Reconquista

periode dalam sejarah Semenanjung Iberia

Reconquista[a] ("penaklukan kembali") merupakan suatu periode dalam sejarah Semenanjung Iberia, yang mana meliputi rentang waktu sekitar 770 tahun antara tahap awal penaklukan oleh kaum Islam pada tahun 710-an dan jatuhnya Granada, negara Islam terakhir di semenanjung tersebut, untuk perluasan kerajaan-kerajaan Kristen pada tahun 1492. Reconquista berakhir sesaat menjelang penemuan benua Amerika—yaitu "Dunia Baru"—oleh bangsa Eropa, yang kemudian pada era tersebut menimbulkan imperium kolonial Spanyol dan Portugal.

Ilustrasi suatu pertempuran "Reconquista" dari Cantigas de Santa Maria.

Para sejarawan biasanya menandai permulaan Reconquista dengan Pertempuran Covadonga (tahun 718 atau 722), di mana sejumlah kecil pasukan Kristen yang dipimpin oleh bangsawan bernama Pelayo mengalahkan pasukan Kekhalifahan Umayyah di pegunungan Iberia utara dan mendirikan suatu kepangeranan Kristen di Asturias.

Konsep dan rentang waktu

sunting

Sejak abad ke-19, historiografi tradisional sudah mengukuhkan eksistensi Reconquista,[1] yakni fenomena berkesinambungan bangkitnya kerajaan-kerajaan Kristen di Jazirah Iberia untuk menentang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam yang dipandang sebagai musuh bersama karena merupakan pihak yang sudah merampas Jazirah Iberia dengan kekuatan militer dari bangsa pribumi Kristen Iberia.[2]

Konsep penaklukan kembali Jazirah Iberia oleh umat Kristen pertama kali mengemuka pada akhir abad ke-9[3] di dalam Chronica Prophetica (883–884), karya tulis yang mengungkit kesenjangan budaya dan agama di antara umat Kristen dan umat Islam di Hispania serta menandaskan perlunya mengusir umat Islam sebagai wujud upaya memulihkan kedaulatan bangsa Visigoth di wilayah yang direbut kembali.[4]

 
Negara Khilafah Muwahidin dan negara-negara tetangganya, termasuk kerajaan Kristen Portugal, Leon, Kastila, Navara, dan Aragon, sekitar tahun 1200

Para penguasa Kristen di Jazirah Iberia saling berseteru, demikian pula para penguasa Islam. Tidak jarang terjalin persekutuan di antara penguasa Islam dan penguasa Kristen,[3] malah ada prajurit-prajurit bayaran beragama Kristen maupun Islam yang rela berperang bagi pihak mana pun yang sanggup membayar paling banyak tanpa pandang agama. Masa-masa itu sekarang dipandang sebagai kurun waktu penuh babak-babak panjang toleransi relatif dalam kehidupan beragama.[5] Meskipun demikian, pandangan tersebut sudah disanggah para sarjana.[6][7][8]

Perang-perang Salib, yang bermula jelang akhir abad ke-11, melahirkan ideologi religius Kristen tentang penaklukan kembali, bertentangan dengan ideologi jihad Muslim di Al Andalus yang dicetuskan para penguasa Murabatin dan digembar-gemborkan para khalifah Muwahidin. Dokumen-dokumen yang lebih awal dari abad ke 10 dan ke-11 nyata-nyata tidak memuat gagasan "penaklukan kembali".[9] Keterangan-keterangan tertulis tentang perseteruan Muslim-Kristen baru belakangan dimunculkan untuk mendukung gagasan tersebut, teristimewa Chanson de Roland, versi fiktif Prancis abad ke-11 dari riwayat pertempuran di Jalur Roncevaux melawan orang Sarasen Iberia (orang Moro) yang diajarkan sebagai fakta sejarah di sekolah-sekolah Prancis sejak tahun 1880.[10][11]

Latar belakang

sunting

Pendaratan dan ekspansi perdana pasukan Muslim di Hispania

sunting

Pada tahun 711, saat perang saudara dan perpecahan menggerogoti kedaulatan bangsa Visigoth di Hispania, prajurit-prajurit Berber dari Afrika Utara bersama sekelompok orang Arab di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad menyeberangi Selat Gibraltar dan bertempur melawan angkatan perang Visigoth di bawah pimpinan Raja Rodrigo di Guadalete.

Sesudah Raja Rodrigo dikalahkan, wali negeri Bani Umayah untuk Ifriqiyah, Musa bin Nushair, bergabung dengan Tariq bin Ziyad dan melancarkan kampanye militer ke kota-kota maupun benteng-benteng di Hispania. Beberapa di antaranya dapat direbut pada tahun 712, misalnya kota Mérida, Kordoba, Zaragoza, dan mungkin juga kota Toledo, tetapi kebanyakan dikuasai melalui perjanjian dengan iming-iming otonomi, misalnya daerah kekuasaan Teodomiro (daerah Tudmir) dan kota Pamplona,[12] mengingat jumlah prajurit Muslim yang menginvasi Hispania tidak lebih dari 60.000 orang.[13]

Daulat Islam di Hispania

sunting

Sesudah pemerintahan Emirat terbentuk di Hispania, kepala negara Khilafah Bani Umayah, Khalifah Al Walid bin Abdul Malik mencopot banyak panglima Muslim yang berprestasi. Tariq bin Ziyad dipanggil pulang ke Damsyik dan diganti dengan Musa bin Nushair. Putra Musa, Abdul Aziz bin Musa, memperistri Egilona, janda Raja Rodrigo, dan membentuk pemerintahan daerah di Seviya. Ia dicurigai tunduk di bawah kendali istrinya serta didakwa berniat masuk Kristen dan berencana makar. Kecurigaan dan dakwaan tersebut agaknya membuat Khalifah Al Walid I khawatir sehingga memerintahkan agar Abdul Aziz dibunuh. Khalifah Al Walid mangkat pada tahun 715 dan digantikan adiknya, Sulaiman bin Abdul Malik. Agaknya Khalifah Sulaiman menghukum Musa bin Nushair, yang wafat saat berhaji pada tahun 716. Pada akhirnya yang menjadi Wali (wali negeri) Al Andalus adalah Ayub bin Habibul Lakhmi, saudara sepupu Abdul Aziz bin Musa.

Perusak persatuan pasukan Muslim di Hispania adalah ketegangan etnis antara bangsa Berber dan bangsa Arab.[14] Bangsa Berber adalah bangsa pribumi Afrika Utara yang belum lama memeluk agama Islam. Bangsa Berber berjasa memasok sebagian besar prajurit Muslim yang menginvasi Hispania, tetapi merasa didiskriminasi bangsa Arab.[15] Konflik internal laten ini mengancam keutuhan negara Khilafah Bani Umayah. Pada tahun 719, angkatan perang Bani Umayah mendarat di Hispania dan bergerak ke utara melintasi Pegunungan Pirenia. Ardo, raja Visigoth terakhir di Jazirah Iberia, melawan dan menghambat pergerakan angkatan perang gabungan Berber-Arab itu di Septimania sampai tahun 720.[16]

Sesudah orang Moro berhasil menaklukkan sebagian besar Jazirah Iberia dan membentuk Emirat Al Andalus, angkatan perang Bani Umayah mengalami kekalahan besar dalam Pertempuran Toulouse sehingga terpaksa menghentikan pergerakan ke utara untuk sementara waktu. Odo Agung, Adipati Aquitania, mengawinkan putrinya dengan Usman bin Naisa, pemberontak asli Berber yang menguasai daerah Cerdanya, demi mengamankan perbatasan selatan negerinya agar dapat leluasa membendung serangan Karel Martel di perbatasan utara. Meskipun demikian, Abdurrahman Al Ghafiqi, Emir Al Andalus yang terakhir, dalam ekspedisi penghukuman besar-besaran yang dipimpinnya, berhasil mengalahkan sekaligus menewaskan Usman. Emir Abdurrahman selanjutnya memimpin ekspedisi militer ke utara lewat bagian barat Pegunungan Pirenia sambil melancarkan aksi penjarahan sampai ke Bordeaux, dan mengalahkan Adipati Odo dalam Pertempuran Sungai Garona pada tahun 732.

Dalam keadaan putus asa, Adipati Odo meminta pertolongan musuh besarnya, Karel Martel. Pada tahun itu juga, angkatan perang gabungan Franka-Aquitania di bawah pimpinan Karel Martel maju melawan dan mengalahkan angkatan perang Bani Umayah dalam Pertempuran Poitiers yang merenggut nyawa Emir Abdurrahman. Sekalipun mulai menyusut, wilayah kekuasaan orang Moro terus eksis di Jazirah Iberia sampai 760 tahun kemudian.

Reconquista

sunting

Permulaan Reconquista

sunting
 
Patung Don Pelayo di Covadonga.
 
Lambang kota Alcanadre, Provinsi La Rioja, bergambar kepala orang Moro yang dipancung

Keputusan Emir Anbasa bin Suhaimul Kalbi untuk menaikkan pajak secara drastis memicu timbulnya beberapa kali pemberontakan di Al Andalus. Emir-emir sesudah Anbasa yang tidak lagi sekuat pendahulu mereka bahkan tidak berdaya memadamkan pemberontakan-pemberontakan tersebut. Sekitar tahun 722, Emirat Al Andalus melancarkan ekspedisi militer ke utara menjelang akhir musim panas dalam rangka memadamkan pemberontakan yang dipimpin Don Pelayo. Historiografi tradisional menjadikan kemenangan Don Pelayo di Covadonga sebagai tonggak permulaan sejarah Reconquista.

Meskipun tergolong negara kecil, dua kerajaan di utara Jazirah Iberia, Navara[17] dan Asturias, ternyata mampu mempertahankan kemerdekaannya. Karena para penguasa Bani Umayah di Kordoba tidak mampu melebarkan kekuasaan melewati Pegunungan Pirenia, kedua kerajaan ini akhirnya sepakat untuk menyatukan kekuatan tempurnya. Angkatan perang gabungan Arab-Berber secara berkala berusaha menerobos wilayah Asturias, tetapi wilayah itu merupakan kawasan cul-de-sac di pinggiran Dunia Islam yang penuh kesukaran pada masa perang dan tidak begitu menarik untuk dikuasai.[18]

Tidak heran jika Raja Alfonso I, di samping giat menyerbu benteng-benteng Berber di Meseta, giat pula memperluas wilayah kekuasaannya dengan mencaplok daerah-daerah orang Galisia maupun orang Basko.[19] Kedaulatan Asturias masih lemah pada beberapa dasawarsa pertama keberadaannya, sehingga harus terus-menerus diperkuat melalui ikatan perkawinan politik maupun perang dengan kelompok-kelompok masyarakat lain di kawasan utara Jazirah Iberia. Sesudah Don Pelayo mangkat pada tahun 737, putranya, Favila dari Asturias, terpilih menjadi raja. Menurut tawarikh-tawarikh, Favila tewas diterkam beruang dalam lomba uji nyali. Anak cucu Don Pelayo di Asturias mampu melanggengkan kekuasaan mereka dan sedikit demi sedikit memperluas wilayah sampai akhirnya berhasil menguasai seluruh kawasan barat laut Hispania sekitar tahun 775. Meskipun demikian, yang benar-benar dianggap berjasa memperluas wilayah Kerajaan Asturias adalah Don Pelayo dan sejumlah penerusnya yang disebut Bani Alfons di dalam tawarikh-tawarikh Arab. Perluasan wilayah Kerajaan Asturias ke selatan berlangsung pada masa pemerintahan Raja Alfonso II (tahun 791–842), yang melancarkan ekspedisi militer ke Lisboa pada tahun 798, kemungkinan besar dengan bantuan wangsa Karoling.[20]

Kerajaan Asturias kian kukuh setelah Alfonso II mendapatkan pengakuan sebagai Raja Asturias dari Karel Agung dan Sri Paus. Pada masa pemerintahannyalah tersiar kabar penemuan tulang belulang Santo Yakobus Tua di daerah Galisia, tepatnya di Santiago de Compostela. Peziarah yang berdatangan dari seluruh Eropa membuka jalur komunikasi Kerajaan Asturias yang terisolasi dengan negeri-negeri di wilayah kedaulatan wangsa Karoling, bahkan dengan negeri-negeri yang lebih jauh lagi.

Keterlibatan bangsa Franka di Al Andalus

sunting

Sesudah jantung wilayah kerajaan bangsa Visigoth di Jazirah Iberia berada di dalam cengkeraman Khilafah Bani Umayah, pasukan Muslim melanjutkan pergerakan ke utara melewati Pegunungan Pirenia dan sedikit demi sedikit menguasai daerah Septimania, dimulai dengan merebut kota Narbonne pada tahun 719 dan akhirnya tuntas sesudah Carcassonne dan Nîmes dapat dikuasai pada tahun 725. Dengan menjadikan Narbonne sebagai pangkalan militer, pasukan Muslim berusaha menaklukkan negeri Aquitania, tetapi mengalami kekalahan telak dalam Pertempuran Toulouse.[21]

Sepuluh tahun sesudah membendung gerak maju pasukan Muslim ke utara, Odo Agung, Adipati Aquitania, mengawinkan putrinya dengan Usman bin Naisa, tokoh Berber pemberontak yang menguasai daerah Cerdanya (bahkan mungkin juga seluruh daerah yang sekarang disebut Katalunya), dengan maksud mengamankan perbatasan selatan Aquitania agar ia dapat leluasa membendung serangan Karel Martel di utara. Meskipun demikian, Abdurrahmah Al Ghafiqi, Emir Al Andalus yang terakhir, lewat ekspedisi penghukuman besar-besaran yang dipimpinnya, berhasil mengalahkan sekaligus menewaskan Usman bin Naisa.[21]

Pipin Muda dan Karel Agung

sunting

Sesudah mengusir pasukan Muslim dari Narbonne pada tahun 759 dan memaksa mereka mundur kembali ke selatan, Raja Franka dari wangsa Karoling, Pipin Muda, menaklukkan Aquitania lewat peperangan sengit selama delapan tahun. Meneruskan kebijakan ayahnya, Karel Agung menundukkan Aquitania dengan cara membentuk daerah-daerah kabupaten, bersekutu dengan Gereja, dan mengangkat bupati-bupati asli Franka atau Burgundia, misalnya dengan mengangkat Guilelmus dari Gellone menjadi Bupati Toulouse dan menjadikan kota itu sebagai pangkalan bagi pelancaran ekspedisi-ekspedisi militer melawan Al Andalus.[21] Karel Agung memutuskan untuk membentuk sebuah kerajaan bagian bernama Marca Hispanica dengan wilayah yang mencakup sebagian daerah Katalunya sekarang ini. Marca Hispanica didirikan untuk memantau gerak-gerik Aquitania sekaligus mencegah pasukan Muslim menerobos perbatasan selatan wilayah kedaulatan wangsa Karoling. Pada tahun 781, Ludovikus, putra Karel Agung yang baru berumur tiga tahun, dinobatkan menjadi Raja Aquitania di bawah bimbingan Guilelmus daro Gellone, orang kepercayaan Karel Agung. Ludovikus secara nominal ditugaskan merintis Marca Hispanica.[21]

Sementara itu, pendaulatan ujung selatan Al Andalus oleh Abdurrahman I pada tahun 756 ditentang Yusuf bin Abdurrahman, wali negeri otonom (wāli) atau raja (malik) Al Andalus. Abdurrahman I mengusir Yusuf dari Kordoba,[22] tetapi perlu waktu berpuluh-puluh tahun baginya untuk melebarkan kekuasaan ke daerah-daerah di bagian barat laut Al Andalus. Abdurrahman juga ditentang Khilafah Bani Abas di Bagdad yang berulang kali gagal menundukkannya. Pada tahun 778, angkatan perang Abdurrahman bergerak memasuki lembah Ebro. Para menak setempat memutuskan untuk meminta pertolongan bangsa Franka. Menurut Ali bin Al Athir, sejarawan Kurdi yang hidup pada abad ke-12, Karel Agung menerima duta-duta yang diutus Sulaiman Al Arabi, Husain, dan Abu Taur dalam sidang raya kekaisaran di Paderborn pada tahun 777. Para penguasa Zaragoza, Girona, Barcelona, dan Huesca tersebut adalah musuh-musuh Abdurrahman. Mereka berjanji akan berprasetia kepada Karel Agung jika diberi bantuan militer.[23]

 
Reconquista kota-kota utama (menurut tahun)

Karel Agung menyambut baik janji-janji itu sebagai peluang melebarkan kekuasaan. Pada tahun 778, ia melancarkan ekspedisi militer ke selatan melintasi Pegunungan Pirenia. Di dekat kota Zaragoza, Karel Agung menerima prasetia Sulaiman Al Arabi. Meskipun demikian, kota Zaragosa di bawah pimpinan Husain menutup pintu gerbangnya dan menolak tunduk.[23] Karena tidak berhasil menundukkan kota itu dengan kekuatan tempurnya, Karel Agung memutuskan untuk mundur. Dalam perjalanan pulang, pasukan garis belakang angkatan perang Franka disergap dan ditumpas pasukan Basko di Jalur Roncevaux. Chanson de Roland, catatan peristiwa Pertempuran Jalur Roncevaux yang sudah sangat diromantisasi, kemudian hari menjadi salah satu chanson de geste (lagu wiracarita) yang paling digemari pada Abad Pertengahan. Abdurrahman I mangkat dan digantikan Hisyam I sekitar tahun 788. Hisyam memaklumkan jihad pada tahun 792, lalu menggempur Kerajaan Asturias dan Septimania pada tahun 793. Pasukan Muslim mengalahkan Gulielmus dari Gellone, Bupati Toulouse, dalam pertempuran, tetapi setahun kemudian, Gulielmus melancarkan ekspedisi militer lewat bagian timur Pegunungan Pirenia. Kota Barcelona menjadi incaran bangsa Franka pada tahun 797, karena Zaid, Wali Kota Barcelona memberontak melawan Emir Kordoba dari Bani Umayah. Pasukan Emir Kordoba berhasil merebut Barcelona pada tahun 799, tetapi Ludovikus memimpin angkatan perang Franka melintasi Pegunungan Pirenia dan mengepung kota Barcelona selama tujuh bulan sampai berhasil mendudukinya pada tahun 801.[24]

Jalur-jalur perlintasan utama di Pegunungan Pirenia adalah Roncesvalles, Somport, dan La Jonquera. Di jalur-jalur perlintasan tersebut, Karel Agung membentuk pemerintahan daerah jajahan. Daerah sekitar Jalur Roncesvalles dijadikan daerah Pamplona, daerah sekitar Jalur Somport dijadikan daerah Aragon, sementara daerah sekitar Jalur La Jonquera dijadikan daerah Katalunya. Daerah Katalunya merupakan gabungan beberapa kabupaten kecil, antara lain Pallars, Girona, dan Urgell. Menjelang akhir abad ke-8, daerah Katalunya disebut Marca Hispanica. Pemerintah ketiga daerah jajahan tersebut bertugas melindungi tepian-tepian serta jalur-jalur perlintasan di bagian timur Pegunungan Pirenia, dan berada di bawah kendali langsung raja-raja Franka. Raja pertama Pamplona, Iñigo Arista, bersekutu dengan kerabat Muslimnya, Bani Qasi, dan memberontak melawan penjajahan Franka. Iñigo mampu menggagalkan ekspedisi militer Franka pada tahun 824 dan mendirikan Kerajaan Pamplona. Kerajaan Aragon, yang didirikan pada tahun 809 oleh Aznar Galíndez, menguasai daerah sekitar kota Jaca serta lembah-lembah di sekitar Sungai Aragon, dan melindungi jalan raya peninggalan bangsa Romawi yang melewati negeri itu. Pada akhir abad ke-10, negeri Aragon, yang ketika itu merosot ke tingkat kabupaten, dianeksasi Kerajaan Navara. Sobrarbe dan Ribagorza hanyalah kabupaten-kabupaten kecil, dan tidak besar peranannya di dalam perjuangan Reconquista.

Jelang akhir abad ke-9, di bawah kepemimpinan Bupati Wifredo, Barcelona secara de facto menjadi semacam ibu kota yang membawahi banyak kabupaten lain, dan akhirnya menjadi negara merdeka pada tahun 948 di bawah kepimpinan Bupati Borrel II. Borrel tidak mengakui keabsahan penguasa baru di Prancis (wangsa Capet), baik sebagai kepala negara Prancis maupun sebagai pihak yang berdaulat atas Kabupaten Barcelona. Semua kerajaan baru tersebut adalah negara-negara kecil yang tidak tidak memiliki kapasitas (kecuali Kerajaan Pamplona alias Kerajaan Navara) untuk menyerang pihak Muslim seperti yang dilakukan Kerajaan Asturias. Meskipun demikian, letaknya di daerah pegunungan membuat kerajaan-kerajaan ini relatif terhindar dari usaha penaklukan, dan garis-garis perbatasannya tidak berubah selama dua abad.

Merembet ke Perang Salib dan tarekat-tarekat militer

sunting
 
Gambar adegan perang Reconquista di dalam naskah Cantigas de Santa Maria

Pada Abad Pertengahan Madya, perjuangan melawan orang Moro di Jazirah Iberia mulai dicampuradukkan dengan perjuangan segenap Dunia Kristen. Baru kemudian hari geliat perlawanan terhadap orang Moro dimaknai sebagai perang kemerdekaan yang dibenarkan agama (baca konsep Agustinus mengenai perang yang sah). Lembaga kepausan dan Biara Cluny di Burgundia membenarkan bahkan mendorong kesatria-kesatria Kristen untuk mengupayakan konfrontasi bersenjata dengan "orang-orang kafir" Moro, ketimbang bersengketa satu sama lain.

Tarekat-tarekat militer seperti Tarekat Santiago, Tarekat Montesa, Tarekat Kalatrava, dan Tarekat Kesatria Haikal dibentuk atau diimbau ikut berperang di Hispania. Para paus mengimbau kesatria-kesatria Eropa untuk turut berjuang menghancurkan negara-negara Islam di Jazirah Iberia. Selepas peristiwa yang disebut Musibah Alarcos, angkatan perang Prancis, Navara, Kastila, Portugal, dan Aragon bersatu melawan pasukan Muslim dalam pertempuran besar di Las Navas de Tolosa (1212). Daerah-daerah luas yang dianugerahkan kepada tarekat-tarekat militer dan para menak merupakan cikal bakal dari sekian banyak latifundium yang ada di Andalusia, Extremadura, dan Alentejo sekarang ini.

Budaya militer di Hispania pada Abad Pertengahan

sunting

Angkatan-angkatan perang Kristen pada Abad Pertengahan pada umumnya terdiri atas dua jenis pasukan, yakni kavaleri (kebanyakan personelnya adalah para menak, para kesatria dari kalangan rakyat jelata mulai diikutsertakan sejak abad ke-10) dan infantri atau peones (rakyat jelata). Pasukan infantri hanya dikerahkan bilamana diperlukan, dan oleh karena itu jarang terlihat di medan perang.

Pada kurun waktu yang penuh dengan konflik berlarut-larut itu, peperangan dan kehidupan sehari-hari nyaris tak terpisahkan. Angkatan-angkatan perang Kristen yang terbentuk pada masa itu adalah cerminan dari masyarakat pada babak-babak awal Reconquista yang mau tidak mau harus siaga setiap waktu. Angkatan-angkatan perang tersebut sangggup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang jauh jaraknya dalam waktu singkat.

Pengaruh budaya Goth terhadap kavaleri dan infantri

sunting

Taktik-taktik kavaleri di Hispania mencakup maju mendekati musuh, melemparkan lembing, kemudian mundur ke jarak aman sebelum melancarkan serangan berikutnya. Jika formasi lawan sudah cukup lemah, para kesatria akan maju menyerang dengan tombak (ganjur baru dikenal di Hispania pada abad ke-11). Ada tiga macam kesatria (caballeros), yaitu kesatria kerajaan, kesatria menak (caballero hidalgo), dan kesatria jelata (caballero villano, artinya "prajurit berkuda dari vila"). Sebagian besar kesatria kerajaan adalah kesatria-kesatria dari kalangan menak yang masih terhitung kerabat dekat raja, sehingga dianggap pantas mengaku sebagai keturunan langsung bangsa Goth.

Kesatria-kesatria kerajaan pada tahap-tahap permulaan Reconquista diperlengkapi sama seperti para leluhur Goth mereka, yakni dengan baju halkah, perisai layang-layang, sebilah pedang panjang (dirancang sedemikian rupa sehingga cocok dipakai bertarung sambil berkuda), lembing-lembing, tombak-tombak, dan sebilah kapak Visigoth. Kesatria-kesatria menak berasal dari kalangan infanzones atau kalangan menak rendahan, sementara kesatria-kesatria jelata adalah orang-orang bukan menak tetapi cukup berada sehingga mampu memiliki seekor kuda. Tidak seperti yang berlaku di negara-negara Eropa lainnya, para prajurit berkuda tersebut merupakan milisi kavaleri tanpa ikatan feodal. Mereka hanya patuh kepada raja atau bupati Kastila karena dianugerahi fuero (piagam). Baik kesatria menak maupun kesatria jelata mengenakan baju tahan besi, membawa lembing-lembing dan tombak-tombak, serta menenteng perisai bundar (dipengaruhi bentuk perisai Moro) dan sebilah pedang.

Peones adalah rakyat jelata yang turut angkat senjata sebagai bentuk darma bakti kepada majikan feodal mereka. Karena hanya dipersenjatai dengan busur dan anak panah, serta tombak dan pedang pendek, mereka lebih banyak diberdayakan sebagai pasukan bantu. Fungsi mereka di medan tempur adalah menghambat gerak maju pasukan lawan sampai kavaleri tiba dan menghalang-halangi invantri lawan menyerang para kesatria. Busur panjang, busur rakitan, dan senapan panah adalah jenis-jenis busur yang paling dasar, dan merupakan senjata kegemaran infantri.

Di Hispania pada Abad Pertengahan Awal, baju perang jamak terbuat dari kulit samakan dan sisik-sisik besi. Pelindung kepala terdiri atas tudung halkah dan ketopong bundar yang dilengkapi tameng hidung (dipengaruhi bentuk ketopong bangsa Viking yang menyerbu Hispania pada abad ke-8 dan ke-9). Perisai lazimnya berbentuk bundar atau oval bengkok seperti ginjal, kecuali perisai berbentuk layang-layang yang digunakan para kesatria kerajaan. Perisai-perisai tersebut biasanya terbuat dari kayu berlapis kulit samakan yang dihiasi corak-corak hias geometris, gambar salib, atau jumbai-jumbai.

Pedang-pedang baja merupakan senjata yang paling umum. Kavaleri menggunakan pedang panjang bermata dua, sementara infantri menggunakan pedang pendek bermata satu. Ganja pedang berbentuk setengah lingkaran atau persegi panjang, dan selalu dihiasi corak-corak hias geometris. Panjang gagang tombak dan lembing dapat mencapai 1,5 meter, sementara matanya terbuat dari besi. Kapak ganda, yang terbuat dari besi dengan panjang 30 cm dengan mata yang diasah tajam, dirancang sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai senjata lempar maupun alat bacok dalam pertarungan jarak dekat. Meskipun tidak lazim digunakan, gada dan palu termasuk senjata-senjata peninggalan zaman Reconquista dan diduga digunakan oleh prajurit-prajurit kavaleri.

Prajurit bayaran merupakan salah satu faktor penting, karena banyak raja tidak memiliki cukup banyak prajurit. Laskar Orang Utara, penombak Flandria, kesatria Franka, pemanah berkuda Moro, dan kavaleri ringan Berber adalah laskar-laskar bayaran utama yang dapat dimanfaatkan pada masa itu.

Perkembangan teknologi tempur

sunting

Tata cara berperang semacam ini dominan dipakai di Jazirah Iberia sampai taktik-taktik perang dengan ganjur masuk ke Hispania dari Prancis pada akhir abad ke-11. Meskipun pemanfaatan ganjur sudah dikenal, teknik-teknik lama seperti lempar lembing sambil berkuda masih terus dipakai. Pada abad ke-12 dan ke-13, prajurit-prajurit jamak membawa sebilah pedang, sebatang ganjur, sebatang lembing, dan busur beserta anak panahnya atau senapan panah beserta baut panahnya. Baju perang terdiri atas baju tahan besi sebagai lapisan dalam, baju halkah selutut sebagai lapisan luar, ketopong atau topi besi, serta pelindung tangan dan kaki dari kulit samakan atau logam.

 
Pertempuran Las Navas de Tolosa tahun 1212, salah satu titik balik penting dalam perjuangan Reconquista

Perisai-perisai berbentuk bundar atau segitiga, terbuat dari kayu, dilapisi kulit samakan, dan dilindungi sabuk-sabuk besi. Perisai para kesatria dan kaum menak dihiasi gambar lambang keluarga masing-masing. Para kesatria dapat berkendara dengan cara Muslim (a la jineta), yakni dengan sanggurdi pendek dan lutut tertekuk (seperti cara duduk joki sekarang ini) yang meningkatkan laju dan daya kendali, maupun dengan cara Prancis (a la brida), yakni dengan sanggurdi panjang dan kaki terulur (seperti cara berkendara kavaleri modern) yang membuat penunggangnya sukar dijatuhkan dari pelana pada saat berlaga selaku prajurit kavaleri berat. Adakalanya tubuh kuda juga dilindungi dengan mantel halkah.

Sekitar abad ke-14 dan ke-15, kavaleri berat dijadikan pasukan utama, dan terdiri atas kesatria-kesatria berzirah lengkap.

Negara-negara Kristen di utara Jazirah Iberia

sunting

Negara-negara kepangeranan dan kerajaan bertahan hidup di daerah pegunungan, tetapi mulai meluaskan wilayahnya ke selatan pada peralihan abad ke-10. Runtuhnya negara Khilafah Kordoba pada tahun 1031 menjadi awal dari kurun waktu ekspansi militer negara-negara Kristen di utara Jazirah Iberia, yang waktu itu merupakan negara-negara kedaerahan selepas pecahnya Kerajaan Navara pada tahun 1035. Negara-negara Kristen otonom lain dalam berbagai bentuknya baru didirikan kemudian hari.

Kerajaan Asturias (tahun 718–924)

sunting

Kerajaan Asturias terletak di Pegunungan Cantabria, daerah pegunungan beriklim lembap di utara Jazirah Iberia. Kerajaan Asturias adalah negara Kristen pertama yang tampil mengemuka. Pendirinya bernama Pelayo, seorang menak Visigoth yang dipilih orang Asturias dan sisa-sisa gens Gothorum (kaum menak Goth Hispania dan masyarakat Visigoth Hispania yang mengungsi ke utara Jazirah Iberia) menjadi pemimpin mereka sepulangnya dari Pertempuran Guadalete tahun 711.[25] Sejarawan Joseph F. O'Callaghan mengemukakan bahwa sekelompok gens Gothorum yang tidak diketahui jumlahnya mengungsi ke Asturias atau ke Septimania. Di Asturias, mereka mendukung pemberontakan Don Pelayo, serta bergabung dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat dan membentuk golongan menak baru di negeri itu. Populasi daerah pegunungan terdiri atas masyarakat pribumi Asturia, Galisia, Kantabria, Basko, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang tidak terasimilasi ke dalam masyarakat Goth Hispania.[26] Semua kelompok masyarakat ini merupakan pihak-pihak yang berperan serta mendirikan Kerajaan Asturias serta melahirkan wangsa Asturias Leon yang berkuasa dari tahun 718 sampai 1037 dan memimpin usaha-usaha perdana perebutan kembali daerah-daerah kekuasaan orang Moro di Semenanjung Iberia.[27] Wangsa Asturias Leon mula-mula memerintah di daerah pegunungan dengan Cangas de Onís sebagai ibu kota kerajaan. Raja-raja dari wangsa ini lebih mengutamakan usaha mempertahankan keutuhan wilayah Asturias dan mengukuhkan kedaulatan mereka. Raja-raja terakhirnya, teristimewa Raja Alfonso III, menegaskan hakikat Kerajaan Asturias sebagai penerus Kerajaan Toledo dan penegak kedaulatan bangsa Visigoth untuk membenarkan perjuangannya meluaskan wilayah ke selatan.[28] Historiografi moderen sudah menyangkal seluruh klaim tersebut dengan menandaskan hakikat kepribumian dari negara-negara Cantabria-Asturias dan Vasconia tanpa embel-embel kesinambungan dengan Kerajaan Toledo yang didirikan bangsa Goth.[29]

Kerajaan yang didirikan Pelayo mula-mula hanya sedikit lebih besar daripada sebuah titik kumpul laskar-laskar gerilya yang sudah ada saat itu. Pada dasawarsa-dasawarsa pertama, kedaulatan penguasa Asturias atas berbagai daerah di kerajaan itu belum begitu kukuh, karena itulah Kerajaan Asturias terus-menerus diperkuat melalui perkawinan politik sebagai penjalin persekutuan dengan keluarga-keluarga penguasa lainnya di utara Jazirah Iberia. Ermesinda, anak perempuan Don Pelayo, dijodohkan dengan Alfonso, anak laki-laki Don Pedro, Adipati Cantabria. Fruela, anak laki-laki Alfonso, memperistri Munia, gadis Basko asal Álava, sesudah memadamkan pemberontakan (mungkin sekali perlawanan) orang Basko. Anak laki-laki Fruela dan Munia kemudian hari menjadi Raja Alfonso II. Selain itu, Adosinda, anak perempuan Alfonso I, dikawinkan dengan Silo, seorang pemimpin masyarakat lokal dari daerah Flavionavia, Pravia.

Strategi perang Alfonso adalah strategi perang yang lazim di Iberia pada masa itu. Ia tidak memiliki sarana yang diperlukan untuk menaklukkan wilayah luas, karena itu ia menerapkan taktik penyebuan ke daerah-daerah di perbatasan Vardulia. Hasil jarahan ia manfaatkan untuk mengupah lebih banyak prajurit sehingga angkatan perangnya cukup kuat untuk menyerbu kota-kota yang dikuasai Muslim seperti Lisboa, Zamora, dan Coimbra. Alfonso I juga melebarkan wilayah kekuasaannya ke arah barat dengan menaklukkan Galisia.

 
Gambar Santo Yakobus Tua selaku Santiago Matamoros (Santo Yakobus Pembantai Orang Moro), tokoh legenda Reconquista

Pada amsa pemerintahan Raja Alfonso II (tahun 791–842), Kerajaan Asturias semakin kukuh, tetapi serbuan-serbuan pasukan Muslim menyebabkan ibukota kerajaan terpaksa dipindahkan ke Oviedo. Raja Alfonso II diduga memprakarsai hubungan diplomatik dengan Raja Pamplona dan raja-raja wangsa Karoling, sehingga akhirnya mendapatkan pengakuan resmi bagi eksistensi kerajaannya dari Sri Paus dan Kaisar Karel Agung.

Tulang-belulang Santo Yakobus Tua dikabarkan telah ditemukan di Iria Flavia (Padrón sekarang ini) pada tahun 813 atau kemungkinan besar dua atau tiga dasawarsa kemudian. Relikui Santo Yakobus Tua kemudian hari dipindahkan ke Compostela (dari frasa Latin campus stellae, artinya "padang bintang"), mungkin sekali pada awal abad ke-10, ketika kedaulatan Asturias berpindah dari daerah pegunungan ke Leon dan menjadi Kerajaan León atau Galisia-Leon. Relikui Santo Yakobus hanyalah salah satu dari sekian banyak relikui orang kudus yang dikabarkan telah ditemukan di kawasan barat laut Hispania. Hispania pun dibanjiri peziarah dari yang berdatangan dari negeri-negeri di luar Jazirah Iberia. Arus peziarah inilah yang menjadi cikal bakal Jalan Santo Yakobus (abad ke-11 sampai ke-12) yang menggelorakan semangat religius umat Kristen Eropa selama berabad-abad.

Meskipun berulang kali bertempur, baik pemerintah Bani Umayah maupun Kerajaan Asturias tidak memiliki cukup pasukan untuk mempertahankan kekuasaannya atas daerah-daerah di utara Jazirah Iberia. Pada masa pemerintahan Raja Ramiro, pahlawan legendaris Pertempuran Clavijo, perbatasan Asturias lambat laun bergeser ke selatan. Daerah-daerah kekuasaan Asturias di daerah Kastila, Galisia, dan Leon dibentengi, dan program repopulasi daerah pedesaan mulai digiatkan di daerah-daerah tersebut. Pada tahun 924, Kerajaan Asturias berubah menjadi Kerajaan León, yakni ketika Leon dijadikan pusat pemerintahan.

Kerajaan Leon (tahun 910–1230)

sunting

Alfonso III, Raja Asturias, merepopulasi Leon, kota yang strategis letaknya, dan menjadikannya pusat ibu kota negara. Ia melancarkan serangkaian kampanye militer demi menguasai seluruh seluruh kawasan di sebelah utara Sungai Douro. Wilayah kekuasaannya ia bagi menjadi dua kadipaten besar (Galisia dan Portugal) dan dua kabupaten besar (Saldaña dan Kastila), sementara daerah perbatasan ia perkuat dengan cara membangun banyak puri. Saat ia mangkat pada tahun 910, peralihan kekuatan regional ke Leon sudah tuntas, karena Kerajaan Asturias sudah dikenal sebagai Kerajaan León. Dengan Leon sebagai pangkalan militer yang baru, Raja Ordoño II, pengganti Alfonso III, dapat mengatur aksi-aksi penyerangan ke Toledo bahkan Sevila.

Sementara itu, negara Khilafah Kordoba tumbuh semakin kuat dan mulai memerangi Leon. Raja Ordoño bersekutu dengan Navara melawan Khalifah Abdurrahman III, tetapi mengalami kekalahan dalam Pertempuran Valdejunquera pada tahun 920. Selama 80 tahun selepas kekalahan tersebut, Kerajaan Leon didera perang saudara, serangan orang Moro, intrik internal dan pembunuhan tokoh-tokoh penting, serta kemerdekaan parsial Galisia dan Kastila, yang membuat usaha penaklukan kembali harus ditangguhkan dan angkatan perang Kristen menjadi lemah. Baru pada abad berikutnya umat Kristen mulai memandang usaha-usaha pernaklukan mereka sebagai bagian dari perjuangan jangka panjang memulihkan kesatuan kerajaan bangsa Visigoth.

Satu-satunya masa penuh harapan bagi Leon pada kurun waktu tersebut adalah masa pemerintahan Raja Ramiro II. Bersama-sama Bupati Kastila, Fernán González, beserta para caballeros villanos-nya, Raja Ramiro mengalahkan Khalifah Abdurrahman III di Simancas pada tahun 939. Kalifah melarikan diri bersama pasukan pengawalnya, sementara angkatan perang Kordoba selebihnya dihancurkan. Seusai Pertempuran Simancas, Ramiro menganugerahkan kemerdekaan kepada Kastila sebagai balas jasa Bupati Fernán González, dan serbuan-serbuan orang Moro terhenti sampai Al Mansyur mulai melancarkan kampanye-kampanye militernya. Seluruh wilayah Leon, Asturias, dan Galisia akhirnya dikuasai kembali pada tahun 1002 oleh Raja Alfonso V. Di lain pihak, Kerajaan Navara tetap utuh sekalipun digempur Al Mansyur.

Penaklukan Leon oleh Kastila tidak mencakup Galisia, yang dibiarkan merdeka untuk sementara waktu sesudah kemunduran Leon. sekitar tahun 1038, Galisia akhirnya ditaklukkan Kerajaan Navarra (oleh Fernando, putra Sancho Agung). Kemerdekaan yang berlangsung singkat tersebut berarti Galisia tetap merupakan sebuah kerajaan yang tunduk di bawah Kerajaan Leon. Inilah sebabnya Galisia menjadi bagian dari negara Spanyol, bukan Portugal. Raja-raja selanjutnya menyandang gelar Raja Galisia dan Leon, alih-alih Raja Leon saja, karena kedua kerajaan tersebut tidak disatukan, tetapi diperintah secara terpisah oleh satu orang raja saja.

Kerajaan Kastila (tahun 1037–1230)

sunting
 
Ubin keramik bergambar peristiwa penaklukan Toledo oleh Raja Alfonso VI

Fernando I adalah raja yang memerintah Leon pada pertengahan abad ke-11. Ia menaklukkan Coimbra dan memerangi negara-negara Mulukut Thawaif. Ia kerap menuntut negara-negara itu membayar upeti yang disebut parias. Strategi Fernando adalah terus-menerus memeras parias sampai negara-negara Mulukut Thawaif menjadi lemah secara militer maupun finansial. Ia juga merepopulasi daerah-daerah perbatasan dengan sejumlah besar fueros. Sesuai adat-istiadat Navara, menjelang ajalnya pada tahun 1064, Fernando membagi-bagi wilayah kekuasaannya kepada putra-putranya. Karena ingin menyatukan kembali seluruh wilayah kekuasaan ayahnya, Raja Sancho II memerangi saudara-saudaranya. Kawan seperjuangannya adalah seorang menak muda bernama Rodrigo Díaz, yang kemudian hari terkenal dengan julukan El Cid Campeador (Sayid Juara). Sewaktu mengepung Zamora pada tahun 1072, Sancho tewas dibunuh seorang pengkhianat bernama Bellido Dolfos atau Vellido Adolfo. Adik Sancho, Alfonso VI, mengambil alih pemerintahan Leon, Kastila, dan Galisia.

Raja Alfonso VI alias Alfonso Pemberani memberi lebih banyak kewenangan kepada fueros serta merepopulasi Segovia, Ávila, dan Salamanca. Sesudah mengamankan batas-batas wilayah Kastila, ia menaklukkan negara thaifah di Toledo pada tahun 1085. Toledo, bekas ibu kota kerajaan bangsa Visigoth, adalah kota yang sangat terpandang, sehingga aksi penaklukan tersebut membuat nama Alfonso termasyhur ke seluruh Dunia Kristen. Meskipun demikian, "penaklukan" ini sesungguhnya terjadi sedikit demi sedikit, lebih banyak lewat jalan damai, dan berlangsung selama beberapa dasawarsa. Toledo baru benar-benar takluk sesudah direpopulasi warga Kristen.

Alfonso VI adalah kepala monarki yang memilih untuk memahami jalan pikiran raja-raja thaifah dan memprakarsai usaha-usaha diplomasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk meraih kemenangan politik sebelum menggunakan cara-cara kekerasan. Ia menyandang gelar Imperator totius Hispaniae (Kaisar Seluruh Hispania, maksudnya seluruh kerajaan Kristen di Jazirah Iberia, bukan hanya negara Spanyol sekarang ini). Kebijakan Alfonso yang lebih agresif terhadap negara-negara thaifah menimbulkan kekhawatiran para kepala negaranya. Mereka akhirnya meminta pertolongan kaum Murabatin dari Afrika.

Kerajaan Navara (tahun 824–1620)

sunting

Kerajaan Pamplona terletak di kedua sisi Pegunungan Pirenia di tepi Samudra Atlantik. Kerajaan ini terbentuk ketika Íñigo Arista, tokoh masyarakat setempat, memimpin pemberontakan melawan pemerintah penjajah Franka dan dipilih atau dimasyhurkan sebagai raja di Pamplona pada tahun 824, sehingga terbentuklah sebuah kerajaan yang ketika itu mau tidak mau harus bersekutu dengan kaum kerabat Íñigo yang beragama Islam, yakni Bani Qasi, keluarga muwalad yang berkuasa di Tudela.

Kerajaan Pamplona relatif lemah sampai awal abad ke-11, tetapi mulai tampil mengemuka sesudah Sancho Agung (1004–1035) naik takhta. Pada masa pemerintahannya, luas wilayah Kerajaan Pamplona meningkat pesat, bahkan menelan wilayah Kastila, Leon, dan daerah-daerah yang kelak menjadi wilayah Kerajaan Aragon. Selain itu Kerajaan Pamplona juga mencaplok kabupaten-kabupaten kecil yang kemudian hari bersatu membentuk negara Kepangeranan Katalunya. Ekspansi besar-besaran ini juga melahirkan kemerdekaan daerah Galisia dan kedaulatan atas daerah Gaskonia.

Meskipun demikian, pada abad ke-12, wilayah Kerajaan Pamplona menyusut kembali seperti sediakala, dan pada tahun 1162, Raja Sancho VI menyatakan diri sebagai Raja Navara. Sepanjang permulaan sejarahnya, Kerajaan Navara berulang kali melakukan perlawanan terhadap usaha kekaisaran wangsa Karoling untuk menjajahnya. Perlawanan-perlawanan yang tidak seberapa besar tersebut menjadi unsur utama yang mewarnai sejarah Kerajaan Navara sampai tahun 1513.

Kerajaan Aragon (tahun 1035–1706)

sunting
 
Orang Moro minta perkenanan Raja Jaime I

Kerajaan Aragon bermula sebagai pecahan Kerajaan Navara. Kerajaan ini terbentuk ketika Raja Sancho III memutuskan untuk membagi wilayah kekuasaannya yang luas kepada semua putranya. Wilayah Aragon diberikan kepada Ramiro, anak haramnya. Kerajaan Aragon dan Kerajaan Navara beberapa kali diperintah sekaligus oleh satu orang raja saja sampai dengan kemangkatan Raja Alfonso el Batallador (Alfonso Pejuang) pada tahun 1135.

Ahli waris perempuan Kerajaan Aragon kawin dengan Bupati Barcelona pada tahun 1137. Putra mereka, Alfonso II, menjadi kepala pemerintahan seluruh wilayah Kerajaan Aragon dan Kabupaten Barcelona sejak tahun 1162. Pemerintahan yang menaungi seluruh wilayah Kerajaan Aragon dan Bupati Barcelona inilah yang disebut para sejarawan modern sebagai Mahkota Aragon.

Pada abad-abad selanjutnya, Mahkota Aragon menaklukkan sejumlah negeri di Jazirah Iberia maupun negeri-negeri lain di kawasan sekitar Laut Tengah, antara lain Kerajaan Valensia dan Kerajaan Mayorka. Raja Jaime I alias Jaime Penakluk, meluaskan wilayah kekuasaannya ke utara, selatan, maupun timur. Jaime Penakluk juga menandatangani Perjanjian Corbeil tahun 1258, yang melepaskannya dari ikatan pengabdian kepada Raja Prancis.

Pada awal masa pemerintahannya, Jaime Penakluk berusaha menyatukan Mahkota Aragon dan Mahkota Navara lewat perjanjian dengan Raja Navara, Sancho VII, yang tidak dikaruniani keturunan. Para menak Navara tidak bersedia diperintah Jaime dan memilih Bupati Sampanye, Teobaldo, menjadi Raja Navara.

Kemudian hari Raja Aragon, Raja Fernando II, kawin dengan Ratu Kastila, Isabel I, sehingga terjadi penyatuan dua wangsa yang pada akhirnya melahirkan negara Spanyol modern, sesudah daerah Navara Atas (wilayah Kerajaan Navara di sebelah selatan Pegunungan Pirenia) dan Kerajaan Granada ditaklukkan.

Kerajaan Portugal (tahun 1139–1910)

sunting
 
Patung Geraldo Sem Pavor (Geraldo Si Megak), pahlawan rakyat Portugis, mengacungkan kepala orang Moro

Pada tahun 1139, sesudah menang telak melawan pasukan Murabatin dalam Pertempuran Ourique, Afonso Henriques dimasyhurkan sebagai Raja Portugal yang pertama oleh pasukannya. Menurut legenda, jasa-jasa besar Afonso diumumkan Kristus dari langit, oleh karena itu ia menggelar Cortes de Portugal (Sidang Raya Portugal) yang pertama di Lamego dan dinobatkan menjadi Raja Portugal oleh Uskup Agung Braga. Di dalam Perjanjian Zamora tahun 1143, Alfonso VII, Raja Leon dan Kastila, mengakui kemerdekaan bangsa Portugis dari Kerajaan Leon.

Pada tahun 1147, Portugal mendaulat kota Santarém, dan berhasil merebut kota Lisboa tujuh bulan kemudian. Melalui bula Manifestis Probatum, Paus Aleksander III mengakui Afonso Henriques sebagai Raja Portugal pada tahun 1179.

Dengan diakuinya Portugal sebagai negara merdeka oleh negara-negara tetangganya, Afonso Henriques dan para penggantinya, dengan bantuan Laskar Salib, Tarekat Kesatria Haikal, dan Tarekat Aviz atau Tarekat Santo Yakobus, menyingkirkan orang Moro sampai ke Algarve di pesisir selatan Portugal. Sesudah beberapa kali melancarkan kampanye militer, perjuangan bangsa Portugis dalam Reconquista dituntaskan dengan merebut Algarve pada tahun 1249. Seluruh Portugal akhirnya dapat ditundukkan di bawah pemerintahan Raja Afonso III, dan beragam kelompok keagamaan, budaya, maupun etnis di negara itu lambat laun menjadi homogen.

 
Salib Tarekat Kristus

Wilayah kedaulatan bangsa Portugis seusai Reconquista adalah sebuah wilayah Kristen Katolik. Meskipun demikian, Raja Denis memerangi Kastila demi merebut kota Serpa dan kota Moura. Seusai perang singkat ini, Denis menghindari peperangan. Pada tahun 1297, Denis dan Fernando IV, Raja Kastila, menandatangani Perjanjian Alcanizes yang menetapkan garis-garis perbatasan kedua negara sebagaimana adanya sekarang ini.

Ketika Tarekat Kesatria Haikal diberangus di seluruh Eropa sesudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh Raja Prancis dan Sri Paus pada tahun 1312, Raja Denis mengubah Tarekat Kesatria Haikal cabang Tomar menjadi Tarekat Kristus pada tahun 1319. Denis berkeyakinan bahwa aset-aset Tarekat Kesatria Haikal mesti tetap dikuasai suatu tarekat, bukannya diambil alih raja, lebih-lebih karena Tarekat Kesatria Haikal sudah berjasa membantu perjuangan Reconqista maupun usaha pembangunan kembali Portugal seusai perang

Pengalaman tempur yang didapatkan dari Reconquista sangat berguna dalam perang penaklukan Ceuta, yang merupakan langkah pertama menuju pembentukan kemaharajaan bangsa Portugis. Demikian pula perkenalan dengan teknik-teknik dan ilmu navigasi Muslim memampukan bangsa Portugis untuk menciptakan karya-karya inovatif di bidang pelayaran seperti karavel, jenis kapal utama yang digunakan bangsa Portugis dalam pelayaran-pelayaran penjajakan mereka pada Abad Penjelajahan bangsa Eropa.[30]

Lain-lain

sunting

Negara-negara Kristen yang kecil adalah Kerajaan Viguera (tahun 970–1005), Pertuanan Albarracín (tahun 1167–1300), dan Kepangeranan Valensia (tahun 1094–1102).

Sengketa internal di pihak Kristen

sunting

Bentrok-bentrok dan aksi-aksi penyerbuan di daerah Andalusia tidak mampu menyadarkan kerajaan-kerajaan Kristen agar berhenti saling memerangi maupun bersekutu dengan raja-raja Muslim. Sejumlah raja Muslim memperistri atau dilahirkan perempuan yang terlahir Kristen. Beberapa pahlawan Kristen, misalnya El Cid, diupah raja-raja thaifah untuk berperang melawan negeri-negeri tetangga mereka. Bahkan pengalaman tempur El Cid yang pertama didapatkannya lewat keikutsertaan sebagai pejuang di pihak salah satu negara Islam dalam perang melawan salah satu negara Kristen. Dalam Pertempuran Graus tahun 1063, El Cid dan sejumlah tokoh Kastila lainnya berjuang di pihak Al Muqtadir, Sultan Zaragoza, melawan Ramiro I, Raja Aragon. Malah pernah ada Perang Salib melawan raja Kristen lain di Hispania.[31]

Sesudah Alfonso VIII, Raja Kastila, mengalami kekalahan dalam Pertempuran Alarcos, Alfonso IX, Raja Leon, dan Sancho VII, Raja Navara, menjalin persekutuan dengan negara Khilafah Muwahidin dan menginvasi Kastila pada tahun 1196. Pada akhir tahun itu, Raja Sancho VII menarik diri dari keikutsertaan di dalam perang tersebut karena ditekan Sri Paus. Pada awal tahun 1197, atas permintaan Sancho I, Raja Portugal, Paus Selestinus III memaklumkan perang melawan Raja Alfonso IX, dan membebaskan rakyat Leon dari ikatan pengabdian kepada raja mereka, dengan mengumumkan bahwa "orang-orang di negerinya akan dilepaskan dari ikatan prasetia mereka maupun dari kedaulatannya atas kewenangan Takhta Apostolik."[31] Raja Portugal, Raja Kastila, dan Raja Aragon bersama-sama menginvasi Leon. Invasi tersebut, ditambah lagi dengan tekanan Sri Paus, berhasil memaksa Raja Alfonso IX untuk mengupayakan kesepakatan damai pada bulan Oktober 1197.

Pada tahun-tahun terakhir Al Andalus, Kastila cukup mampu menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Granada, tetapi raja-raja Kastila memutuskan untuk menahan diri dan hanya menuntut pembayaran parias dari pihak Muslim. Parias dan perdagangan barang-barang buatan Granada merupakan saluran-saluran utama yang mengalirkan emas Afrika ke bumi Eropa pada Abad Pertengahan.

Repopulasi warga Kristen di Hispania

sunting

Reconquista bukan sekadar perang dan usaha penaklukan, melainkan juga usaha repopulasi. Raja-raja Kristen memindahkan rakyat mereka ke daerah-daerah yang ditinggalkan umat Muslim dengan maksud membentuk populasi yang dapat diberdayakan untuk mempertahankan daerah-daerah perbatasan. Daerah-daerah utama yang direpopulasi adalah daerah Lembah Sungai Douro (dataran tinggi utara), Lembah Ebro (La Rioja), dan kawasan tengah Katalunya. Repopulasi daerah Lembah Sungai Douro berlangsung dua kali, yakni antara abad ke-9 sampai abad ke-10 di daerah tepi utara dengan menerapkan sistem "serobot" lahan (presura), dan antara abad ke-10 sampai abad ke-11 di daerah tepi selatan dengan sistem yang sama tetapi berbuntut pada penerbitan "piagam-piagam" penguasaan lahan (forais atau fueros). Fueros bahkan digunakan pula di daerah sebelah selatan kawasan tengah Pegunungan Pirenia.

Presura mengacu kepada kelompok tani yang berpindah melintasi daerah pegunungan dan menduduki lahan-lahan terlantar di daerah Lembah Sungai Douro. Undang-undang Asturias mendukung sistem ini, misalnya dengan mengaruniakan lahan kepada seorang petani seluas yang mampu digarap dan dipertahankannya sebagai milik pribadi. Tentu saja para menak rendahan maupun kaum rohaniwan di Asturias dan Galisia memberangkatkan rombongan-rombongan kawula tani mereka ke daerah-daerah yang akan direpopulasi. Tindakan tersebut melahirkan daerah-daerah hasil repopulasi yang sangat terfeodalisasi, misalnya di Leon dan Portugal. Tanah negeri Kastila yang gersang dengan padang-padangnya yang luas dan iklimnya yang tidak bersahabat hanya menarik kaum tani dari Biscay yang sudah tidak punya pilihan lain. Konsekuensinya, seluruh Kastila hanya diperintah satu orang bupati, dan membawahi daerah-daerah non-feodal yang didiami para petani preman. Presura juga muncul di Katalunya, yakni ketika Bupati Barcelona memerintahkan Uskup Urgell dan Bupati Gerona untuk merepopulasi padang-padang belantara di Vic.

Mulai abad ke-10, banyak kota besar maupun kecil semakin mengemuka dan berkuasa seiring kegiatan dagang yang kembali ramai dan jumlah populasi yang terus bertambah. Fuero adalah piagam berisi hak-hak istimewa dan hak-hak kelola yang diberikan kepada semua orang yang merepopulasi sebuah kota. Fuero menjadi sarana untuk melepaskan diri dari sistem feodal, karena fuero hanya dikeluarkan kepala negara. Oleh karena itu dewan pemerintah kota hanya tunduk kepada kepala negara, dan sebagai imbal baliknya diwajibkan menyiapkan auxilium (bala bantuan atau pasukan) bagi kepentingan kepala negara. Pasukan-pasukan kota kecil kemudian hari menjadi caballeros villanos. Fuero pertama kali diterbitkan Bupati Fernán González bagi warga kota Castrojeriz pada era 940-an. Kota-kota kecil yang terkemuka di Hispania pada Abad Pertengahan memiliki fueros, atau forais. Di Navara, fuero menjadi sistem repopulasi utama. Pada abad ke-12, Aragon juga menerapkan sistem ini. Contohnya adalah fuero di Teruel, salah satu fuero terakhir, yang diterbitkan pada awal abad ke-13.

Mulai pertengahan abad ke-13, tidak ada lagi piagam-piagam semacam itu, karena tidak ada lagi tekanan demografi dan sudah ditemukan cara-cara lain untuk melakukan repopulasi. Fuero terus menjadi piagam kota sampai abad ke-18 di Aragon, Valensia, dan Katalunya, dan sampai abad ke-19 di Kastila dan Navara. Fuero sangat dihargai pemegangnya. Mereka harus siap sedia untuk berangkat ke medan perang demi membela hak-hak mereka yang diatur di dalam piagam tersebut. Penghapusan fuero di Navara pada abad ke-19 merupakan salah satu faktor penyebab meletusnya Perang Carlistas. Sengketa-sengketa terkait sistem fuero di Kastila merupakan salah satu faktor penyulut pemberontakan terhadap Raja Carlos I.

Kemunduran daulat Islam

sunting

Runtuhnya negara khilafah

sunting
 
Pertempuran di El Puig de Santa Maria pada tahun 1237

Pada abad ke-9, bangsa Berber pulang ke Afrika Utara sesudah pemberontakan-pemberontakan berakhir. Banyak kepala pemerintahan kota-kota besar yang jauh dari ibu kota Kordoba sudah berancang-ancang mendirikan negara sendiri. Pada tahun 929, Emir Kordoba (Abdurrahman III), pimpinan Bani Umayah, menyatakan diri sebagai khalifah, lepas dari negara Khilafah Bani Abas yang berpusat di Bagdad. Ia mengambil alih seluruh kewenangan militer, agama, maupun politik, serta menata ulang angkatan bersenjata dan birokrasi.

Sesudah berhasil mengekang para kepala daerah pembangkang, Abdurrahman III mencoba menaklukkan kerajaan-kerajaan Kristen yang tersisa di Jazirah Iberia. Ia beberapa kali menyerang kerajaan-kerajaan Kristen dan berhasil mendesak mundur kerajaan-kerajaan tersebut ke seberang Pegunungan Cantabria. Cucu Abdurrahman kemudian hari menjadi pemimpin boneka di tangan Wazir Al Mansyur (artinya "yang berjaya"). Wazir Al Mansyur sempat beberapa kali melancarkan kampanye militer ke Burgos, Leon, Pamplona, Barcelona, dan Santiago de Compostela sebelum wafat pada tahun 1002.

Catatan

sunting
  1. ^ Kendati dieja dengan cara yang kurang lebih sama, pelafalannya berbeda di antara berbagai bahasa Iberia, kebanyakan sesuai dengan struktur bunyi dari bahasa masing-masing. Pelafalan-pelafannya adalah sebagai berikut:

Referensi

sunting
  1. ^ García Fitz, Francisco (2009). "La Reconquista: un estado de la cuestión" (PDF). Clío & Crímen: Revista del Centro de Historia del Crimen de Durango (dalam bahasa Spanyol) (6): 146. ISSN 1698-4374. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 18 April 2016. Diakses tanggal 12 Desember 2019. Queda claro, pues, que el concepto de Reconquista, tal como surgió en el siglo XIX y se consolidó en la historiografía de la primera mitad del XX, se convirtió en uno de los principales mitos originarios alumbrados por el nacionalismo español. [Jadi jelas bahwa konsep Reconquista, sebagaimana yang muncul pada abad ke-19 dan terkonsolidasi di dalam historiografi paruh pertama abad ke-20, menjadi salah satu mitos asal-usul utama yang diwarnai nasionalisme Spanyol.] 
  2. ^ O'Callaghan, Joseph F. (2003). Reconquest and Crusade in Medieval Spain. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. hlm. 19. ISBN 978-0812236965. Diakses tanggal 15 Februari 2012. 
  3. ^ a b McKitterick, Rosamond; Collins, R. (1990). The New Cambridge Medieval. History 1. Cambridge University Press. hlm. 289. ISBN 9780521362924. Diakses tanggal 26 Juli 2012. 
  4. ^ "Spain – The rise of Castile and Aragon". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 16 Agustus 2020. Pada kurun waktu inilah tawarikh-tawarikh Kristen tertua mengenai Reconquista ditulis. Tawarikh-tawarikh tersebut dengan sengaja berusaha menunjukkan keterkaitan sejarah antara monarki Visigoth dan monarki Asturias. Dengan mengaku sebagai ahli waris sah kewenangan dan adat-istiadat bangsa Visigoth, para menak Asturias secara sadar menyatakan diri sebagai pihak yang bertanggung jawab merebut kembali negeri Hispania dari umat Islam 
  5. ^ María Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain, Back Bay Books, 2003, ISBN 0316168718, dan baca juga artikel Abad keemasan kebudayaan Yahudi di Spanyol.
  6. ^ Fernandez-Morera, Dario. The Myth of the Andalusian Paradise: Muslims, Christians, and Jews under Islamic Rule in Medieval Spain. 
  7. ^ Collins, Roger. Caliphs and Kings: Spain, 796-1031. 
  8. ^ O'Callaghan, Joseph F. (2004). Reconquest and Crusade in Medieval Spain. 
  9. ^ O'Callaghan, Joseph F. (2013). Reconquest and Crusade in Medieval Spain. University of Pennsylvania Press. hlm. 18. ISBN 978-0-8122-0306-6. Diakses tanggal 23 Oktober 2017. 
  10. ^ Kinoshita, Sharon (Winter 2001). "'Pagans are wrong and Christians are right': Alterity, Gender, and Nation in the Chanson de Roland". Journal of Medieval and Early Modern Studies. 31 (1): 79–111. doi:10.1215/10829636-31-1-79. 
  11. ^ DiVanna, Isabel N. (2010). "Politicizing national literature: the scholarly debate around La Chanson de Roland in the nineteenth century". Historical Research. 84 (223): 109–134. doi:10.1111/j.1468-2281.2009.00540.x. 
  12. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 38–45. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  13. ^ Fletcher, Richard (2006). Moorish Spain. Los Angeles: University of California Press. hlm. 43. ISBN 978-0-520-24840-3. 
  14. ^ Chris Lowney, A Vanished World: Muslims, Christians, and Jews in Medieval Spain, (Oxford University Press, 2005), 40.
  15. ^ Roger Collins, Early Medieval Spain, (St.Martin's Press, 1995), 164.
  16. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 45. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  17. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 181. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  18. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 156. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  19. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 156, 159. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  20. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 212. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  21. ^ a b c d Lewis, Archibald R. (1965). The Development of Southern French and Catalan Society, 718–1050. The University of Texas Press. hlm. 20–33. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Desember 2017. Diakses tanggal 28 Oktober 2017. 
  22. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 118–126. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  23. ^ a b Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 177–181. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  24. ^ Lewis, Archibald R. (1965). The Development of Southern French and Catalan Society, 718–1050. The University of Texas Press. hlm. 37–49. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Desember 2017. Diakses tanggal 28 Oktober 2017.  Barcelona menyerah pada tanggal 28 Desember 801.
  25. ^ Ruiz De La Peña. La monarquia asturiana 718–910, hlm. 27. Cangas de Onís, 2000. ISBN 9788460630364 / Fernández Conde. Estudios Sobre La Monarquía Asturiana, hlmn. 35–76. Estudios Históricos La Olmeda, 2015. ISBN 9788497048057
  26. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama O'Callaghan2013176
  27. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Peña hlm. 27
  28. ^ Casariego, J.E.: Crónicas de los reinos de Asturias y León. Biblioteca Universitaria Everest, León 1985, hlm. 68. ASIN B00I78R3S4[tanpa ISBN]
  29. ^ García Fitz, Francisco. 2009, hlmn. 149–150
  30. ^ Hobson, John M. (2004). The Eastern Origins of Western Civilisation (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 141. ISBN 9780521547246. 
  31. ^ a b Joseph O'Callaghan (2003). Reconquest and Crusade in Medieval Spain, Philadelphia: University of Philadelphia Press. hlm. 62.

Daftar pustaka

sunting
  • Bishko, Charles Julian, 1975. The Spanish and Portuguese Reconquest, 1095–1492 in A History of the Crusades, vol. 3: The Fourteenth and Fifteenth Centuries, edited by Harry W. Hazard, (University of Wisconsin Press) online edition
  • Fletcher, R. A. "Reconquest and Crusade in Spain c. 1050-1150", Transactions of the Royal Historical Society 37, 1987. pp.
  • García Fitz, Francisco, Guerra y relaciones políticas. Castilla-León y los musulmanes, ss. XI-XIII, Universidad de Sevilla, 2002.
  • García Fitz, Francisco & Feliciano Novoa Portela Cruzados en la Reconquista, Madrid, 2014.
  • Lomax, Derek William: The Reconquest of Spain. Longman, London 1978. ISBN 0-582-50209-8
  • Nicolle, David and Angus McBride. El Cid and the Reconquista 1050-1492 (Men-At-Arms, No 200) (1988), focus on soldiers
  • O´Callaghan, Joseph F.: Reconquest and crusade in Medieval Spain (University of Pennsylvania Press, 2002), ISBN 0-8122-3696-3
  • O'Callaghan, Joseph F. The Last Crusade in the West: Castile and the Conquest of Granada (University of Pennsylvania Press; 2014) 364 pages;
  • Payne, Stanley, "The Emergence of Portugal", in A History of Spain and Portugal: Volume One.
  • Reuter, Timothy; Allmand, Christopher; Luscombe, David; McKitterick, Rosamond (eds.), " The New Cambridge Medieval History", Cambridge University Press, Sep 14, 1995, ISBN 0-521-36291-1.
  • Riley-Smith, Jonathan, The Atlas of the Crusades. Facts On File, Oxford (1991)
  • Watt, W. Montgomery: A History of Islamic Spain. Edinburgh University Press (1992).
  • Watt, W. Montgomery: The Influence of Islam on Medieval Europe. (Edinburgh 1972).
  • Villegas-Aristizabal, Lucas, 2013, "Revisiting the Anglo-Norman Crusaders’ Failed Attempt to Conquer Lisbon c. 1142’, Portuguese Studies 29:1, pp. 7–20. http://www.jstor.org/stable/10.5699/portstudies.29.1.0007
  • Villegas-Aristizabal, Lucas, 2009, "Anglo-Norman Involvement in the Conquest and Settlement of Tortosa, 1148-1180", Crusades 8, pp. 63–129. http://www.academia.edu/1619392/Anglo-Norman_Intervention_in_the_Conquest_and_Settlement_of_Tortosa_Crusades_8_2009_600_dpi_black_and_white_with_OCR

Pranala luar

sunting