memutuskan untuk membidahkan pendapat kubu Arius beserta para pengikutnya. Dari kira-kira 250–318 peserta, hanya dua orang yang menolak mengesahkan rumusan syahadat. Kedua-duanya dijatuhi sanksi pengasingan ke Iliria bersama-sama Arius.[9][15]

Konsili ini juga melahirkan kesepakatan penentuan tanggal Paskah, hari yang paling diistimewakan di dalam penanggalan Gereja. Di dalam sepucuk epistola yang dialamatkan kepada jemaat di Aleksandria, kesepakatan tersebut dijabarkan secara sederhana sebagai berikut:

Kami kirimkan pula kepada kamu kabar baik tentang hari suci Paskah, bahwasanya perkara itu pun sudah dituntaskan sebagai pengabulan atas doa-doa kamu. Semua saudara di Timur yang selama ini mengikuti amalan orang Yahudi, untuk seterusnya harus mengikuti amalan jemaat di Roma, yang juga adalah amalan kamu sendiri, dan amalan kami semua yang sedari dulu merayakan Paskah bersama-sama dengan kamu.[16]

Sebagai ajang perembukan aspek-aspek teknis Kristologi yang pertama kali digelar,[17] konsili ini penting secara historis karena merupakan usaha pertama untuk mencapai mufakat di dalam tubuh Gereja melalui suatu majelis permusyawaratan yang mewakili segenap Dunia Kristen.[17] Dengan terselenggaranya konsili ini, lahirlah preseden bagi konsili-konsili umum selanjutnya untuk mengesahkan syahadat dan kanon. Konsili Nikea I sudah jamak dianggap sebagai tonggak sejarah yang mengawali zaman Tujuh Konsili Ekumene dalam sejarah Kekristenan.[18]

Hakikat dan sasaran

sunting
 
Konstantinus Agung, Kaisar Romawi yang mengundang para uskup untuk bersidang di Nikea demi mengatasi perpecahan di dalam tubuh Gereja, mosaik di Haya Sofia, Konstantinopel, ca. 1000)

Konsili Nikea I, konsili umum pertama di dalam sejarah Gereja, diselenggarakan oleh Kaisar Konstantinus Agung atas rekomendasi sinode yang dilangsungkan pada Masa Paskah tahun 325 di bawah pimpinan Hosius Uskup Korduba, atau lebih tepatnya sinode yang diselenggarakan Hosius dengan dukungan Konstantinus Agung.[19] Sinode ini diberi tugas menginvestigasi kekisruhan yang timbul akibat kontroversi ajaran Arius di wilayah Timur-Yunani, yakni kawasan timur Kekaisaran Romawi, tempat bahasa Yunani digunakan sebagai bahasa pergaulan.[20] Bagi sebagian besar uskup, ajaran-ajaran Arius adalah bidah dan mengancam keselamatan jiwa-jiwa umat beriman.[21] Pada musim panas tahun 325, uskup-uskup dari seluruh provinsi Kekaisaran Romawi diundang bersidang di Nikea (bahasa Yunani: Νίκαια, bahasa Latin: Nicaea), kota yang paling mudah dijangkau kebanyakan delegasi, terutama delegasi-delegasi dari Asia Kecil, Georgia, Armenia, Suriah, Mesir, Yunani, dan Trakia.

Menurut Warren H. Carroll, di dalam Konsili Nikea I, "Gereja mengambil langkah besarnya yang pertama untuk merumuskan doktrin-terwahyu secara lebih saksama demi menjawab tantangan dari teologi bidah."[22]

Peserta

sunting

Meskipun Kaisar Konstantinus Agung mengundang semua uskup di Kekaisaran Romawi, yang kala itu berjumlah 1.800 orang (kira-kira 1.000 orang uskup di kawasan barat dan 800 orang uskup di kawasan timur), hanya sedikit saja yang datang memenuhi undangan, dan jumlahnya tidak diketahui secara pasti. Menurut keterangan Eusebius Uskup Kaisarea-Palestina, ada lebih dari 250 orang uskup yang hadir.[23] Menurut keterangan Atanasius Uskup Aleksandria, ada 318 orang uskup yang hadir.[12] Menurut Eustasius Uskup Antiokhia, ada "kira-kira 270 orang" uskup yang hadir.[24] Baik Eusebius, Atanasius, maupun Eustasius menghadiri Konsili Nikea I. Kemudian hari, Sokrates Skolastikus mencatat kehadiran lebih dari 300 orang uskup,[25] sementara Evagrius,[26] Hilarius Uskup Poitiers,[27] Hieronimus,[28] Dionisius Eksiguus,[29] dan Tiranius Rufinus[30] mencatat kehadiran 318 orang uskup. Angka 318 inilah yang terabadikan di dalam liturgi Gereja Ortodoks Timur[31] dan Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria.

Para peserta konsili datang dari segenap penjuru wilayah Kekaisaran Romawi, termasuk Britania, bahkan ada pula peserta yang datang dari luar negeri, yakni delegasi dari jemaat-jemaat Kristen di Kekaisaran Persia.[32] Para uskup yang memenuhi undangan kaisar dibebaskan dari biaya perjalanan pulang-pergi maupun ongkos penginapan. Uskup-uskup tersebut tidak datang seorang diri. Masing-masing diizinkan membawa serta dua orang presbiter dan tiga orang diakon, jadi jumlah seluruh hadirin mungkin saja lebih dari 1.800 orang. Menurut keterangan Eusebius, nyaris tidak terhitung banyaknya presbiter, diakon, dan akolit yang hadir menemani uskup mereka. Menurut daftar dari sebuah naskah Suryani yang memuat nama-nama uskup peserta dari belahan Dunia Timur, ada dua puluh orang uskup dari Koile Suriah, sembilan belas orang uskup dari Palestina, sepuluh orang uskup dari Fenisia, dan enam orang uskup dari Arab, sementara selebihnya datang dari Asyur, Mesopotamia, Persia, dan negeri-negeri lain. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa ketika itu jabatan uskup (penilik jemaat) belum dibedakan dari jabatan presbiter (penatua jemaat).[33][34]

Mayoritas uskup yang hadir berasal dari wilayah timur Kekaisaran Romawi, dua di antaranya membawahi banyak uskup lain, yakni Aleksander Uskup Aleksandria dan Eustasius Uskup Antiokhia. Banyak diantaranya adalah pengaku iman yang hadir dengan bekas-bekas luka aniaya pada wajah mereka, antara lain Pafnusius Uskup Tebais, Potamon Uskup Heraklea, dan Paulus Uskup Neokaisarea. Keterangan ini didukung sarjana Patristika Timothy Barnes di dalam bukunya, Constantine and Eusebius.[35] Secara historis, pengaruh para pengaku iman dengan bekas-bekas luka aniaya pada tubuh mereka dianggap sangat penting, tetapi kini dipertanyakan dunia kesarjanaan mutakhir.[30]

Peserta lain yang terkenal adalah Eusebius Uskup Nikomedia (rohaniwan pembaptis Konstantinus Agung), Eusebius Uskup Kaisarea-Palestina (Bapa Sejarah Gereja), Nikolaus Uskup Mira (riwayat hidupnya menjadi cikal bakal legenda Sinterklas), Makarius Uskup Yerusalem (kemudian hari gigih membela Atanasius), Aristakes Katolikos Armenia (anak kandung Santo Gregorius Sang Pencerah), Leonsius Uskup Kaisarea-Mazaka (orang saleh yang digelari Malaikat Perdamaian), Yakub Uskup Nusaybin (mantan pertapa yang terkenal karena mukjizat-mukjizatnya), Hipasius Uskup Ganggra, Protogenes Uskup Sardika, Melisius Uskup Sebastopolis, Akileus Uskup Larisa (dijuluki Atanasius dari Tesalia),[36] dan Spiridon Uskup Trimitous (uskup yang menafkahi diri dengan menggembalakan ternak).[37] Peserta dari luar negeri adalah Yohanes Uskup Persia dan India,[38] Teofilus Uskup Goth, dan Stratofilus Uskup Pityus dari Georgia.

Provinsi-provinsi penutur bahasa Latin mengutus paling sedikit lima orang wakil, yakni Markus Uskup Kalabria dari Provinsi Italia, Sesilianus Uskup Kartago dari Provinsi Afrika, Hosius Uskup Korduba dari Provinsi Hispania, Nikasius Uskup Divio dari Provinsi Galia,[36] dan Domnus Uskup Sirmium dari Provinsi Panonia Sekunda di tepi Sungai Donau.

Atanasius, yang kemudian hari tampil mengemuka sebagai Bapa Gereja pemberantas Arianisme, menghadiri Konsili Nikea I sebagai diakon muda, pembantu Aleksander Uskup Aleksandria. Aleksander Uskup Agung Konstantinopel masih seorang presbiter ketika menghadiri Konsili Nikea I mewakili atasannya, Uskup Heraklea yang sudah uzur.[36]

Para pendukung Arius adalah Sekundus Uskup Ptolemais, Teonus Uskup Marmarika, Zefirius (atau Zopirus), dan Dates, semuanya berasal dari Provinsi Libya Pentapolis. Pendukung lainnya adalah Eusebius Uskup Nikomedia, Paulinus Uskup Tirus, Aksius Uskup Lida, Menofantus Uskup Efesus, dan Teognis Uskup Nikea.[36][39]

"Dalam semarak warna ungu bersanding kencana, Konstantinus berkirab memasuki balai sidang pada hari pembukaan konsili, yang mungkin sekali jatuh pada awal bulan Juni. Dengan takzim ia mempersilahkan para uskup untuk duduk lebih dahulu."[5] Sebagaimana diriwayatkan Eusebius, Konstantinus "sendiri berjalan membelah kerumunan hadirin, laksana duta surgawi utusan ilahi, berbusana serba gemerlap seakan-akan bertatah cahaya, memantulkan warna jubah ungu nan gilang-gemilang diadun emas permata."[40] Kaisar hadir selaku pemantau dan pemimpin sidang, tetapi tidak ikut memberi suara secara resmi. Konstantinus Agung mengatur jalannya konsili mengikuti tata tertib persidangan senat Romawi. Hosius Uskup Korduba mungkin memimpin sesi pembahasan, dan mungkin sekali mengemban tugas sebagai utusan paus.[5] Eusebius Uskup Nikomedia mungkin sekali menyampaikan kata sambutan.[5][41]

Agenda dan prosedur

sunting

Agenda yang dibahas adalah sebagai berikut:

  1. Pokok permasalahan yang dikemukakan Arius berkenaan dengan hubungan antara Allah Bapa dan Allah Putra (bukan hanya dalam wujud inkarnasi-Nya sebagai Yesus Kristus, melainkan juga dalam kodrat-Nya sebelum dunia diciptakan), yakni apakah Sang Bapa dan Sang Putra hanya esa dalam karsa ilahi, atau juga esa dalam keberadaan?
  2. Tanggal perayaan Paskah
  3. Skisma pengikut Melesius
  4. Tata tertib Gereja (menghasilkan 20 kanon)
    1. Struktur organisasi Gereja, khususnya jenjang para uskup
    2. Standar adab yang berpadanan dengan martabat rohaniwan, yakni hal-ihwal tahbisan di semua jenjang serta kelayakan perilaku dan latar belakang rohaniwan
    3. Rekonsiliasi orang-orang yang pernah murtad (menghasilkan norma-norma pertobatan dan penyilihan umum)
    4. Penerimaan kembali mantan ahli bidah dan ahli skisma, termasuk pedoman untuk menentukan wajib tidaknya tahbis ulang dan baptis ulang
    5. Amalan-amalan peribadatan, termasuk tugas-tugas diakon, dan amalan berdoa sambil berdiri dalam ibadat[42]

Konsili Nikea I dibuka secara resmi pada tanggal 20 Mei di bangsal tengah istana kaisar di Nikea. Agenda yang pertama kali dibahas adalah permasalahan Arius. Kaisar Konstantinus Agung baru tiba di Nikea pada tanggal 14 Juni.[43] Selama persidangan berlangsung, tokoh-tokoh yang tampil mengemuka adalah Arius dan para pendukungnya. "Sekitar 22 orang uskup di bawah pimpinan Eusebius Uskup Nikomedia, hadir untuk mendukung Arius. Meskipun demikian, ketika beberapa bagian yang lebih mencengangkan dari karya-karya tulis Arius dibacakan, para hadirin nyaris tanpa kecuali mengecam karya-karya tulis tersebut sebagai penghujatan terhadap Allah."[5] Teognis Uskup Nikea dan Maris Uskup Kalsedon adalah dua orang di antara para peserta yang mula-mula mendukung Arius.

Eusebius Uskup Kaisarea-Palestina mengingatkan hadirin akan syahadat upacara pembaptisan di keuskupannya, yang selanjutnya ia tawarkan sebagai sarana rekonsiliasi. Mayoritas uskup setuju. Para sarjana pernah menyangka bahwa rumusan Syahadat Nikea Purwa didasarkan atas isi penyampaian Eusebius, tetapi sebagian besar kini beranggapan bahwa rumusan tersebut bersumber dari syahadat upacara pembaptisan di Keuskupan Yerusalem, sebagaimana yang diusulkan Hans Lietzmann.

Semua usulan terkait syahadat yang dikemukakan uskup-uskup berhaluan ortodoks disetujui hadirin. Sesudah sebulan penuh membahas agenda ini, konsili akhirnya mempromulgasikan Syahadat Nikea Purwa pada tanggal 19 Juni. Rumusan ungkapan iman tersebut diterima semua uskup, "kecuali dua orang uskup asal Libya yang sudah sejak semula sangat dekat dengan Arius".[22] Tidak ada catatan sejarah mengenai penolakan mereka, yang jelas tanda tangan mereka tidak tertera pada naskah syahadat. Konsili berlanjut ke pembahasan perkara-perkara ringan sampai tanggal 25 Agustus.[43]

Kontroversi ajaran Arius

sunting
 
Gambar Konsili Nikea I, Konstantinus Agung, serta pembidahan dan pembakaran buku-buku Arius, ilustrasi dalam buku kompendium hukum kanon dari kawasan utara Italia, ca. 825

Kontroversi ajaran Arius muncul di Aleksandria ketika Arius, seorang presbiter yang baru saja dipulihkan jabatannya,[44] mulai menyebarluaskan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran pimpinannya sendiri, yakni Aleksander Uskup Aleksandria. Ajaran-ajaran tersebut berkisar pada kodrat dan hubungan Allah (Allah Bapa) dengan Putra Allah (Yesus). Silang pendapat terjadi lantaran adanya perbedaan pandangan mengenai hakikat Allah dan maksud dari pernyataan bahwa Yesus adalah Putra Allah. Aleksander berpendirian bahwa Sang Putra memiliki kodrat ilahi yang sama dengan Sang Bapa, dan sama kekalnya dengan Sang Bapa, karena mustahil Sang Putra sungguh-sungguh adalah Putra Allah jika tidak demikian adanya.[14][45]

Arius menitikberatkan supremasi dan ketiadataraan Allah Bapa, bahwasanya Sang Bapa saja yang mahakuasa dan mahaananta, dan oleh karena itu keilahian Sang Bapa sepatutnya lebih besar daripada keilahian Sang Putra. Arius mengajarkan bahwa Sang Putra memiliki permulaan, dan tidak memiliki sifat kekal maupun keilahian sejati Sang Bapa, tetapi "diper-Allah" atas izin dan kuasa Sang Bapa, dan bahwa sesungguhnya Sang Putra adalah ciptaan Allah yang pertama dan yang paling sempurna.[14][45]

Diskusi dan perdebatan seputar kontroversi ajaran Arius dalam Konsili Nikea I kira-kira berlangsung dari tanggal 20 Mei sampai 19 Juni 325.[45] Menurut riwayat-riwayat legendaris, perdebatan berlangsung panas sampai-sampai wajah Arius ditinju Nikolaus Uskup Mira, tokoh yang kemudian hari dihormati sebagai orang kudus.[46] Informasi ini hampir dapat dipastikan apokrif, mengingat Arius sendiri tidak hadir di balai sidang karena bukan seorang uskup.[47]

Sebagian besar perdebatan berkisar pada perbedaan istilah "dijadikan" atau "diciptakan" dengan istilah "diperanakkan". Para pengikut Arius menganggap istilah-istilah tersebut pada hakikatnya sama saja, sementara pengikut-pengikut Aleksander justru membedakannya. Arti yang tepat dari banyak kata yang digunakan dalam perdebatan di Nikea masih tetap tidak jelas bagi para penutur bahasa-bahasa lain. Kata-kata Yunani seperti "hakikat" (ousia), "pribadi" (hipostasis), "kodrat" (fisis), dan "diri" (prosopon) mengandung beragam makna yang bersumber dari filsuf-filsuf pra-Kristen, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak diperjelas maksudnya. Selain itu, kata homoousia mula-mula tidak disukai banyak uskup karena sudah jamak digunakan golongan Gnostis di dalam teologi mereka, apalagi golongan Gnostis sudah dibidahkan sinode-sinode yang diselenggarakan di Antiokhia antara tahun 264 dan 268.

Argumen pro Arianisme

sunting

Menurut keterangan-keterangan tertulis yang sintas, Presbiter Arius mengemukakan argumen pro supremasi Allah Bapa. Ia berpendirian bahwa Putra Allah tercipta atas kehendak Sang Bapa, dan dengan demikian Sang Putra adalah makhluk Allah, diperanakkan secara langsung dari Allah Yang Mahakekal lagi Mahaananta. Arius menegaskan bahwa Sang Putra adalah makhluk pertama yang diciptakan Allah sebelum segala abad, oleh karena itu Sang Putra memiliki permulaan, dan hanya Sang Bapa yang tidak berpermulaan. Arius juga mengajarkan bahwa segala ciptaan lain diciptakan melalui Sang Putra. Dengan demikian, para pengikut Arius mengatakan bahwa hanya Sang Putra yang diciptakan dan diperanakkan Allah secara langsung, dan oleh karena itu ada waktunya Sang Putra tidak ada. Arius percaya bahwa Putra Allah memiliki kemampuan untuk bertindak benar maupun keliru seturut kehendak bebasnya sendiri, dan "karena sejatinya ia adalah seorang putra, maka sudah tentu ia ada sesudah Sang Bapa, sehingga ada waktunya ia tidak ada, dan dengan demikian ia adalah makhluk yang tidak mahaananta",[48] serta lebih rendah daripada Allah Bapa. Pemikiran semacam inilah yang membuat Arius berpendirian bahwa keilahian Sang Bapa lebih besar daripada keilahian Sang Putra. Para pengikut Arius merujuk kepada ayat-ayat Kitab Suci seperti "Bapa lebih besar daripada Aku" (Yohanes 14:28) dan "Ia adalah ... yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan" (Kolose 1:15).

Argumen kontra Arianisme

sunting
 
Gambar Arius ditaklukkan Konsili Nikea I dan bertekuk lutut di bawah kaki Kaisar Konstantinus Agung

Pandangan yang berseberangan dengan Arianisme berpangkal pada gagasan bahwa ihwal memperanakkan Sang Putra adalah kodrat kekal Sang Bapa. Dengan demikian, Sang Bapa senantiasa adalah seorang Bapa, dan Sang Bapa maupun Sang Putra senantiasa ada bersama-sama, secara kekal, setara, dan sehakikat.[49] Oleh karena itu argumen kontra Arianisme menegaskan bahwa Logos "diperanakkan secara kekal", sehingga tidak berpermulaan. Pihak-pihak yang menentang Arius percaya bahwa menganut pandangan Arius sama saja dengan menghancurkan keesaan Allah dan menimpangkan kesetaraan Sang Putra dengan Sang Bapa. Mereka berpendirian bahwa pandangan semacam itu menyalahi ayat-ayat Kitab Suci seperti "Aku dan Bapa adalah satu" (Yohanes 10:30) dan "Firman itu adalah Allah" (Yohanes 1:1), sebagaimana ayat-ayat tersebut ditafsirkan. Sama seperti yang dilakukan Atanasius,[50] mereka menegaskan bahwa Sang Putra tidak berpermulaan, bahkan "keluar secara kekal" dari Sang Bapa, sehingga sama kekal dan setara dengan Allah dalam segala aspek.[51]

Hasil debat

sunting

Konsili Nikea I memaklumkan bahwa Sang Putra adalah "Allah sejati", sama kekalnya dengan Sang Bapa, dan diperanakkan dari Allah itu sendiri, dengan alasan bahwa doktrin inilah yang paling sempurna merangkum penjabaran mengenai Sang Putra di dalam Kitab Suci maupun keyakinan Kristen tradisional mengenai Sang Putra yang diwariskan para Rasul. Keyakinan ini dituangkan para uskup ke dalam Syahadat Nikea, cikal bakal dari syahadat Kristen yang sekarang dikenal dengan nama Syahadat Nikea-Konstantinopel.[52]

Syahadat Nikea

sunting
 
Ikon yang menggambarkan Kaisar Konstantinus bersama-sama para uskup peserta Konsili Nikea I tahun 325 membentangkan naskah Syahadat Nikea-Konstantinopel tahun 381

Salah satu prakarsa Konsili Nikea I adalah merumuskan syahadat, yakni ungkapan sekaligus ikhtisar iman Kristen. Ketika itu sudah ada beberapa rumusan syahadat. Banyak di antaranya yang dapat diterima para peserta konsili, termasuk Arius. Sejak awal sejarah Kekristenan, sudah ada berbagai macam rumusan syahadat yang digunakan umat Kristen sebagai sarana identifikasi, yakni sarana untuk menerima dan mengakui seseorang sebagai sesama pengikut Kristus, teristimewa dalam upacara pembaptisan.

Sebagai contoh, jemaat di Roma sudah mengenal dan menggunakan Syahadat Para Rasul, khususnya dalam Masa Prapaskah dan Masa Paskah. Konsili Nikea I melahirkan satu syahadat khusus yang berguna untuk menjabarkan iman Gereja secara jelas, untuk menerima orang-orang yang membenarkannya, dan untuk mengecualikan orang-orang yang mengingkarinya.

Sejumlah unsur khas di dalam Syahadat Nikea mungkin berasal dari Hosius Uskup Korduba. Beberapa di antaranya khusus ditambahkan untuk melawan pandangan Arianisme.[14][53]

  1. Yesus Kristus digelari "Terang dari Terang" dan "Allah sejati dari Allah sejati" untuk menegaskan keilahiannya
  2. Yesus Kristus dikatakan "diperanakkan, bukan dijadikan" untuk menegaskan bahwa ia bukanlah makhluk biasa yang diadakan dari ketiadaan melainkan Putra sejati Allah yang mengada "dari zat Sang Bapa".
  3. Yesus Kristus disifatkan "esa dalam keberadaan dengan Sang Bapa" untuk menegaskan bahwa sekalipun Yesus Kristus adalah "Allah sejati" dan Allah Bapa juga adalah "Allah sejati", kedua-duanya esa dalam keberadaan, selaras dengan ayat Kitab Suci yang berbunyi "Aku dan Bapa adalah satu" (Yohanes 10:30). Menurut Eusebius Uskup Kaisarea-Palestina, istilah homoousios, yang berarti sehakikat (sama zat), berasal dari Kaisar Konstantinus Agung, yang ketika itu mungkin memutuskan untuk menggunakan kewenangannya. Meskipun demikian, pemakaian kata ini tidak menjelaskan sejauh mana Yesus Kristus "esa dalam keberadaan" dengan Allah. Isu-isu yang timbul dari ketaksaan ini kemudian hari dipermasalahkan secara serius.

Bagian akhir syahadat diikuti sederet anatema yang sengaja disusun sedemikian rupa untuk mengingkari pernyataan-pernyataan para pengikut Arius secara eksplisit.

  1. Pandangan bahwa "Sang Putra pernah tidak ada" ditolak demi mempertahankan pandangan bahwa Sang Putra sama kekalnya dengan Sang Bapa.
  2. Pandangan bahwa Sang Putra "dapat saja atau mustahil tidak mengalami perubahan" ditolak demi mempertahankan pandangan bahwa Sang Putra sama seperti Sang Bapa yang lepas dari segala bentuk kelemahan atau kefanaan, teristimewa pandangan bahwa Sang Putra mustahil lepas dari kesempurnaan akhlak yang mutlak.

Dengan demikian, alih-alih merumuskan syahadat upacara pembaptisan yang dapat diterima para pengikut Arius maupun pihak yang menentang mereka, konsili justru mempromulgasikan syahadat yang nyata-nyata bertentangan dengan paham Arianisme dan mustahil dapat diselaraskan dengan inti sari keyakinan yang dianut golongan pengikut Arius. Isi syahadat ini terabadikan di dalam sepucuk surat yang dikirim Eusebius kepada jemaatnya di Kaisarea-Palestina, di dalam karya tulis Atanasius, dan di dalam karya tulis pujangga-pujangga lain. Meskipun golongan Homoousion (artinya "sama zat", istilah Yunani Koine ini sudah dibidahkan sinode-sinode Antiokhia tahun 264–268), yakni pihak yang paling lantang menentang para pengikut Arius, adalah golongan minoritas, syahadat ini diterima konsili sebagai ungkapan iman-bersama para uskup peserta maupun sebagai iman purba segenap Gereja.

Hosius Uskup Korduba, seorang penganut Homoousion tulen, mungkin saja adalah orang yang berjasa mengarahkan konsili sehingga dapat mencapai mufakat. Pada waktu penyelenggaraan Konsili Nikea I, Hosius adalah orang kepercayaan kaisar dalam segala ihwal urusan Gereja. Nama Hosius tercantum pada baris pertama di dalam daftar nama uskup peserta, dan disebut Atanasius sebagai penyumbang rumusan kalimat-kalimat Syahadat Nikea. Pemimpin-pemimpin besar, seperti Eustasius Uskup Antiokhia, Aleksander Uskup Aleksandria, Atanasius, dan Marselus Uskup Angkira, adalah penganut Homoousion.

Meskipun bersimpati pada Arius, Eusebius Uskup Kaisarea-Palestina menaati keputusan konsili dan menerima seluruh kalimat syahadat. Mulanya ada segelintir uskup yang mendukung Arius. Usai sebulan penuh bermusyawarah, pada tanggal 19 Mei, tinggal dua orang saja yang masih bertahan mendukungnya, yakni Teonas Uskup Marmarika di Libya, dan Sekundus Uskup Ptolemais. Maris Uskup Kalsedon, yang semula mendukung paham Arianisme, pada akhirnya menerima seluruh isi Syahadat Nikea. Eusebius Uskup Nikomedia dan Teognis Uskup Nikea juga menerima Syahadat Nikea, kecuali sejumlah pernyataan tertentu.

Kaisar Konstantinus menggenapi janjinya untuk menjatuhkan hukuman buang kepada siapa saja yang menolak Syahadat Nikea. Sebagai konsekuensi dari penolakan mereka terhadap Syahadat Nikea, Arius, Teonas, dan Sekundus diekskomunikasi dan diasingkan ke Iliria. Karya-karya tulis Arius diperintahkan untuk disita dan dijadikan umpan api, sementara para pendukung Arius dicap sebagai "musuh-musuh Kristen".[54] Sekalipun demikian, kontoversi ajaran Arius terus berlanjut di berbagai bagian wilayah Kekaisaran Romawi.[55]

Kemudian hari, Syahadat Nikea diamandemen dalam Konsili Konstantinopel I tahun 381. Syahadat Nikea hasil amandemen inilah yang sekarang disebut Syahadat Nikea-Konstantinopel.

Penentuan tanggal Paskah secara swakarya

sunting

Hari raya Paskah berkaitan dengan upacara Kenduri Pesah (digelar pada malam purnama pertama sesudah ekuinoks musim semi) dan perayaan Roti Tidak Beragi (tujuh hari berturut-turut, diawali upacara Kenduri Pesah) dalam agama Yahudi, karena umat Kristen meyakini bahwa peristiwa penyaliban dan kebangkitan Yesus terjadi bertepatan dengan hari-hari besar tersebut.

Sejak zaman Paus Sistus I, beberapa kelompok umat Kristen sudah menetapkan salah satu hari Minggu pada bulan Nisan sebagai tanggal Paskah. Untuk mengetahui hari-hari di dalam penanggalan candra yang bertepatan dengan hari-hari bulan Nisan, umat Kristen bergantung kepada komunitas Yahudi. Pada abad ke-3, beberapa orang Kristen mulai menyuarakan rasa tidak puas akan apa yang mereka pandang sebagai ketidak keruan penanggalan Yahudi. Menurut mereka, umat Yahudi sudah keliru menetapkan hari-hari bulan Nisan, karena hari keempat belasnya jatuh sebelum ekuinoks musim semi.[56]

Menurut mereka, sepatutnya umat Kristen menghentikan kebiasaan mengandalkan informasi dari narasumber Yahudi dan membuat perhitungan sendiri agar dapat menetapkan hari-hari di dalam penanggalan candra yang dapat disebut hari-hari bulan Nisan, kemudian menetapkan tanggal Paskah di dalam bulan Nisan Kristen hasil perhitungan sendiri ini, yang nantinya akan selalu jatuh sesudah ekuinoks musim semi. Amalan yang mendobrak tradisi ini mereka landaskan pada dalil bahwa penanggalan Yahudi sudah menyimpang dari tradisi dengan mengabaikan ekuinoks musim semi, dan bahwasanya hari ke-14 bulan Nisan dahulu kala tidak pernah jatuh sebelum ekuinoks musim semi.[57] Yang lain beranggapan bahwa amalan bergantung kepada penanggalan Yahudi sepatutnya dilestarikan, sekalipun perhitungan Yahudi tampak keliru dari sudut pandang Kristen.[58]

Silang pendapat antara pihak yang hendak membuat perhitungan sendiri dan pihak yang hendak terus mengandalkan penanggalan Yahudi dituntaskan secara resmi oleh Konsili Nikea I, dengan mengesahkan perhitungan swakarya yang sudah jamak digunakan di Roma dan Aleksandria. Sejak saat itu, tanggal Paskah ditetapkan jatuh pada hari Minggu dalam bulan Nisan Kristen, yakni sekelompok hari di dalam penanggalan candra yang ditetapkan sebagai hari-hari bulan Nisan menurut tolok ukur Kristen, bukan lagi menurut perhitungan umat Yahudi.[7] Pihak yang hendak terus mengandalkan penanggalan Yahudi (kemudian hari dilabeli para sejarawan dengan sebutan "protopaskites" yang berarti "golongan purwapaskah") diimbau untuk mengikuti pendirian mayoritas. Kenyataan bahwa tidak semuanya serta-merta menerapkan keputusan ini terungkap dari keberadaan berbagai khotbah,[59] kanon,[60] dan makalah[61] yang menentang amalan golongan purwapaskah pada akhir abad ke-4.

Dua aturan tersebut, yakni lepas dari ketergantungan terhadap penanggalan Yahudi dan keseragaman tanggal Paskah di seluruh dunia, merupakan satu-satunya ketentuan terkait hari raya Paskah yang ditetapkan secara eksplisit oleh Konsili Nikea I. Tata cara perhitungannya tidak dijabarkan sama sekali, karena pada praktiknya terus disempurnakan selama berabad-abad dan menimbulkan sejumlah kontroversi (baca juga artikel Computus dan artikel Pembaharuan tanggal Paskah). Konsili Nikea I tidak secara khusus menetapkan bahwa Paskah harus dirayakan pada hari Minggu.[62]

Konsili Nikea I juga tidak secara khusus menetapkan bahwa hari raya Paskah tidak boleh bertepatan dengan tanggal 14 bulan Nisan (hari pertama perayaan Roti Tidak Beragi, yang kini lazim disebut "Paskah Yahudi") menurut penanggalan Ibrani. Dengan mengesahkan peralihan ke perhitungan swakarya, Konsili Nikea I telah memisahkan penentuan tanggal Paskah dari segala macam bentuk ketergantungan, baik positif maupun negatif, terhadap tata penanggalan Yahudi. Proviso Zonaras, yakni klaim bahwa hari raya Paskah harus jatuh sesudah tanggal 14 bulan Nisan menurut penanggalan Ibrani, baru muncul beberapa abad kemudian. Ketika itu, akumulasi kekeliruan dalam tata penanggalan Yulius, baik kala candra maupun kala surya, menyingkap kenyataan bahwa hari raya Paskah menurut penanggalan Yulius selalu jatuh sesudah tanggal 14 bulan Nisan menurut penanggalan Ibrani.[63]

Skisma golongan Melesius

sunting

Pemberantasan skisma golongan Melesius, salah satu sempalan Kristen purba, adalah perkara penting lain yang menjadi salah satu pokok bahasan Konsili Nikea I. Konsili memutuskan bahwa Melesius harus tetap tinggal di dalam kota Likopolis yang terletak di Mesir, tetapi tanpa menjalankan kewenangan atau kuasa untuk menahbiskan rohaniwan baru. Ia dilarang bepergian ke daerah sekitar kota Likopolis maupun ke wilayah keuskupan lain dengan tujuan menahbiskan warganya. Melesius tetap berpangkat uskup, tetapi rohaniwan-rohaniwan yang ditahbiskannya harus menerima penumpangan tangan ulang, dan dengan demikian tahbisan yang dilakukan Meletius dianggap tidak sah. Rohaniwan-rohaniwan yang ditahbiskan Melesius diwajibkan untuk memuliakan rohaniwan-rohaniwan yang ditahbiskan Aleksander, dan tidak boleh melakukan apa-apa tanpa izin Aleksander.[64]

Bilamana ada uskup atau pejabat Gereja yang bukan pengikut Melesius meninggal dunia, jabatannya boleh diberikan kepada seorang pengikut Melesius, asalkan yang bersangkutan memang layak dan pemilihannya disahkan Aleksander. Sehubungan dengan Melesius sendiri, hak-hak biasa maupun hak-hak istimewanya selaku seorang uskup dicabut. Meskipun demikian, sanksi-sanksi ringan ini tidak membuat mereka jera. Golongan Melesius malah bergabung dengan golongan Arius dan menimbulkan lebih banyak silang pendapat daripada yang sudah-sudah, sehingga menjadi salah satu lawan tersengit Atanasius. Golongan Melesius baru sepenuhnya hilang sekitar pertengahan abad ke-5.

Promulgasi hukum kanon

sunting

Konsili Nikea I mempromulgasikan (mengundangkan atau memberlakukan) dua puluh pasal baru hukum Gereja yang disebut kanon (berapa persisnya masih diperdebatkan), yakni aturan-aturan kedisiplinan yang bersifat tetap. Menurut A Select Library of the Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church,[65] kedua puluh kanon tersebut adalah sebagai berikut:

Kanon 1: Larangan mengebiri diri sendiri
Kanon 2: Penetapan syarat-syarat minimum yang wajib dipenuhi seorang katekumen (calon baptis).
Kanon 3: Larangan tinggal bagi perempuan yang lebih muda (yakni perempuan pengamal pengamal sineisaktisme yang disebut virgines subintroductae) di rumah seorang rohaniwan, karena berpeluang menimbulkan syak wasangka terhadap rohaniwan yang bersangkutan.
Kanon 4: Keharusan melibatkan sekurang-kurangnya tiga orang uskup daerah dan pengukuhan uskup metropolit dalam penahbisan seorang uskup.
Kanon 5: Keharusan menyelengarakan dua sinode tingkat provinsi tiap-tiap tahun.
Kanon 6: Pengukuhan atas adat purba yang memberikan kewenangan atas wilayah yang sangat luas kepada Uskup Aleksandria, Uskup Antiokhia, dan Uskup Roma.
Kanon 7: Pengakuan terhadap hak-hak kehormatan takhta Keuskupan Yerusalem
Kanon 8: Penetapan syarat-syarat kesepakatan dengan golongan Novasianus, salah satu sempalan Kristen purba.
Kanon 9-14: Penetapan syarat-syarat untuk prosedur lunak terhadap orang-orang yang murtad akibat aksi penganiayaan pada masa pemerintahan Kaisar Lisinius.
Kanon 15-16: Larangan bagi para imam untuk berpindah-pindah tempat tugas.
Kanon 17: Larangan bagi rohaniwan untuk membungakan uang.
Kanon 18: Keharusan menerimakan sakramen Ekaristi kepada uskup dan presbiter terlebih dahulu sebelum kepada diakon.
Kanon 19: Pernyataan mengenai ketidakabsahan baptisan yang dilakukan golongan Paulus.
Kanon 20: Larangan berlutut pada hari Minggu dan mulai dari malam Paskah sampai hari Pentakosta (jangka waktu 50 hari sesudah Paskah). Berdiri adalah sikap berdoa normatif selama jangka waktu tersebut, dan masih diamalkan umat Kristen Timur. Berlutut dianggap sebagai sikap berdoa yang cocok untuk penyilihan, sehingga tidak sesuai dengan sifat meriah Masa Paskah dan peringatan peristiwa Paskah pada hari-hari Minggu. Kanon ini sengaja disusun sedemikian rupa untuk memastikan adanya keseragaman amalan selama jangka waktu tersebut.

Sebagai acara penutup, para Bapa Konsili merayakan peringatan jumenengan ke-20 Kaisar Konstantinus Agung pada tanggal 25 Juli 325. Dalam pidato perpisahannya, Konstantinus Agung menyampaikan kepada hadirin betapa ia memandang keji kontroversi dogmatis, dan menghendaki agar Gereja hidup rukun dan damai. Dalam salah satu surat edaran yang dikeluarkannya, ia mewartakan mufakat yang dicapai segenap Gereja dalam hal keseragaman tanggal Paskah.

Akibat

sunting
 
Fresko Konsili Nikea I di Kapel Sistina

Akibat jangka panjang dari Konsili Nikea I sangatlah besar. Untuk pertama kalinya, wakil-wakil segenap Dunia Kristen bersidang untuk menyepakati suatu pernyataan doktrinal. Untuk pertama kali pula seorang kaisar berperan serta menghimpun uskup-uskup yang berdiam di dalam wilayah kekuasaannya, dan memanfaatkan kekuasaan negara untuk memberlakukan keputusan-keputusan konsili.

Meskipun demikian, dalam jangka pendek, Konsili Nikea I tidak serta-merta menuntaskan masalah-masalah yang memicu penyelenggaraannya, bahkan konflik dan pergolakan masih terus berlanjut. Kaisar Konstantinus kemudian hari digantikan dua kaisar berhaluan Arianisme di wilayah timur Kekaisaran Romawi, yakni Konstantius II yang adalah putranya sendiri, dan Valens. Kaisar Valens tidak mampu menuntaskan isu-isu penting yang mengemuka di dalam Gereja, dan gagal melawan Santo Basilius berkenaan dengan Syahadat Nikea.[66]

Golongan masyarakat pagan di Kekaisaran Romawi berusaha mempertahankan eksistensinya, bahkan pernah berhasil memurtadkan petinggi negara (baca artikel Arbogastes dan Yulianus Si Murtad). Golongan Arius dan golongan Melesius dengan segera mendapatkan kembali semua hak mereka yang sebelumnya sudah dicabut, akibatnya Arianisme terus menyebar dan menjadi pokok perdebatan umat Kristen sampai akhir abad ke-4. Eusebius, Uskup Nikomedia penganut Arianisme yang masih terhitung saudara sepupu Konstantinus Agung, memanfaatkan pengaruhnya di lingkungan istana untuk memalingkan keberpihakan saudara sepupunya itu dari uskup-uskup yang ortodoks ke golongan Arius.[67]

Eustasius Uskup Antiokhia dimakzulkan dan diasingkan pada tahun 330. Atanasius, yang menjadi Uskup Aleksandria menggantikan Aleksander, dimakzulkan Sinode Tirus tahun 335, disusul Marselus Uskup Angkira yang dimakzulkan pada tahun 336. Arius sendiri pulang ke Konstantinopel untuk diterima kembali menjadi warga Gereja melalui upacara resmi, tetapi keburu wafat sebelum upacara dimulai. Kaisar Konstantinus Agung wafat pada tahun berikutnya, sesudah dibaptis Eusebius, Uskup Nikomedia penganut Arianisme. Kemangkatan Konstantinus Agung menandai akhir babak pertama dari pertarungan pasca-Konsili Nikea I antara ajaran Kristen yang ortodoks dan Arianisme.[67]

Peran Konstantinus

sunting

Kekristenan merupakan agama terlarang di negara Kekaisaran Romawi sampai dilegalkan pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantinus dan Kaisar Lisinius mengeluarkan maklumat bersama yang terkenal dengan sebutan Maklumat Milan. Meskipun demikian, Kekristenan versi Nikea baru didapuk menjadi agama negara dengan Maklumat Tesalonika tahun 380. Selama itu pula paganisme masih berstatus legal dan diamalkan secara terbuka dalam kehidupan bermasyarakat. Citra Konstantinus Agung pada uang logam maupun gambar-gambar resmi keluaran masa pemerintahannya masih dihubung-hubungkan dengan kultus pagan Sol Invictus sampai Konsili Nikea I digelar. Mulanya Konstantinus mendorong pembangunan kuil-kuil baru[68] dan menoleransi upacara-upacara kurban tradisional,[69] tetapi kemudian hari kuil-kuil Romawi justru dijarah dan dihancurkan atas perintahnya.[70][71][72]

Sehubungan dengan Konsili Nikea I, peran Konstantinus Agung adalah peran selaku pemimpin sipil dan pemangku kekuasaan tertinggi di negara Kekaisaran Romawi. Selaku kaisar, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk memelihara ketertiban sipil, dan oleh karena itulah ia mengupayakan agar Gereja dapat seia sekata, hidup rukun dan damai. Ketika pertama kali mendengar laporan tentang gejolak yang timbul di Aleksandria akibat silang pendapat seputar ajaran Arius, ia menjadi "sangat risau" lalu "menegur" Arius maupun Uskup Aleksander sebagai biang gara-gara dan membiarkannya tersiar sampai ke telinga masyarakat umum.[73] Ia juga sadar akan adanya "kepelbagaian pendapat" terkait tanggal perayaan Paskah, dan karena ingin agar kedua masalah tersebut tertuntaskan, ia menugasi "Yang Terhormat" Hosius Uskup Korduba untuk menyelenggarakan sebuah konsili tingkat lokal demi "merukunkan pihak-pihak yang saling berseberangan".[73] Ketika usaha ini menemui jalan buntu, Konstantinus pun memutuskan untuk menggelar sebuah sinode di Nikea, dengan mengundang "tokoh-tokoh pimpinan umat Kristen yang paling terkemuka dari tiap-tiap negeri".[74]

Konstantinus Agung memperlancar penyelenggaraan konsili dengan mengatur agar semua ongkos perjalanan pulang pergi para uskup maupun ongkos penginapan mereka di Nikea ditanggung pemerintah.[75] Ia juga menyediakan sebuah "bangsal besar ... di istana" berikut perabot dan segala kelengkapannya sebagai lokasi penyelenggaraan musyawarah agar para hadirin "mendapatkan perlakuan yang layak dan bermartabat".[75] Dalam pidato pembukaan konsili, ia "mengimbau para uskup agar seia sekata, sehati dan sejiwa", dan senantiasa berpedoman kepada Kitab Suci dengan berkata, "oleh karena itu, kiranya segala silang sengketa ditiadakan, dan marilah kita mencari jalan keluar untuk permasalahan-permasalahan yang ada dari firman yang diwahyukan Allah."[75]

Begitu konsili resmi dibuka, perdebatan seputar Arius dan doktrin Gereja pun dimulai. "Kaisar dengan sabar mendengarkan pidato-pidato yang disampaikan kedua belah pihak" dan "mematuhi" keputusan para uskup.[76] Mula-mula para uskup menyatakan ajaran-ajaran Arius sebagai ajaran-ajaran yang dianatema (terlaknat), kemudian merumuskan syahadat sebagai ungkapan doktrin yang benar. Ketika Arius beserta dua orang pengikutnya menolak keputusan ini, para uskup pun menggelar sidang mahkamah rohaniwan yang memutuskan untuk mengekskomunikasi (mengucilkan) mereka dari Gereja. Karena menghormati keputusan sidang mahkamah rohaniwan, dan sadar akan ancaman kerusuhan berlarut-larut yang terus mengintai, Konstantinus Agung juga mengeluarkan keputusan mahkamah sipil, yakni pidana pengasingan bagi Arius dan kedua pengikutnya. Inilah awal dari praktik memanfaatkan kekuasaan sekuler demi menegakkan ortodoksi doktrinal di dalam Kekristenan. Kebijakan Konstantinus Agung ini kemudian hari diteladani semua kaisar Kristen, sehingga melahirkan suatu lingkaran tindak kekerasan Kristen maupun tindak perlawanan Kristen yang dibungkus dengan istilah-istilah kesyahidan.[77]

Salah sangka

sunting

Kanon Alkitab

sunting

Tidak ada catatan apa-apa mengenai pembahasan kanon Alkitab di dalam Konsili Nikea I.[78] Perkembangan kanon Alkitab sudah nyaris paripurna (masih ada Antilegomena, yakni nas-nas tersurat yang keaslian maupun bobotnya masih diperdebatkan) pada waktu penulisan fragmen Muratori.[79]

Pada tahun 331, Konstantinus Agung dilaporkan telah menitahkan pembuatan lima puluh buah Alkitab untuk jemaat di Konstantinopel, tetapi tidak dapat dipastikan apakah yang dimaksud dengan istilah "Alkitab" tersebut adalah keseluruhan kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, hanya kitab-kitab Perjanjian Baru saja, atau hanya kitab-kitab Injil. Beberapa sarjana yakin bahwa titah ini melahirkan motivasi yang melatarbelakangi penyusunan daftar-daftar kitab sahih. Dalam Prakata Kitab Yudit yang ditulisnya,[80] Hieronimus menegaskan bahwa Kitab Yudit "diperhitungkan Konsili Nikea sebagai bagian dari Kitab Suci". Sebagian pihak menduga bahwa penegasan ini berarti Konsili Nikea I memang pernah menggelar pembahasan tentang dokumen-dokumen apa saja yang dapat digolongkan sebagai Kitab Suci, tetapi lebih mungkin hanya berarti Konsili Nikea I pernah mengutip ayat-ayat Kitab Yudit dalam pembahasan-pembahasan yang tidak ada kaitannya dengan kanon Alkitab, dan oleh karena itu semestinya dianggap sebagai kitab sahih.

Agaknya sumber utama dari gagasan bahwa kanon Alkitab ditetapkan dalam Konsili Nikea I adalah Voltaire, tokoh yang mempopulerkan cerita bahwa kanon Alkitab ditetapkan dengan cara menaruh semua kitab yang hendak diuji di atas altar selagi konsili bersidang, kemudian menyimpan kitab-kitab yang tidak jatuh dari altar. Sumber asli "anekdot fiktif" ini adalah Synodicon Vetus,[81] catatan sejarah semu tentang konsili-konsili Gereja purba dari tahun 887, yang meriwayatkan sebagai berikut:[82]

Kitab-kitab yang sahih dibedakan dari kitab-kitab yang apokrip dengan cara ini: di dalam rumah Allah, kitab-kitab tersebut ditaruh di atas altar kudus, lalu para peserta konsili berdoa meminta Tuhan membuat kitab-kitab yang diwahyukan berada di atas tumpukan, maka terjadilah demikian, sedangkan kitab-kitab gadungan berada di bawah tumpukan.[83]

Tritunggal

sunting

Konsili Nikea I lebih banyak berkutat dengan isu keilahian Kristus. Lebih dari satu abad sebelumnya, istilah "Tritunggal" (bahasa Yunani: Τριάς, Trias; bahasa Latin: Trinitas) sudah digunakan di dalam karya-karya tulis Origenes (185–254) dan Tertulianus (160–220), dan suatu pemahaman umum mengenai "tiga yang ilahi" sudah diungkapkan dengan satu dan lain cara pada abad ke-2 di dalam karya-karya tulis Polikarpus, Ignasius, dan Yustinus Martir. Di dalam Konsili Nikea I, pertanyaan-pertanyaan seputar Roh Kudus hampir-hampir tidak dibahas sama sekali. Pertanyaan-pertanyaan tersebut baru mendapat perhatian sesudah permasalahan tentang hubungan antara Sang Bapa dan Sang Putra dituntaskan sekitar tahun 362.[84] Jadi, doktrin Tritunggal dalam bentuk yang lebih sempurna baru dirumuskan dalam Konsili Konstantinopel tahun 360,[85] sementara rumusan yang paripurna baru muncul pada tahun 381, teristimewa rumusan dari Gregorius Uskup Nisa.[86]

Konstantinus

sunting

Meskipun Kaisar Konstantinus Agung menghendaki terwujudnya persatuan umat Kristen seusai Konsili Nikea I, ia tidak memaksa seluruh umat Kristen menerima pandangan mengenai hakikat Kristus yang diusung golongan Homoousion di dalam Konsili Nikea I (baca bagian Peran Konstantinus).

Konstantinus juga tidak meminta konsili membuat Alkitab. Ia memang pernah menitahkan pembuatan lima puluh buah Alkitab pada tahun 331 untuk digunakan jemaat di Konstantinopel, sebuah kota baru. Tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Konstantinus terlibat dalam pemilihan atau peniadaan kitab-kitab tertentu di dalam Alkitab-Alkitab yang ia titahkan untuk dibuat.

Sekalipun bersimpati kepada Gereja, Konstantinus Agung baru dibaptis 11 atau 12 tahun seusai Konsili Nikea I. Ia sengaja menunda pembaptisan dirinya agar sebanyak mungkin dosanya terampuni saat ia dibabtis,[87] sesuai dengan keyakinan bahwa segala dosa seseorang akan diampuni pada saat ia dibaptis.[88]

Beda pandangan tentang peran Uskup Roma

sunting

Umat Kristen Katolik yakin bahwa gagasan tentang keilahian Kristus yang diundangkan Konsili Nikea I kemudian hari dikukuhkan Uskup Roma, dan pengukuhan dari Uskup Roma inilah yang membuat Konsili Nikea I berpengaruh dan berwibawa. Untuk menguatkan pandangan ini, umat Kristen Katolik merujuk kepada pendirian para Bapa Gereja purba, serta mengutip pernyataan mereka bahwa semua jemaat Kristen perlu seiya sekata dengan jemaat di Roma (baca Ireneus, Adversus Haereses III:3:2).

Di lain pihak, umat Kristen Ortodoks Timur, Kristen Ortodoks Oriental, dan Kristen Protestan tidak yakin kalau Konsili Nikea I memandang Uskup Roma sebagai kepala yurisdiksional Dunia Kristen maupun sebagai tokoh dengan kewenangan yang mengatasi uskup-uskup peserta Konsili Nikea I. Untuk menguatkan pandangan ini, mereka mengutip Kanon 6, yang memosisikan Uskup Roma sekadar sebagai salah seorang di antara tokoh-tokoh pimpinan umat Kristen yang berpengaruh, bukan sebagai tokoh dengan yurisdiksi mengatasi uskup-uskup lain di daerah-daerah lain.[89]

Menurut teolog Protestan Philip Schaff, "para Bapa Nikea tidak mengundangkan kanon ini sebagai sebuah ketetapan yang benar-benar baru, melainkan sekadar mengukuhkan suatu hubungan yang sudah lama terjalin atas dasar tradisi Gereja dan, khusus untuk Aleksandria, berkaitan dengan segala permasalahan yang timbul di kota itu. Roma hanya disebut sekadar untuk menghadirkan gambaran, sementara ketetapan bagi Antiokhia dan eparki-eparki atau provinsi-provinsi lain merupakan pengakuan atas hak-hak yang sudah disandangnya. Keuskupan Aleksandria, Keuskupan Roma, dan Keuskupan Antiokhia pada hakikatnya diposisikan pada tataran yang sama." Oleh karena itu, menurut Schaff, Uskup Aleksandria seharusnya memiliki kewenangan atas Provinsi Mesis, Provinsi Libya, dan Provinsi Pentapolis, sama seperti kewenangan Uskup Roma "di diosisnya."[90]

Namun menurut James F. Loughlin, Gereja Katolik memiliki tafsir alternatif atas isi Kanon 6. Tafsir ini mencakup lima argumen berlainan yang "masing-masing ditarik dari struktur gramatis kalimat, dari urutan logis gagasan-gagasan, dari analogi Katolik, dari perbandingan dengan proses pembentukan Kebatrikan Konstantinopel, dan dari sumber-sumber pustaka peninggalan Gereja purba"[91] yang mendukung suatu pemahaman alternatif mengenai kanon tersebut. Menurut tafsir ini, Kanon 6 menunjukkan peran yang dimiliki Uskup Roma ketika ia, dengan kewenangannya, mengukuhkan yurisdiksi batrik-batrik lain. Tafsir ini sejalan dengan pemahaman umat Kristen Katolik tentang Sri Paus. Jadi, Uskup Aleksandria membawahi Mesir, Libya, dan Pentapolis,[9] sementara Uskup Antiokhia "memiliki kewenangan serupa atas seluruh Diosis Oriens yang begitu luas," dan semuanya itu berkat kewenangan Uskup Roma. Bagi Loughlin, itulah satu-satunya alasan yang masuk akal di balik penyebutan suatu hal yang lazim bagi seorang Uskup Roma di dalam urusan yang berkaitan dengan Uskup Metropolit Aleksandria dan Uskup Metropolit Antiokhia.[91]

Meskipun demikian, tafsir Protestan maupun tafsir Katolik secara historis berasumsi bahwa beberapa atau semua uskup yang disebutkan di dalam Kanon 6 memang membawahi diosis mereka masing-masing pada waktu penyelenggaraan Konsili Nikea I. Jadi, Uskup Roma diasumsikan membawahi Diosis Italia sebagaimana yang dikemukakan Schaff, Uskup Antiokhia diasumsikan membawahi Diosis Oriens sebagaimana yang dikemukakan Loughlin, dan Uskup Aleksandria membawahi Diosis Mesir sebagaimana yang dikemukakan Karl Josef von Hefele. Menurut Hefele, Konsili Nikea I mempercayakan "seluruh Diosis Mesir" kepada Aleksandria.[92] Akan tetapi asumsi-asumsi tersebut sudah terbukti keliru. Pada waktu Konsili Nikea I berlangsung, memang sudah ada wilayah Diosis Mesir tetapi masih dikenal sebagai wilayah Keuskupan Aleksandria (didirikan Santo Markus pada abad pertama Masehi), jadi Konsili Nikea I dapat mempercayakan wilayah tersebut kepada Aleksandria. Antiokhia dan Aleksandria sama-sama berada di dalam wilayah Diosis Oriens, dengan Antiokhia sebagai kota besar utama, tetapi baik Antiokhia maupun Aleksandria tidak membawahi seluruh Diosis Oriens. Demikian pula Roma dan Milan sama-sama berada di dalam wilayah Diosis Italia, dengan Milan sebagai kota besar utama,[93][94] tetapi baik Roma maupun Milan tidak membawahi seluruh Diosis Italia.

Isu geografis yang berkaitan dengan Kanon 6 ini ditonjolkan penulis Protestan Timothy F. Kauffman, sebagai koreksi atas anakronisme yang ditimbulkan asumsi bahwa masing-masing uskup yang disebutkan di dalam Kanon 6 memang sudah membawahi satu diosis utuh pada waktu penyelenggaraan Konsili Nikea I.[95] Menurut Kauffman, lantaran Milan dan Roma sama-sama berlokasi di dalam wilayah Diosis Italia, sementara Antiokhia dan Aleksandria sama-sama berlokasi di dalam wilayah Diosis Oriens, suatu "kesejajaran struktural" dan relevan antara Roma dan Aleksandria sudah merupakan suatu kenyataan yang dimaklumi para uskup peserta Konsili Nikea I. Baik Roma maupun Aleksandria diserahi kewenangan atas sebagian wilayah diosis tempat ia bukan kota besar utama. Yurisdiksi Roma di dalam wilayah Diosis Italia sudah ditetapkan meliputi beberapa provinsi yang bertetangga dengan kota itu sejak Kaisar Dioklesianus menata ulang pembagian wilayah administratif Kekaisaran Romawi pada tahun 293, sebagaimana yang diindikasikan oleh versi Latin tertua dari Kanon 6,[96] sementara wilayah Diosis Italia selebihnya ditempatkan di bawah yurisdiksi Milan.

Oleh karena itu, pembagian yurisdiksi Roma dan Milan di dalam wilayah Diosis Italia merupakan preseden yang relevan, dan menyajikan solusi administratif bagi persoalan yang dihadapi Konsili Nikea I, yakni bagaimana menetapkan yurisdiksi Aleksandria dan Antiokhia di dalam wilayah Diosis Oriens. Di dalam Kanon 6, Konsili Nikea I mempercayakan beberapa provinsi kepada Aleksandria dan menempatkan wilayah Diosis Oriens selebihnya di bawah yurisdiksi Antiokhia, "karena demikianlah yang lazim pula bagi Uskup Roma."[97]

Di dalam skenario ini, preseden yang relevan tersebut diketengahkan sebagai sanggahan terhadap argumen yang dikemukakan Loughlin untuk menjawab pertanyaan mengapa suatu hal yang lazim bagi seorang Uskup Roma disangkutpautkan dengan permasalahan yang berkaitan dengan Aleksandria di wilayah Diosis Oriens, sekaligus sebagai koreksi terhadap argumen Schaff bahwasanya Uskup Roma disinggung sekadar untuk memunculkan gambaran tentang kenyataan yang ada "di diosisnya." Kelaziman bagi Uskup Roma memang sengaja disinggung untuk menghadirkan gambaran, tetapi bukan karena Uskup Roma membawahi seluruh Gereja atau membawahi seluruh Gereja Barat, bahkan bukan pula karena ia membawahi "diosisnya sendiri", melainkan karena ia membawahi beberapa provinsi di dalam sebuah diosis yang semestinya dibawahi Milan. Berdasarkan preseden inilah Konsili Nikea I mengakui yurisdiksi purba Aleksandria atas sejumlah provinsi di dalam wilayah Dioses Oriens, dioses yang semestinya dibawahi Antiokhia.

Peringatan dalam ibadat

sunting

Gereja-Gereja Bizantin mengenang jasa-jasa luhur 318 Bapa Konsili Nikea I setiap hari Minggu ketujuh Masa Paskah (hari Minggu sebelum hari Pentakosta), sementara Gereja Armenia melakukannya setiap tanggal 1 September.[98] Penyelenggaraan Konsili Nikea I diperingati setiap tanggal 12 Juni di Gereja Lutheran-Sinode Missouri, dan setiap tanggal 9 Hathor (biasanya bertepatan dengan tanggal 18 November) di Gereja Koptik.

Baca juga

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ Britannica 2014
  2. ^ a b SEC, hlm. 112–114
  3. ^ a b SEC, hlm. 39
  4. ^ a b SEC, hlm. 44–94
  5. ^ a b c d e Carroll 1987, hlm. 11
  6. ^ Vallaud 1995, hlm. 234–235, 678.
  7. ^ a b On the Keeping of Easter
  8. ^ Leclercq 1911b
  9. ^ a b c   Mirbt, Carl Theodor (1911). "Nicaea, Council of". Dalam Chisholm, Hugh. Encyclopædia Britannica. 19 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 640–642. 
  10. ^ Danker, Frederick William (2000), "οἰκουμένη", A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (edisi ke-Third), Chicago: Bagian Pemberitaan Universitas Chicago, ISBN 978-0-226-03933-6, diakses tanggal 24 Februari 2014 
  11. ^ Vita Constantini, Jilid 3, Bab 6
  12. ^ a b Ad Afros Epistola Synodica
  13. ^ SEC, hlm. 292–294
  14. ^ a b c d Kelly 1978, Bab 9
  15. ^ Schaff & Schaff 1910, Bagian 120
  16. ^ SEC, hlm. 114
  17. ^ a b Kieckhefer 1989
  18. ^ "The First Seven Ecumenical Councils - MOLL-Y - The Method of Loci Learning - York". Diakses tanggal 10 Juli 2020. 
  19. ^ Fernández, Samuel (April 2020). "Who Convened the First Council of Nicaea: Constantine or Ossius?". The Journal of Theological Studies. 71 (1): 196–211. doi:10.1093/jts/flaa036. 
  20. ^ Carroll 1987, hlm. 10
  21. ^ Ware 1991, hlm. 28
  22. ^ a b Carroll 1987, hlm. 12
  23. ^ Vita Constantini, iii.7
  24. ^ Theodoret, Jilid 1, Bab 7
  25. ^ Theodoret, Jilid 1, Bab 8
  26. ^ Theodoret, Jilid 3, Bab 31
  27. ^ Contra Constantium Augustum Liber
  28. ^ Temporum Liber
  29. ^ Teres 1984, hlm. 177
  30. ^ a b Kelhoffer 2011
  31. ^ Pentecostarion
  32. ^ "Ancient See of York". New Advent. 2007. Diakses tanggal 25 Oktober 2007. 
  33. ^ Hitti, Philip K. (1951) History of Syria including Lebanon and Palestine. New York: The Macmillan Company. hlm. 363 catatan kaki.
  34. ^ Cowper, B. H. (1861). Syriac Miscellanies. London:Williams and Norgate. hlmn. 9–10. Preterist Archive website Diarsipkan 2018-10-07 di Wayback Machine. Temu balik tanggal 2 April 2018.
  35. ^ Barnes 1981, hlm. 214–215
  36. ^ a b c d Atiya 1991.
  37. ^ Vailhé 1912
  38. ^ Valley, Marthoma Church of Silicon. "History of Marthoma Church – Marthoma Church of Silicon Valley" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-03. 
  39. ^ Photius I, Jilid 1, Bab 9
  40. ^ Vita Constantini, Jilid 3, Bab 10
  41. ^ Daftar mula-mula peserta Konsili Nikea I terdapat dalam Patrum nicaenorum
  42. ^ Davis 1983, hlm. 63–67
  43. ^ a b "The First Council of Nicaea". New Advent. Diakses tanggal 12 Oktober 2017. 
  44. ^ Anatolios 2011, hlm. 44
  45. ^ a b c Davis 1983, hlm. 52–54
  46. ^ OCA 2014
  47. ^ González 1984, hlm. 164
  48. ^ M'Clintock & Strong 1890, hlm. 45
  49. ^ Davis 1983, hlm. 60
  50. ^ Ihwal Inkarnasi, bab 2, bagian 9, "... tetapi Ia sendiri, selaku Sang Sabda, adalah baka dan Putra Sang Bapa"
  51. ^ Atanasius (Batrik Aleksandria) - Makalah-makalah pilihan dari kumpulan karya tulis Santo Atanasius dalam kontroversi dengan golongan Arius, Jilid 3 Diterjemahkan dan disunting oleh John Henry Newman. Longmans, Green and co., 1920. halaman 51. Temu balik tanggal 24 Mei 2014.
  52. ^ González 1984, hlm. 165
  53. ^ Loyn 1991, hlm. 240
  54. ^ Schaff 1910, Section 120
  55. ^ Lutz von Padberg 1998, hlm. 26
  56. ^ Anatolius, Jilid 7, Bab 33.
  57. ^ Chronicon Paschale
  58. ^ Panarion, Jilid 3, Bab 1, Bagian 10
  59. ^ Krisostomus, hlm. 47
  60. ^ SEC, hlm. 594
  61. ^ Panarion, Jilid 3, Bab 1
  62. ^ Sozomenus, Jilid 7, Bab 18
  63. ^ L'Huillier 1996, hlm. 25
  64. ^ Leclercq 1911a
  65. ^ Canons
  66. ^ "Heroes of the Fourth Century". Word Magazine. Antiochian Orthodox Christian Archdiocese of North America. February 1968. hlm. 15–19. 
  67. ^ a b Davis 1983, hlm. 77
  68. ^ Gerberding, R. dan J. H. Moran Cruz, Medieval Worlds (New York: Houghton Mifflin Company, 2004) hlm. 28,
  69. ^ Peter Brown, The Rise of Christendom edisi ke-2 (Oxford, Penerbit Blackwell, 2003) hlm. 60.
  70. ^ R. MacMullen, "Christianizing The Roman Empire A.D.100-400, Bagian Pemberitaan Universitas Yale, 1984, ISBN 0-300-03642-6
  71. ^ "A History of the Church", Philip Hughes, Sheed & Ward, edisi revisi 1949, jld. I bab 6.[1] Diarsipkan 2018-12-23 di Wayback Machine.
  72. ^ Eusebius Pamphilius dan Schaff, Philip (penyunting) dan McGiffert, Pendeta Arthur Cushman, Ph.D. (penerjemah) NPNF2-01. Eusebius Pamphilius: Church History, Life of Constantine, Oration in Praise of Constantine quote: "kuil-kuil yang sedari dulu menjadi objek-objek utama pemujaan takhayul ia ratakan dengan tanah".
  73. ^ a b Sozomenus, Jilid 1, Bab 16
  74. ^ Sozomenus, Jilid 1, Bab 17
  75. ^ a b c Teodoretus, Jilid 1, Bab 6
  76. ^ Sozomenus, Jilid 1, Bab 20
  77. ^ There is no crime for those who have Christ; religious violence in the Roman Empire, Michael Gaddis, Bagian Pemberitaan Universitas California, 2005, hlm. 340ISBN 978-0-520-24104-6
  78. ^ Ehrman 2004, hlm. 15–16, 23, 93
  79. ^ McDonald & Sanders 2002, Apendiks D2, Keterangan 19
  80. ^ Prefasi Kitab Tobit dan Kitab Yudit
  81. ^ Paul T. d' Holbach (1995). Andrew Hunwick, ed. Ecce homo!: An Eighteenth Century Life of Jesus. Edisi kristis sekaligus edisi revisi hasil terjemahan George Houston dari bahasa Prancis. Berlin, New York: Walter de Gruyter & Co. hlm. 48–49. ISBN 978-3-11-081141-4. 
  82. ^ Ringkasan kasus ini dapat dibaca dalam artikel The Council of Nicaea and the Bible.
  83. ^ Synodicon Vetus, 35
  84. ^ Fairbairn 2009, hlm. 46–47
  85. ^ Sokrates, Jilid 2, Bab 41
  86. ^ Schaff, Philip; Wace, Henry (1893). A Select Library of Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church: Gregory of Nyssa: Dogmatic treatises, etc. 1893 (dalam bahasa Inggris). Christian literature Company. 
  87. ^ Marilena Amerise, 'Il battesimo di Costantino il Grande."
  88. ^ "Catechism of the Catholic Church". Vatikan. Diakses tanggal 7 Oktober 2015. 
  89. ^ Canons, Canon 6
  90. ^ Schaff & Schaff 1910, hlm. 275–276
  91. ^ a b Loughlin 1880
  92. ^ von Hefele, Karl (1855). Conciliengeschichte, v. 1. Freiburg im Breisgau, Baden-Württemberg, Germany: Herder. hlm. 373. 
  93. ^ Atanasius dari Aleksandria. "Historia Arianorum, Jilid IV, Bab 36". Diakses tanggal 22 Juni 2016. 
  94. ^ Atanasius dari Aleksandria. "Apologia de Fuga, Bab 4". Diakses tanggal 22 Juni 2016. 
  95. ^ Kauffman, Timothy F. (May–June 2016). "Nicæa and the Roman Precedent" (PDF). The Trinity Review (334, 335). Diakses tanggal 22 Juni 2016. 
  96. ^ Turner, Cuthberthus Hamilton (1899). Ecclesiae Occidentalis monumenta iuris antiquissima, jld. 1. Oxonii, E Typographeo Clarendoniano. hlm. 120. 
  97. ^ First Council of Nicæa. "Canon 6". The First Council of Nicæa. Diakses tanggal 22 Juni 2016. 
  98. ^ "Page Cannot Be Found - Greek Orthodox Archdiocese of America". www.goarch.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-03. 

Sumber rujukan

sunting

Sumber primer

sunting

Catatan: NPNF2 = Schaff, Philip; Wace, Henry (ed.), Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Christian Classics Ethereal Library  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan), retrieved 2014-07-29

Sumber sekunder

sunting

Bahan bacaan lanjutan

sunting
  • Fernández, Samuel (2020). "Who convened the First Council of Nicaea: Constantine or Ossius?". The Journal of Theological Studies. 71: 196–211. doi:10.1093/jts/flaa036. 

Pranala luar

sunting