Lompat ke isi

Nasionalisme

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Nasionalisme  (2007) 
oleh Goenawan Mohamad

Majalah Tempo Edisi 01/XXXIIIIII/26 Februari - 4 Maret 2007

Kita hidup dengan kontradiksi di tapal batas. Kini dengan cerdik dan cekatan pelbagai hal—buruh, komoditas, korupsi, agenda politik, terorisme—melintasi perbatasan. Tapi di sana-sini tembok nasional dibangun makin tinggi. Dunia menyempit, dunia kian sengit, dan wajar jika kita bertanya: Bisakah nasionalisme dielakkan? Haruskah?

Nasionalisme punya sejarah, punya jejak, dan untuk menjawab pertanyaan itu penting kita lihat jejak itu kembali. Ada masanya ketika yang tersimpan rekaman kisah yang buruk. Rabindranath Tagore pernah menggambarkan sebuah keadaan ketika ”bangsa-bangsa yang saling ketakutan intai-mengintai seperti hewan buas di malam hari”. Dan penyair besar India itu pun bertanya, ”Haruskah kita bertekuk lutut kepada semangat nasionalisme, yang menebar-siarkan benih rasa takut, rakus, curiga… ke seluruh dunia?”

Tagore mengucapkan itu pada 1916, ketika sastrawan berbahasa Bengali yang mendapat penghargaan Nobel pada 1913 itu berkunjung ke Tokyo. Waktu dan tempatnya penting: kaum nasionalis Jepang sedang menghalalkan postur militer negerinya. Dalam hubungan itu bahkan Tagore secara tak sengaja mengecam pandangan yang tercantum dalam The Awakening of Japan, buku berbahasa Inggris yang terbit pada 1904, yang membenarkan penjajahan Jepang atas Korea: ”Korea terletak bagaikan sebilah keris yang selamanya terhunus ke jantung Jepang”.

Kalimat itu penting sebab bukan suara seorang militer. Ia ditulis seorang Okakura Tenshin. Okakura justru seperti Tagore: hidup dan menulis dalam lingkungan di mana seni dan pengalaman tentang keindahan diletakkan begitu pen-ting dalam hidup manusia. Kedua orang itu bahkan saling kenal, dan dalam arti tertentu, berteman.

Dalam bukunya terbaru, Another Asia, Rustom Bharuscha—dari mana saya dapatkan kutipan buat tulisan ini—menggambarkan dengan cermat dan menilik dengan tajam peri kehidupan kedua ”sahabat” itu. Dari sini dapat kita lihat kembali soal-soal yang timbul tatkala bagian dunia yang disebut sebagai ”Asia” ini—dengan definisi dan geografi yang tak sepenuhnya jelas—harus bergulat dengan pertanyaan yang fundamental tentang identitas atau posisinya dalam sejarah. Diinjak-injak kolonialisme negeri-negeri Eropa, ”Asia” kemudian melihat bagaimana sebuah negeri Eropa, yakni Rusia, dikalahkan Jepang pada 1905. Sejak itu ”Asia” sibuk untuk ”bangun”. Nasionalisme adalah jawabannya.

Tapi itu bukan jawaban tanpa sisi yang gelap. Telah disebut bagaimana nasionalisme Jepang melahirkan imperialisme tersendiri, mula-mula di Korea. Kontradiksi ini sudah terasa ketika berkumandang suara—seperti juga yang diartikulasikan Okakura Tenshin—bahwa ”Asia” itu ”satu”, bahwa ”Asia” punya ciri yang tersendiri, sebagaimana dinyatakan dalam kesenian dan kehidupan sosialnya.

Dalam bukunya, Bharuscha menunjukkan kontradiksi itu lebih jauh dengan mengutip pelbagai ucapan Okakura: justru di bangunan ”Asia” yang ”satu” itu, Jepang tak persis berada di dalamnya. Jepang berada di atas, dimulai dengan posisinya dalam seni. Bagi Okakura, seni rupa Jepang—lahir dari alam yang berbeda—berada di tingkat yang lebih unggul ketimbang seni Cina, yang ditandai ”keluasan yang monoton” dan ketimbang seni India yang punya ”kekayaan yang terlampau membebani”. ”Seni Jepang berdiri sendiri di dunia,” katanya, sebagaimana halnya ”Jepang berdiri sendiri menghadapi dunia”.

Yang diabaikan Okakura ialah bahwa dalam kata ”menghadapi dunia” ada ”yang lain” yang dihadapi.

Okakura sendiri sebuah persona. Ia sebuah penampilan. Ia menyusun sebuah koreografi untuk hadirin yang dihadapinya. Dalam foto-fotonya, ia selalu tampak mengenakan kimono. Dalam karya-karyanya, Okakura berbahasa Inggris. Bharuscha mengemukakan satu kutipan menarik, yakni sepotong nasihat Okakura kepada anaknya: ”Janganlah berpakaian Jepang jika bahasa Inggris kamu patah-patah.”

Ke-”Jepang”-an sebagai koreografi penampilan, seni yang unik yang menandai identitas nasional, bangsa yang homogen sebagai nasib—itu semua menunjukkan apa yang tak diakui Okakura dan kaum nasionalis: ketika kita bayangkan bangsa sebagai sesuatu yang esthetis, kita lupa ”orang luar” sebenarnya ikut mendesak dan membentuk diri kita, dan ada yang brutal dalam prosesnya.

Kimono yang dikenakan Okakura, yang menyertai lidah yang fasih berbahasa asing, mencoba menghilangkan sisi dirinya yang tak murni Jepang. Seni yang disebut ”unik” menampik sejarah akulturasi: sejak abad ke-8 pelukis Jepang datang ke Cina buat belajar. Dan ketika bangsa ”Jepang” hanya dibayangkan sebagai kelanjutan ”ras Yamato”; telah terhapus orang Ainu dari ingatan.

Tak berarti nasionalisme sepenuhnya cerita penghapusan yang berbekas darah dan besi. Dalam riwayatnya, nasionalisme punya saat-saat yang membebaskan dan membangun. Kecaman Tagore mengabaikan apa yang pernah dan dapat tercapai ketika sebuah komunitas bersama dianggit (imagined, kata Benedict Anderson), sebuah negara-bangsa berdiri, dan sebuah mekanisme politik bekerja, dengan segala kekurangannya, untuk hidup komunitas itu sehari-hari.

Partha Chatterjee benar ketika ia mengecam pemikiran Tagore: dalam hidup sehari-hari ”kita mengikuti aturan lalu lintas, membayar pajak, memberikan suara atau tidak, menyiapkan anak kita ikut ujian, mengecam pemerintah yang tak berfaedah dan politisi yang disogok”.

Kita hanya bermimpi indah jika kita anggap semua itu ada di luar kita.

Tak berarti mimpi indah harus diberangus. Ada yang menyebabkan wacana tentang negara dan bangsa tak sepenuhnya menguasai ruang hidup. Di dunia Okakura dan Tagore, seperti ditunjukkan The Other Asia, kita bersua dengan pengalaman tentang keindahan. Di sanalah wacana yang perkasa, seperti nasionalisme dan anti-nasionalisme, menemui batasnya.