Lompat ke isi

Puisi Afrizal Malna: Kajian Semiotika/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB 3

ANALISIS SEMIOTIKA

EMPAT PUISI AFRIZAL MALNA




3.1 Pengantar

Pembahasan secara semiotik puisi Malna ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Hal itu mengacu juga pada tahapan analisis yang dilakukan oleh Santosa (2003) mengenai sajak beberapa penyair Indonesia yang mengangkat tema kisah Nabi Nuh. Pembahasannya dilakukan dengan mulai mencermati tanda yang terdapat dalam sajak, seperti tanda baca, aspek bunyi secara fonologis, seperti asonansi dan aliterasi. Kemudian analisis berangkat ke persoalan hubungan antarfrasa dan antarklausa. Yang lebih luas lagi adalah melakukan analisis dengan melihat keterkaitan sebuah teks atau wcana dengan beragam teks dan wacana yang lainnya.

Dalam penelitian ini basis semiotika yang dikemukan oleh Pierce menjadi penting dan membatu menerangkan hubungan antartanda yang terdapat dalam sajak yang dianalisis. la membagi komponen tanda menjadı tiga, yailu tanda ikonuk, tanda indeksikal, dan landa simbolik. 3.2 Sajak "Asia Membaca": Membaca Asia Mystique

Sajak "Asia Membaca" dimuat dalam dua versi buku Malna, pertama dimuat dalam Arsitektur Hujan (1995) dan kedua di edisi Kalung dari Teman (1999). Dimuatnya dua sajak itu dalam dua terbitan dengan judul yang sama dilakukan oleh penyairnya karena ia melakukan perubahan pada beberapa bagian dari sajak itu. Terhadap perubahan tersebut, kritikus Dami N. Toda mengatakan dalam buku Kalung dari Teman bahwa perubahan dan penambahan itu merupakan sebuah usaha pembacaan dalam apa yang disebutnya biografi pembacaan dan penciptaan sajak. Hal itu baginya merupakan sebuah 'teknik pertukangan puisi' dengan melakukan dua hal, yaitu pertama sebagai teknik yang diumpamakan dengan teknik bedah kosmetik plastik dan kedua, teknik bedah transplantasi (Malna 1999: 104). Cara penulisan kembali ini dalam buku itu adalah dengan melakukan penambahan dan penyunatan beberapa diksi dan frasa.

ASIA MEMBACA


Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya.
Dan kami masih hadapi langit yang sama, tanah
yang sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi jadi
batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-
waktu menghancurkan;dan cerita lama
memanggil lagi dari negri lain, setiap kata berbau
bensin di situ. Kami terurai lagi lewat baju-baju
baru. Asia. Kapal-kapal membuka pasar,
mengganti naga sapi dengan minyak bumi.


Asia. Kamí masuki dekor-dekor berbagai
kekuatan, bendera-bendera baru, seks dan cinta
yang lain lagi. Kota-kota dalam baju warna-warni.
Mengantar pembisuan jadi jalan di malam hari.
Asia... Tempat membaca yang tak boleh dibaca,
tempat menulis yang tak boleh ditulis.


Tanah berkaca-kaca, Asia, mencium bau manusia,
Asia, menyimpan kami dari segala zaman, Asia.

Tempat Leluhur mencipta kata. Asia hanya
ditemu, seperti mencari segumpal tanah yang
hilang: Tempat bahasa dilahirkan.

Asia.

1985

Perubahan itu sengaja dilakukan dengan sebuah pemikiran kreativitas Malna, ikhtiar re-kreatif penciptaan dalam bentuk yang disebutnya "biografi menulis" dan "biografi membaca". Tampaknya diksi "biografi" dan "membaca" merupakan bagian penting dalam sajak Afrizal Malna. Diksi tersebut bahkan terdapat di beberapa bagian lain sajaknya, seperti Biografi Membaca yang merupakan judul awal kumpulan bukunya Kalung dari Teman (1999), dan sebuah sajak berjudul "Biografi di Atas Meja Makan". Biografi diartikan sebagai sebuah riwayat berisi rangkaian atau untaian peristiwa, atau hal yang berkelanjutan, ataupun yang tidak linear.

Biografi menulis adalah sebuah bentuk perjalanan penulisan beserta beragam hal yang mengisi corak penulisan dan hasil yang ditulis. Hal itu merupakan kerja yang bersifat individual dan karena itu pula ia berifat sunyi. "Biografi" kedua adalah "biografi membaca". Dalam kaitan dengan sajak ini, jenis biografi yang dipikirkan oleh Malna juga memiliki hubungan yang hendak dibahas pada bagian ini.

Kedua, biografi itu memiliki sifat yang berbeda, yaitu yang satu bersifat tertutup dan yang lainnya bersifat terbuka. Membaca tidak hanya dilakukan oleh yang menciptakan, tetapi juga terutama dilakukan oleh para audiens sebagai pembaca. Membaca bagaikan metafora yang mengaitkan sebuah teks seperti seorang anak yatim yang dilepaskan ke gelanggang, tetapi ia memiliki semacam daya yang membuat orang tertarik. Oleh karena itu, teks tersebut menjadi terbuka dan menciptakan proses membaca lebih lanjut. Dalam pengertian ini, membaca adalah menafsirkan dan memaknai sebuah teks secara terbuka. Dengan demikian, pencipta melepaskannya dan menjadikannya terbuka untuk disingkap. Pada akhirnya, membaca adalah menyingkap. Akan tetapi, yang tidak bisa pula dilupakan adalah dari pembacaan lahir pula teks-teks baru.

Mengenai bentuk bait puisi Malna, secara semiotis ia tidak mempunyai maksud untuk menekankan atau memaksudkan makna tertentu dari kesatuan makna sajaknya. Dalam beberapa kumpulan puisinya, kadang-kadang ditemukan bait yang mengikuti bentuk konvensional. Di lain tempat dalam salah satu bukunya, puisi Malna terbentuk dari beberapa paragraf pendek yang tidak mempertimbangkan pemotongan kalimat yang menentukan mood atau intonasi secara audio jika dibacakan. Ia pun menyebutkan bahwa bait puisinya tidak lantas menjadi identitas puisinya (Malna, 1999).

Dalam buku Malna tidak ditemui tipologi puisi yang dikatakan sebagai puísí abstrak ala Sutardji. Jadi, operasi semiotika yang ada dalam puisiya tidak ditentukan oleh bentuk puisinya. Hal yang mungkin dilakukan dalam telaah semiotiknya adalah pada tingkat sintaksis, yaitu pada tataran kalimat dan loncatan frasa yang tidak terduga-duga. Dalam edisi Kalung dari Teman, ataupun Arsitektur Hujan, sajak itu terdiri dari tiga bait yang terdiri dari 18 kalimat, yaitu klausa yang ditandai dengan tanda [.]. Kalimat terpendek adalah kalimat kelima yang hanya terdiri dari satu kata saja, yaitu "Asia." Kalimat itu mengandung kaitan makna yang dimampatkan, seperti sebuah kesimpulan dari hubungannya dengan diksi dan kalimat sebelum dan sesudah kata "Asia" tersebut.

Secara ikonik, kalimat pendek "Asia" dan sebuah tanda titik menimbulkan kesan sebuah nada kemasygulan. Hal itu dikaitkan dengan klausa berbunyi matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Asia merupakan pangkal persoalan yang dipikirkan oleh penyair. Asia memuat kandungan beban sejarah umat manusia yang dulunya berlaku sebagai salah satu tanah sumber peradaban dunia. Namun, kini nostalgia itu menjadi sebuah ironi manakala Asia hanyalah sebagai pecundang yang menjadi rebutan kekuatan asing di zaman kolonialisme kuno hingga kini.

Dari judulnya, kita dapat melihat sebuah personifikasi dari tanda indeksikal Asia jika kita memproyeksikan pandangan ke dalam sebuah bentuk peta. Kata membaca merupakan tanda indeksikal yang dapat kita andaikan dalam pembacaan sebuah peta yang dilakukan oleh para penjelajah dunia dahulunya. Ini merupakan tanda yang bisa menghubungkan penafsiran yang mengantarkan penyair ke dalam kilas balik perspektif sejarah.

Hal itu juga membawa kita kembali ke dalam masa yang ditandai oleh pelepasan pengaruh kolonialisme lama sebuah kawasan, misalnya Asia dari efek penjajahan yang telah mendarah-daging. Mungkin pembacaan ini bisa diletakkan dalam kerangka gagasan pascakolonialisme. Asia Membaca menimbulkan tanda indeksikal dari subjek Asia yang membaca dirinya kembali. Dalam pengertian itu, membaca mengandung pengertian untuk menemukan kembali kehadiran dan makna penting peradaban Asia yang mahapenting bagi umat manusia ataupun bagi dirinya sendiri.

Dari pola frasa, dapat terlihat judul Asia Membaca merupakan sebuah kalimat sederhana yang berpola S-P. Pola itu memberikan pengertian yang tidak selesai, apabila hanya dilihat judul itu. Jadi, harus pula dilihat dari konteks yang terhubung dalam bait-bait selanjutnya. Jika dilihat dari pola klausanya, Asia Membaca merupakan konstruksi kalimat aktif. Hal itu lebih memperlihatkan ide Asia yang membaca kembali dirinya setelah dibaca oleh pihak lain. Dengan kata lain, dalam konstruksi itu juga terdapat oposisi lain dari kalimat aktif, yaitu kalimat pasif, Asin menjadi objek penderita, seperti dijelaskan dalam bait kedua Tempat/membaca yang tak boleh dibaca, tempat menulis yang tak boleh ditulis. Selain itu, jika kita merujuk pada sejarah perjalanan antarperadaban, kalimat itu menunjukkan hubungan subjek dan objek. Hal tersebut mengandung gagasan bahwa Asia yang dalam suatu periode tertentu adalah wilayah yang menjadi objek penundukan oleh pihak lain (the others), yaitu para kaum penjajah oksidentalisme atau Eropa.

Bait pertama juga memainkan beberapa permainan aliterasi, seperti aliterasi fonem (r): matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya, fonem (1): dan cerita-cerita lama memanggil lagi dari negri lain di samping itu juga terjadi pengulangan diksi, seperti dekor-dekor, dewa dewa, pesawat-pesawat, waktu-waktu, kapal-kapal. Repetisi itu merepresentasikan kondisi masa Asia sebagai tujuan utama dari negeri lain yang ditandai dengan ramainya, bersilang selingnya, kesimpang-siuran, keberagaman, keriuhan, yang menandai perkembangan peradaban dan kebudayaan di Asia. Pengulangan diksi ikonik dan sekaligus simbolik itu menandakan sebuah gagasan mengenai pluralisme yang telah sejak dahulu berkembang di Asia.

Membaca Asia adalah membaca sebuah mystique, sebuah daya penarik. Dalam dikotomi peradaban, Asia ditempeli dengan stereotip atau sebutan identitas sebagai Timur, dan karena itu pula ada Barat. Mistique adalah identitas kegelapan, alam yang tidak tampak rasional, alam daya magis dan sekaligus memancarkan sebuah pesona eksotisme, seperti aura yang dipancarkan dari alam yang tropikal.


3.2.1 Asia sebagai Yang Lain dalam Pandangan Penjelajah atau Penjajah

Bait pertama yang berbunyi matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya merupakan kalimat sederhana berpola S-P-K yang berisi pernyataan. Dilanjutkan dengan klausa, Dan kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Kalimat itu seolah-olah menampilkan dua perbedaan hal. Yang satu adalah seperti peristiwa yang berlangsung terus secara linear, atau maju ke depan seperti dialektika hegelian, yaitu berlepasan dari dekor-dekornya. Sementara itu, hal kedua adalah semacam kemandekan, atau paling tidak adalah hal yang statis dan jalan di tempat. Hal itu ditandai dengan penanda frasa yang sama. Maknanya adalah hal-hal yang lama, yaitu ditandai dengan tanda indeksikal, seperti langit, tanah. Artinya, dua tanda yang dipakai itu, jika digabungkan akan membentuk suatu kesatuan cakrawala alam pemikiran yang asiatik, sebuah ranah yang bernama Asia.

Frasa setelah dewa-dewa pergi jadi batu di situ, dan selanjutnya merupakan kalimat majemuk setara. Pengulangan kata setelah sebanyak dua kali itu mengisyaratkan suatu keterlepasan dalam perubahan yang terus berlangsung dan terus berlanjut. Frasa setelah dewa-dewa, setelah waktu, dan cerita lama merupakan keterangan waktu dari kalimat inti setiap kata berbau bensin di situ. Frasa setelah menimbulkan akibat ataupun frasa itu sebagai penyebab dari setiap kata berbau bensin di situ. Lalu juga muncul akibat berikutnya, kami terurai lagi lewat baju-baju. Kata lagi dalam klausa tersebut menandakan suatu peristiwa yang berulang kembali dari masa lampau. Tanda ikonik dalam kalimat di bait itu menunjukkan suatu kilas balik yang dihadapi oleh lirik kami. Subjek kami menghadapi dua situasi berbeda di dalam perubahan Asia.

Setelah dewa-dewa pergi jadi batu, dalam pesawat TV mengandung tanda ikonik dan berfungsi sebagai simbol. Kalimat tersebut secara eksplisit menyatakan entitas tuhan atau sembahan yang disimbolkan oleh kata dezva yang berubah jadi batu dalam pesawat TV. Televisi merupakan tanda indeksikal yang menunjukkan dunia informasi. Bisa jadi juga dengan diksi dewa-dewa jadi batu itu penyair ingin menyatakan ada banyak jenis tuhan dalam kehidupan manusia lama dan kontemporer. Namun, jenis tuhan itu di alam modern ini agaknya lebih bersifat canggih dan dapat mencapai ke mana saja.

Di dalam frasa tersebut ada dua tanda simbolis dan atau ikonik yang mengisyaratkan dua entitas yang dipertuhankan oleh manusia. Pertama, tanda indeksikal dan simbolis dewa-dewa merupakan yang dipertuhankan manusia secara tradisional. Kedua, dalam klausa dewa-dewa jadi batu dalam pesawat TV merupakan tanda indeksikal dari kata jadi yang menunjukkan dewa-dewa tradisional telah digusur oleh dewa atau berhala baru, yaitu tidak lain adalah pesawat televisi itu. Tanda dalam kalimat tersebut menyatakan terjadinya perubahan orientasi keasyikan dan manusia untuk menjadikan televisi sebagai pewarna corak kehidupan dunia modern dan dunia konsumerisme. Pasawat TV itu berlaku sebagai tanda ikonik dan simbolik yang mewakili segala hal yang berhubungan dengan dunia informasi dan konsumerisme melalui iklan, misalnya.

Waktu-waktu yang menghancurkan adalah tanda yang menunjukkan masa silam kolonialisme dari cerita lama memanggil lagi dari dunia lain. Dalam frasa itu terdapat tiga frasa yang merujuk pada kata kolonialisme, yaitu waktu-waktu, cerita lama dan dunia lain. Kata waktu-waktu menunjukkan masa ketika berlakunya kolonialisme. Pengertian ini diperkuat pula oleh kata yang menghancurkan karena salah satu kolonialisme memang bersifat menghancurkan lalu menguasai.

Setiap kata berbau bensin di situ memenuhi penafsiran sebagai tanda indeksikal dari kata bensin untuk: pertama, sebagai sumber minyak yang paling penting. Ini berarti juga sebagai sumber daya alam. Kedua, adalah kemungkinan pengertian dari segala hal yang mudah terbakar, yang mudah tersulut dengan api. Bisa jadi ini dimaksudkan untuk melambangkan hal yang sensitif dari masa lampau Asia. Dan kini cerita masa lampau itu hadir kembali, tetapi dengan cara dan corak yang berbeda, dengan pendekatan yang lain dan lebih halus. Dan karena itu kami terurai lagi dengan baju-baju yang baru. Kata baju merupakan tanda ikonik yang melambangkan persamaan dari identitas diri. Kata terurai adalah sebuah tanda indeksikal yang memberi makna, baik pembusukan dan penghancuran maupun pemaknaan diri kembali secara baru. Kata terurai ini memberikan kesan yang menukik terhadap efek perubahan. Penyair memakai kata terurai yang lebih dekat maknanya dalam proses metabolisme biologis makhluk hidup, yaitu bermakna pembusukan oleh bakteri sehingga menguraikan bagian-bagian renik suatu organisme.

Frasa Kapal-kapal membuka pasar, mengganti naga sapi dengan minyak bumi ini memberikan tanda ikonik yang ditujukan untuk memproduksi citraan pusat-pusat perdagangan melalui bandar-bandar. Dengan kata membuka tanda ikonik kapa-kapal menandakan pelayaran antarnegara dalam rangka perdagangan. Dalam interaksi itu, terjadi banyak perubahan dan kedatangan hal-hal baru, terulama dari segi budaya. Bahkan, tidak jarang ia pun menggusur yang lama dan kemudian menguasai dan bersifat merasuk secara halus ke dalam tubuh masyarakat. Dengan tanda-tanda tersebut, agaknya tema besar yang tidak hanya dari bait Asia Membaca adalah "globalisasi" terjadi kini, tetapi juga pada abad-abad yang telah lalu. 3.2.2 Sebuah Tanah Asal

Pada bait ketiga sang penyair mengemukakan sebuah sapaan, Tanah berkaca-kaca, Asia, mencium bau manusia, Asia, menyimpan kami dari segala zaman, Asia. Kata Asia merupakan seruan yang menciptakan sebuah personifikasi bagi Asia, yaitu ia yang penyair seolah berseru kepada sosok yang berada dalam keadaan terdiam. Dengan menampilkan beberapa kali kata sapaan Asia, ini mengisyaratkan nada yang datar dan berat. Kalimat pertama pada bait itu berupa kalimat majemuk setara dengan subjek tanah yang menjadi pokok yang dijelaskan. Frasa tanah berkaca-kaca menjelaskan keadaan tanah yang seperti kaca tanpa memakai kata seperti. Ini merupakan perumpamaan langsung bagi kata tanah.

Frasa selanjutnya memakai verba mencium, dan menyimpan. Pemilihan diksi seperti itu tampaknya cocok untuk perumpamaan tanah yang menyimpan dan mencium bau manusia. Dengan demikian, tanah memiliki pengertian tentang sesuatu yang primordial bagi umat manusia, tanah yang menjadi tempat asal dan selanjutnya ranah yang menjadi titik awal penyebaran manusia dan peradabannya. Ungkapan Tanah berkaca-kaca membuat pengandaian bagi Asia seperti sebuah permukaan yang memantulkan cahaya.

Ungkapan itu juga setara dengan pemakaian kata berkaca-kaca pada ungkapan umum berupa metafora matanya berkaca-kaca, yang berarti seseorang yang menangis karena bersedih atau terharu. Kalimat itu dapat dihubungkan dengan kata karena, yaitu tanah berkaca-kaca kerena mencium bau manusia yang menyimpan kami dari segala zaman. Kata segala zaman merupakan tanda ikonik yang mengandung pengertian perjalanan sejarah manusia, dari zaman prasejarah, zaman sejarah, hingga zaman kini.

Logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti kata, atau kalam. Dalam konteks ini, sajak Asia Membaca mengutip sebuah latar sejarah yang berkaitan dengan tempat diturunkannya wahyu. Dan wahyu itulah yang dimaksudkan dengan logos, kata-kata Tuhan yang diturunkan kepada utusan-Nya yang dinamakan dengan nabi dan rasul. Dengan dikutipnya latar ini oleh penyairnya, sajak Asia Membaca ingin mengatakan bahwa Asia merupakan tempat diturunkannya asal peradaban manusia. Hal itu dikutip dalarn tariknya yang berbunyi Tempat leluhur mencipta kata dan di penghujung bait ini penyair memperjelas apa yang dikutip penyair sebelumnya dengan Tempat bahasa dilahirkan. Pemakaian kata tempat sebanyak dua kali itu menjelaskan larik-larik ini menekankan keterangan tempat yang dinamakan dengan Asia.

3.3 “Chanel OO” Tawaran Semu dari Siaran Kehampaan Televisi

Chanel OO

Permisi,
Saya sedang bunuh diri sebentar.
Bunga dan bensin di halaman.

Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.

Sajak “Chanel OO” terdiri dari dua bait. Tiap bait memiliki dua dan satu kalimat. Bait pertama ditandai oleh satu buah tanda koma dan satu tanda titik. Bait kedua ditandai oleh tanda koma dan satu tanda titik. Sajak yang terdapat dalam buku Arsitektur Hujan itu tergabung dalam kelompok sajak yang dinamakan oleh Malna membaca kembali dada. Jenis sajak tersebut tidak dengan tampa maksud digolongkan dalam penganut sajak dadaisme, seperti yang ditunjukkan oleh salah satu tokoh penyair dadaisme dalam puisinya berikut ini

Inilah Jagu seorang dadais
yang punya dada di hatinya
ia mempreteli motornya
ia dulu punya dada di hatinya
Tristan Tzara (dalam www.bergen.urg/aast/ dadaism/html).

Seperti telah dikemukakan pada bagian bab dua bahwa makna puisi dada tidak dapat ditemukan. Akan tetapi, dari puisi yang berjudul “Chanel OO”, kita sebenarnya dapat menganalisis Sistem pertandaannya. Tiap-tiap kalimat dalam sajak itu ditulis dalam huruf besar. Judul juga demikian.

Judul sajak “Chanel OO” mengandung kesamaran pengucapan, yaitu apakah judul ini dilafalkan sebagai bunyi “Chanel OO", yaitu “OO” sebagai huruf vokal ataukah “OO” sendiri adalah angka yang dilafalkan sebagai “nol nol”. jika judul sajak tersebut dimaksudkan sebagai “OO” huruf vokal, huruf “OO” itu menimbulkan kesan pengucapan dengan nada yang biasa dipakai apabila kita sedang menghadapi sesuatu yang muncul tiba-tiba, pernyataan yang mengesankan orang yang menghadapinya terlihat agak terkejut, atau hal itu juga menandakan perasaan geli, “00” (baca: ow, ow!). Hanya saja dalam judul puisi itu tidak ditemukan tanda seru. Hal itu menimbulkan kesan kegelian subjek, kegelian itu memunculkan Suasana komikus dan bahkan kesinisan.

Kemungkinan kedua adalah (Chanel OO) merepresentasi kekosongan tanda indeksikal dan sekaligus Simbol tanda “00” (nol nol). “Nol nol” adalah tanda yang berlaku dalam suatu sistem yang biasanya melibatkan suatu perhitungan pada suatu objek tertentu, seperti pada dunia fisika, matematika, dan sebagainya. Akan tetapi, dengan petunjuk indeksikal “Chanel”, jelas di sini “OO” menandakan sebuah lambang yang digunakan dalam dunia elektronik dan komunikasi.

Tanda chanel itu biasanya terdapat pada radio, yang menandakan bahwa hal itu merupakan penanda gelomhang atau frekuensi. Selain itu, chanel yang umum dipakai menunjukkan saluran siaran di televisi. Jadi, hal yang ditunjukkan dari judul puisi ini adalah suatu saluran siaran ditelevisi. Namun, siaran televisi yang bagaimanakah sehingga ia diberi nama Chanel OO. Secara harfiah, kesan yang timbul dari judul tersebut adalah “saluran kekosongan”. saluran atau program yang pada galibnya menghadirkan kekosongan, atau lebih tepatnya kesemuan yang dihadirkan oleh siaran siaran “sampah” di dalam dunia hiburan dan televisi. Sajak “Chanel OO” terdiri dari dua bait. Bait pertama terdiri dari dua kalimat yang ditandai oleh dua tanda titik [.] dan satu tanda koma [,]. Pada bait kedua hanya terdapat satu kalimat yang memiliki satu tanda titik dan satu tanda koma. Huruf kapital memang dipakai pada setiap awal kalimat.

Permainan bunyi kata, terutama aliterasi sangat terlihat menonjol dalam larik kedua bait pertama. Aliterasinya cukup terasa, yaitu pada kata saya sedang bunuh diri sebentar. Huruf konsonan s, b, d, r di sini menemukan pasangannya dengan huruf vokal a, b, dan i yang dominan. Hal itu juga terdapat pada larik keempat, kelima, dan keenam, yaitu yang terdapat pada kata saya, sedang, bunuh, diri, sebentar, mengaji, dalam, bewarna, dan dada. Penampilan bunyi itu mengesankan suasana segar, tetapi agak tragis dan sinis.

Permainan bunyi asonansi tidak begitu menonjol walaupun ada, yaitu pada larik keempat dan kelima, teruslah mengaji/dalam televisi (runtutan vokal i). Pada umumnya, pola persajakan atau rima tidak terdapat dalam sajak Malna. Kemunculan asonansi juga secara singkat dan berdekatan terjadi pada kata dada. Akan tetapi, dalam kata itu sekaligus muncul aliterasi bilabial d. Hal itu mengisyaratkan suatu nuansa kontradiksi dan permainan.


3.3.1 Dada yang Bermaksud Sesuatu

Sajak itu tergolong ke dalam jajaran sajak Malna yang dipengaruhi oleh dadaisme dan warna pengaruh itu sangat kentara dengan menyebutkan kata dada di bait terakhirnya. Jika dada yang dianggap oleh penganutnya tidak memaksudkan apa-apa, sajak itu sebenarnya memiliki maksud atau menandakan sesuatu. Jika dilihat dari keseluruhan bangunan sajak, di dalamnya pembaca menemukan beberapa tanda ikonik dan simbolik yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata dada itu. Di dalamnya terdapat tanda ikonik dan simbolik, seperti televisi yang menjadi kata kunci. Kemudian, kata mengaji merupakan tanda indeksikal yang menerangkan apa yang terjadi pada subjek implisit terhadap tanda ikonik dan simbolik televisi. Tanda ikonik televisi mewakili sebuah dunia yang menghadirkan rayuan dunia konsumtif melalui iklan. Asumsi ini tampaknya kuat karena media televisi menjadi perantara yang efektif untuk membangun tonggak akumulasi konsumsi masyarakat. Di dalamnya berlaku logika kapitalisme dan konsumsi massa, yaitu bagaimana massa terserap menjadi bagian dari rantai kapitalisme di dalamnya. Strategi itu, terutama ditempuh oleh para produser dengan menampilkan permainan semiotik dan politik pertandaan yang intensif melalui citra dan penyajian komoditas yang menawarkan kesenangan libidinal bagi massa. Maka penampakan, yaitu penampilan kulit luar komoditas yang berupa apa saja itu seolah menjadi tujuan. Dalam pengertian, pesan utama yang dikonsumsi di sini adalah citra itu sendiri. Slogan medium is the message, seperti dikemukakan oleh McLuhan diwakili oleh dunia televisi melalui iklan. Bagi penulis sajak dada, seperti Malna, ikon televisi tidak lebih dari sekadar alat dari rezim yang menawarkan kamuflase dan kekosongan makna yang bersifat profan dan hampa.

Dalam hubungannya dengan sajak tersebut, makna yang ingin disampaikannya adalah tentang kekosongan dari yang ditawarkan oleh media. Gagasan yang disampaikan dalam sajak itu mengandung pandangan nihilisme, yaitu kesemuan yang diidap oleh massa konsumer. Oleh karena itu, sajak tersebut mengandung penertawaan dan cemoohan bagi kekosongan yang dikonsumsi oleh massa.

Melihat judul sajak tersebut, antara judul sajak dengan bait di bawahnya tidaklah serangkai, dalam arti sebagai satu kalimat. Representasi pengucapan sajak Chanel OO dapat pula ditambahkan sebagai bunyi seru [!] Chanel OO!, yaitu sebagai kata serapan kepada sesuatu. Hal itu dapat dihubungkan dengan larik pertama yang hanya terdiri dari satu kata dan satu tanda koma [,].

Berikut adalah untaian klausa dengan menghadirkan kata yang mungkin saja dilesapkan.

a. (saya) permisi
b. saya sedang bunuh diri sebentar.

c. (ada) Bunga dan bensin di halaman.
d. (kalian) Teruslah mengaji (,) dalam televisi bewarna itu,
e. (halo) dada.

Pola klausa (a) adalah S-P. Klausa itu menghilangkan subjeknya, yaitu saya aku lirik penyair. Hal itu menunjukkan kalimat deklaratif, mengumumkan si aku lirik ingin istirahat atau menarik diri dari suatu tempat atau keadaan. Struktur tersebut menunjukkan bahwa subjek merasa bosan, tetapi masih dapat sedikit "tersenyum" melihat kemuakan yang berlangsung, yaitu yang terus terjadi di dalam citraan dunia televisi.

Klausa (b) menjelaskan penarikan dirinya: saya sedang bunuh diri sebentar. Klausa tersebut berpola S-P, juga menunjukkan kalimat deklaratif yang sedang berlangsung. Yang bersifat paradoks dalam klausa ini adalah kata sedang dan sebentar yang mengisyaratkan bahwa tindakan itu sebagai sesuatu yang mudah dan ringan atau sebentar saja. Cara bunuh diri itu mungkin saja dilakukan dengan mudah, seperti dengan menghanguskan diri dengan bensin.

Klausa ada bunga dan bensin di halaman adalah kalimat berpola S-K, keterangan tempat di halaman dilengkapi dengan tanda bunga, dan bensin hanyalah tanda indeksikal yang diada-adakan untuk bunuh diri.

Klausa (d) merupakan klausa imperatif S-P-K dan diikuti oleh klausa (e) klausa sapaan. Klausa (d) (kamu) teruslah mengaji mengisyaratkan kegiatan menghadap, yaitu memelototi pesawat televisi disejajarkan dengan kesakralan "mengaji" dalam kosakata agama Islam, yaitu untuk mengkaji kitab suci dan memahaminya. Kata mengaji merupakan metafora langsung yang dipakai untuk memperlihatkan kekhusyukan untuk menyaksikan sihir yang dihadirkan oleh televisi. Jadi, televisi pada sajak tersebut diandaikan sesuatu yang dihadapi oleh sang penonton sebagai bentuk "penyembahan" terhadap pesonal yang bernama televisi. Klausa terakhir "dada" tampaknya bukan tidak mengadung maksud sebagai "dada" yang tidak bermakna, tetapi itu mungkin juga sebagai pelesetan dari kata dada "selamat tinggal" bagi penyembah berhala-berhala baru. 3.3.2 Kesemuan, Kamuflase

Komunikasi sudut pandang sajak itu melibatkan komunikan dua arah. Yang pertama adalah si aku lirik "saya" (P-1) yang bicara kepada komunikan yang kedua, yaitu pembaca implisit (P-2). P-1 menyapa P-2 di bait pertama, sedangkan P-2 ada di bait kedua.

Judul sajak itu menandakan bahwa tanda referensial langsung merujuk pada tanda ikonik televisi. Tanpa ada "televisi bernama“, pembaca akan kesulitan menemukan tanda referensialnya. Akan tetapi, di dalam judul puisi itu terdapat ambiguitas referensial tanda ikonik "OO", yang pada dasarnya "nol nol" itu tidak merujuk ke mana-mana selain pada kehampaan. "OO" menandakan juga sesuatu, yaitu dalam referensial chanel atau saluran televisi tentu mempunyai saluran satu, dua, tiga, dan seterusnya, ada sebutan saluran "ini" atau saluran "itu". Akan tetapi, "OO" menandakan bahwa peniadaan makna dari semua saluran itu menjadi derajat nol.

Klausa terakhir agaknya sejajar dengan OO, Dada. Dalam rujukan referensialnya, literatur pemikiran puisi Malna, hal tersebut jelas merujuk pada gerakan dadaisme. Di dalam kata "dada" dimaksudkan tidak mempunyai arti apa-apa. Jadi, secara referensial kata dada memiliki kesetaraan makna dengan tanda simbol OO, yaitu derajat nol. Kemungkinan kedua adalah dada sebagai ucapan sapaan selamat tinggal bagi kehampaan sihir televisi.


3.4 Bahasa sebagai Sumber Masalah

Sajak "Lorong Gelap dalam Bahasa" merupakan satu dari sekian sajak Maina yang mewakili pandangan asal terhadap persoalan bahasa. Bagi Malna, bahasa memberi efek tersendiri terhadap pandangan asalnya mengenai bahasa yang murni, yaitu fungsi bahasa yang tidak menghasilkan efek negatif dan tidak mengandung muatan ideologis tertentu. Ini merupakan hal yang mustahil dan penyair pun kiranya hanya menemukan dirinya di dalam lorong yang gelap dalam bahasa. Berikut ini adalah kira-kira gambaran penyair mengenai bahasa. Lorong Gelap dalam Bahasa


Si maut itu sudah datang membuat kamar dalam perutku. Ia membeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu kamar. Ia juga memasang sebuah cermin. Si maut itu tidak pernah keluar dari kamarku. Setiap malam ia menyetel radio dan tv. Koran pagiku selalu diambilnya. Si maut itu, membuatku harus menggotong tubuhku sendiri untuk berdiri. Lemari goyah menahan berat tubuhku. Kamar seperti akan tenggelam ke dalam pagar-pagar jiwa. Si maut itu mengatakan, semua yang aku rasakan bukan milikku.


Aku bertengkar dengannya. Ia telah mengambil semua yang aku rindukan, semua mimpi-mimpiku. Si maut itu telah membuat kamar tidurku seperti sebuah gereja yang rusak. Seluruh penghuninya telah pergi. Lonceng berdentang seperti menggemakan lorong gelap dalam bahasa. Dan si maut itu membuat mulutku seperti peti besi. Kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kucing bermain. Bulunya halus dan lembut, tubuhnya gugup menghadapi setiap gerak dari dunia luar. Ibunya datang, memanggilnya dengan suara yang datang dari lorong kematian dan kelahiran, menggigit lehernya, dan membawanya ke dalam sebuah kardus.


Si maut itu, api dari kaki-kaki bahasa.


Sajak yang terdapat dalam kumpulan puisi Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002) itu memiliki penampilan yang tidak mempertimbangkan bentuk persajakan konvensional. Hal itu memang tidak menjadi fokus perhatian dari penyair yang memaksudkan bentuk bait sajaknya menyampaikan sesuatu. Namun, tersirat dalam sajaknya pengelompokan bait demi bait untuk memberikan ruang jeda ketika kita membacanya. Hal itu sepertinya masih mengikuti alasan yang dipakai dalam penulisan prosa bahwa pengelompokan kalimat demi kalimat dalam alinea yang tidak terlalu panjang adalah untuk memberikan pengelompokan gagasan utama dan penjelasan berupa detail.

Penampilan puisi Malna tersebut mengisyaratkan bahwa puisi justru terbentuk atau ditentukan oleh ruang dan alasan praktis untuk dapat dibaca secara tidak melelahkan.

Kalimat dalam puisi tersebut ditandai dengan permulaan frasa dengan huruf kapita! dan diakhiri dengan tanda titik. Sajak itu terdiri dari tiga bait, dua bait terdiri dari masing-masing sembilan kalimat. Bait terakhir hanya terdiri atas satu kalimat saja. Jika dihitung jumlah lariknya, terdapat dua puluh satu larik, tetapi pemotongan larik tersebut tidak memperhatikan pemotongan frasa. Dengan kata lain, kata itu hanya merupakan masalah teknis semata.

Tanda baca yang hadir pada sajak tersebut adalah tanda [,] dan tanda [.]. Bentuk bait seperti itu menampilkan sebuah intensitas pertentangan subjek aku dengan sosok ia di dalam sajak tersebut. Dari awal hingga akhir sajak, aku lirik memang berhadapan dengan sosok ia secara langsung.

Permainan bunyi dalam sajak itu tidak begitu intens, tetapi masih dapat ditemukan di beberapa bagian. Aliterasi yang terlihat menonjol adalah permainan huruf r, seperti ia memebeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu kamar, atau Si maut tidak pernah keluar dari kamarku kamar seperti akan tenggelam ke dalam pagar-pagar jiwa.

Di bait kedua juga terdapat permainan bunyi r. Si maut itu telah membuat kamar tidurku seperti sebuah gereja yang rusak. Penonjolan bunyi nasal m dan ng juga tampak kentara dalam bait pertama dan kedua, seperti si maut sudah datang membuat kamar dalam perutku, ia membeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu kamar. Permainan aliterasi ini menimbulkan kesan kesemrawutan dan kesumpekan dalam metafora yang disebut dengan kamar. Kamar digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan benda dan di sana terdapat dua orang atau dua sosok yang saling berhadapan.

Dalam bait pertama itu digambarkan metafora sosok Si maut itu bagaikan seorang yang memiliki kamar, yaitu metafora untuk kamar bahasa, padahal kamar itu adalah milik si aku lirik. Si maut menjadi sebuah keniscayaan di dalam ruang aku. Hal itu ditandai oleh frasa Si maut itu sudah datang. Sudah datang menandakan kehadirannya secara indeksikal yang sebelumnya tentu tidak hadir. Kemudian Si maut adalah kehadiran yang mempengaruhi Si aku dan kamar secara berurutan yang ditandai oleh kalimat yang menggunakan verba aktif transitif, seperti datang membuat kamar, membeli lemari, ia menyetel radio dan tv, Si maut itu mengatakan, ia mengambil semua.

3.4.1 Ruang yang Terkontaminasi

Sajak „Lorong Gelap dalam Bahasa“ terdiri dari sembilan belas kalimat. Bait pertama dibentuk dari sembilan kalimat. Kalimat pertama berbunyi Si maut itu sudah datang membuat kamar dalam perutku merupakan kalimat deklaratif dengan definitif itu. Itu menandakan sebuah jarak yang tidak di sini. Itu juga mengisyaratkan bahwa si aku tidak sedang membicarakan si itu, yaitu metafor maut itu berhadapan langsung, tetapi dengan pembaca implisit.

Kalimat ini berpola S-P-P-O-K. Si maut itu sebagai subjek diterangkan dengan kata-kata sudah dan predikatnya yang ganda dengan melesapkan kata penghubung untuk, yaitu datang untuk membuat. Karena ruang adalah salah satu kepekaan tersendiri diksi dan imaji yang dibawakan dalam sajak Malna, ruang, merupakan tempat bergelantungnya benda.

Dalam sajak itu juga diterangkan sebuah ruang yang pengap dan sibuk diisi dengan segala perlengkapannya, seperti diterangkan dalam kalimat selanjutnya: ia membeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu kamar. Kalimat ketiga juga menerangkan hal-hal berikut. Si maut itu personifikasi melengkapi sebuah kamar. Kalimat selanjutnya menggambarkan perbuatan yang berlangsung secara rutin dengan memakai kata setiap pada setiap malam ia menyetel radio dan selalu di dalam koran pagiku selalu diambilnya.

Pada akhir bait pertama terdapat kalimat berita, si maut itu mengatakan, semua yang aku rasakan bukan milikku. Kalimat itu merupakan kalimat berita tidak langsung karena tidak terdapat tanda kutip ["....."]. Di samping itu, juga tidak terdapat promina kau untuk menggantikan promina aku dalam kalimat semua yang aku rasakan bukan milikku dan juga kalimat ini tidak menggunakan kata posesif milikmu untuk menggantikan milikmu. Kalimat itu mempresentasikan percakapan tokoh personifikasi Si maut yang pada akhirnya menyimpulkan tokoh si aku tergusur dari ruang dan dirinya sendiri dan digantikan oleh tokoh Si maut.

Aku bertengkar dengannya merupakan kalimat aktif deklaratif yang mengawali bait kedua dengan bertengkar sebagai verba intransitif. Verba itu menunjukkan suatu kejadian paralel yang di dalamnya subjek tidak berlaku sebagai penderita atau objek, tetapi verba yang mengisyaratkan subjek aku melakukan pertukaran tindakan. Pertukaran itu dapat saja berupa saling meniadakan, menyerang, membatalkan suatu hal dari lawan, atau saling menerima akibat dari makna tanda indeksikal dari kata bertengkar.

Tanda kedua yang menunjukkan hubungan tindakan paralel itu adalah pemakaian kata dengannya. Kata dengannya mengandung pengertian hubungan mitra atau jika dalam sebuah pertandingan, hal itu disebut dengan lawan atau pasangan. Partikel-nya jelas merujuk pada nomina Si maut. Hubungan kalimat pertama dengan kedua merupakan hubungan kausal yang melesapkan kata karena, Aku bertengkar dengannya karena ia telah mengambil semua yang aku rindukan, semua mimpi-mimpiku.

Frasa semua yang aku rindukan dan semua mimpi-mimpiku merupakan frasa paralel, yaitu yang aku rindukan tidak lain adalah semua mimpi-mimpiku. Verba rindukan bersinonim dengan frasa mimpi-mimpiku. Verba rindukan dapat bersesuaian dengan frasa semua mimpi-mimpiku karena verba rindukan disertai dengan modifier yang. Kata yang menjadikan frasa yang aku rindukan sebagai nomina, yaitu bermakna suatu hal. Verba rindukan berasal dari konstruksi merindukan sebab dalam kata merindukan, secara semantis akhiran -kan memiliki makna menjadikan atau membuat sesuatu sebagai X. Si maut itu telah membuat kamar tidurku seperti sebuah gereja yang rusak juga merupakan kalimat yang memakai kata sudah, yang sama dengan kalimat sebelumnya. Kalimat itu merupakan tanda ikonik yang memakai perumpamaan, yaitu simile seperti sebuah gereja yang rusak. Tanda ikonik gereja juga bermotif dimensi ruang, yaitu ruang yang memiliki kesamaan dengan ruang yang dimiliki oleh si aku. Dan ruang tersebut digambarkan mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh Si maut. Tanda ikonik dan simbolik yang terkandung dalam penanda gereja mewakili suatu ruang yang sakral menuju yang profan.

Perumpamaan itu mengambil contoh yang dilihatkan oleh penyair dalam gejala sekulerisasi yang menggusur peran agama dalam hal-hal duniawi dan dangkal, seperti yang terjadi di dunia Barat dan di tempat hidup penyairnya sendiri. Seperti sebuah gereja yang rusak dapat berarti gereja sebagai penanda simbolik yang mengalami kerusakan secara fisik, dalam pengertian sebagai ruang khusus yang tidak dapat digunakan sebagai tempat pemujaan karena tidak layak pakai akibat kerusakan. Kemungkinan kedua kerusakan itu dalam pengertian umatnya.

Kalimat selanjutnya adalah Lonceng berdentang seperti menggemakan lorong gelap dalam bahasa. Kalimat itu masih memiliki hubungan pencitraan dengan gereja, yaitu dengan adanya tanda ikonik, indeksikal, sekaligus simbolik dalam penanda lonceng. Penanda lonceng berfungsi sebagai tanda ikonik karena ia merupakan benda yang secara primordial dimanfaatkan untuk penyampai pesan tertentu. Jadi, tanda secara ikonis lonceng berperan secara fungsional. Ia berperan sebagai penanda indeksikal karena bunyi yang dihasilkannya ataupun karena fungsinya sebagai petunjuk yang menandakan identitas sesuatu, misalnya keterangan tentang waktu untuk sebuah jadwal, pemberitahuan, atau tanda bahaya.

Dari penampakannya sebagai tanda ikonis, lonceng menjadi tanda indeksikal karena kehadirannya menunjukkan sesuatu yang lazim menyertainya, seperti gereja pasti memiliki sebuah lonceng atau sebuah jam besar ditandai dengan bunyi dentangan lonceng. Dan akhirnya, lonceng juga menangkap fungsinya sebagai penanda simbolis yang bersifat kultural, bahwa lonceng menunjukkan suatu tradisi dalam budaya Kristiani, misalnya. Sama halnya dengan beduk yang melambangkan suatu tradisi yang ada di Indonesia atau Asia Tenggara.

Lonceng berdentang seperti menggemakan lorong gelap dalam bahasa memberi efek penekanan pada tanda bunyi lonceng, yaitu dentang sebagai tanda bunyi yang bersifat indeksikal. Dalam kalimat itu juga dipakai simile seperti menggemakan..... Simile tersebut mengantarkan penjelasan maksud sajak dari bait pertama dan kedua khususnya, yaitu Kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kucing bermain. Frasa Kata-kata menghubungkan ide sajak ini dengan bahasa karena bahasa tentu saja memakai kata-kata.

Akan tetapi, dalam kalimat itu penyair menghubungkan frasa kata-kata dengan anak-anak kucing bermain. Penghubungan itu menampilkan suatu lompatan yang mengejutkan dengan anak-anak kucing bermain, yang merupakan metafor atau perumpamaan langsung. Namun, sepertinya pemakaian metafor ini masih memungkinkan kalimat tersebut memproduksi arti bahwa anak-anak kucing bermain berkemungkinan merupakan simbolisasi dari fasa pemakaian dan berfungsinya medan bahasa pada anak-anak.

Penyair mungkin mengasumsikan bahwa dunia anak-anak belumlah terkontaminasi, baik oleh bahasa yang tidak netral maupun oleh pengaruh dunia orang dewasa yang penuh persoalan dan konflik, serta dinamika bahasa. Anak-anak kencing bermain mencitrakan sebuah dunia anak-anak, juga pada manusia, yang penuh kebahagiaan tanpa menanggung beban yang diakibatkan oleh bahasa. Frasa kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kencing bermain merupakan kalimat yang melesapkan modifier ada yang terletak di depan kata-kata yang tak pernah lagi... Kehadiran kata penghubung yang yang merupakan anak kalimat itu memberikan suasana yang agak murung. Kata yang menampilkan gambaran sesuatu itu telah terjadi. Kata yang berfungsi juga sebagai penguat keadaan. Kata itu agaknya memiliki padanan makna yang sama dengan kata memang yang sering dipakai untuk penegasan. Dengan kata lain, kata yang atau memang mengisyaratkan keadaan yang faktual.

Kalimat Bulunya halus dan lembut, tubuhnya gugup menghadapi setiap gerak dari dunia luar menerangkan metafor anak-anak kucing yang terancam dari bahaya luar dan ketika itu Ibunya datang, memanggilnya dengan suara yang datang dari lorong kematian dan kelahiran,....

Klausa di bait terakhir yang hanya terdiri satu kalimat, akhirnya menyimpulkan bahwa Si Maut itu, api dari kaki-kaki bahasa. Kalimat tersebut tidak mengatakan si maut itu adalah, tetapi kata adalah digantikan oleh tanda [.]. Tanda itu memberikan efek dramatik dan mengejutkan dari kalimat yang bersifat deklaratif itu. Api dari kaki-kaki bahasa merupakan metafora dari ketidaknetralan atau efek bahasa yang memiliki kekuatan yang berpengaruh negatif. Metafora itu tidaklah mewakili muatan yang disandang oleh bahasa, yaitu jargon, ideologi, kekuasaan, mitos, stereotip dan carut-marut yang dihasilkan melalui bahasa.

3.4.2 Bahasa Menyimpan Problema

Judul sajak "Lorong Gelap dalam Bahasa" merupakan metafora tanda indeksikal dari keseluruhan bagian sajak ini. Metafora itu digambarkan sebagai bahasa yang menyimpan sebuah misteri. Namun, yang dimaksud dengan misteri itu adalah bahwa bahasa tidak sepenuhnya dapat mewakili realitas. Ihwal yang tidak sepenuhnya mewakili realitas inilah yang kira-kira dimaksudkan dengan lorong gelap. Misteri itu serupa dengan rasa estetik yang dapat dirasakan dalam medium seni, seperti lukisan, komposisi musik. Misteri keindahan itulah yang dinamakan dengan nuansa yang dihadirkan oleh unsur intrinsik. Dalam persoalan ini, bahasa pun serupa dengan nuansa, misalnya ada orang berkata seperti ”lukisan ini menyimpan nuansa mistik.” Analogi kita tentang nuansa mistik dalam pembahasan ini adalah penyimpulan total dari hal yang tidak bisa diterangkan oleh bahasa sepenuhnya. Oleh karena itu, ia tetap menjadi gelap. Penggambaran bahasa dengan metafora seperti itu sudah mengisyaratkan gagasan bahwa bahasa itu sebagai sesuatu yang abstrak. Maksudnya adalah sistem bahasa hanya dapat dilihat secara umum. Bahasa memiliki kaidah umum yang dianggap baku oleh kelompok masyarakat pemakainya, tetapi ia masih bisa ditemukan dalam bentuk ujaran individu. Sajak ini menggunakan metafora yang bertingkat-tingkat. Pertama adalah si maut, kedua adalah kamar. Kamar mempresentasikan bahasa, sedangkan si maut adalah faktor yang tidak dapat dilepaskan dari bahasa, yaitu, seperti yang dideklarasikan oleh penyair mengenai bahasa yang tidak bisa lepas dari jargon, mitos, kekuasaan, stereotip, dan ketidaknetralan bahasa sebagai alat komunikasi.

Metafora tingkat lanjut dari si maut adalah benda-benda yang mengisi kamar, seperti televisi, lemari, radio. Kemudian, setelah metafora bahasa ditunjukkan dengan kamar, metafora kamar kemudian dimetaforakan dengan gereja di bait kedua. Kedua metafora tersebut memiliki konsep tentang ruang. Kamar dan gereja merupakan tiga dimensi ruang, yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Ruang, yang karena itu bisa ditempati dan ditempeli oleh si maut, yang juga adalah benda-benda yang dimetaforakan dengan diksi khas dari Malna, yaitu televisi, radio, dan lemari.

Tampak jelas bahwa dalam sajak ini terdapat konsep instalasi benda dalam ruang. Pada tingkat terakhir, metafora si maut adalah sebuah kesimpulan pada bait terakhir, yaitu api dari kaki-kaki bahasa. Kata api dengan tegas merepresentasikan indeks dari si maut. Antara si maut dan api memiliki sifat dan tabiat yang sama, yaitu menghancurkan, memusnahkan, dan mengakhiri segala sesuatu. Frasa kaki-kaki bahasa juga adalah metafora, yaitu segala yang tidak dapat dilepaskan dari bahasa, yang menurut penyair merupakan mitos, jargon, kekuasaan, dan stereorip tersebut. Kaki-kaki merupakan indeks yang mengisyaratkan fungsinya sebagai penggerak bahasa, yaitu dalam peristiwa komunikasi. 3.5 Perempuan yang Dimitoskan

Sajak ini dalam edisi Arsitektur Hujan berjudul Sitti Berlari- lari. Namun isinya mengalami perubahan atau penambahan dan pengurangan diksi. Dari judulnya, sajak ini mengisyaratkan nama tokoh yang terkenal dalam novel Indonesia di zaman angkatan Balai Pustaka, yaitu Sitti Nurbaya, dalam novel yang berjudul sama (1922), karya Marah Rusli. Pembacaan dan penafsiran novel ini menghidupkan kembali mitos dan sebuah legenda yang digambarkan terjadi di Kota Padang, Sumatra Barat. Sitti telah menjadi sebuah perlambangan yang menandakan bahwa yang menyebabkan Sitti terperosok dalam subordinasi dominasi kaum laki-laki adalah mitos tentang subordinasi perempuan pada zaman itu. Di penghujung abad kedua puluh, belum adanya persamaan dan pengakuan yang diberikan kepada kaum perempuan, diterima sebagaimana adanya (taken for granted) dan hal itu kemudian menjadi sebuah mitos dalam masyarakat

Puisi Perempuan dalam Novel terdiri atas empat bait dan 14 frasa. Bait sajak itu berbentuk konvensional dan pemotongan frasa di ujung larik tidak memperhatikan harmoni bunyi kata. Pemotongan kalimat menjadi larik baru tidak begitu menjadi penentu pengucapan. Dan, dalam sajak tersebut tidak ditemukan bentuk pemakaian rima pada tiap ujung lariknya.


    PEREMPUAN DALAM NOVEL
    Sebuah biografi tak pernah minta ampun pada siapa pun. Di situ orang mendandani Sitti kembali, hanya untuk melihat kisah cinta menyembunyikan dirinya. Senyumnya tak pernah jauh dari seluruh novel, tempat orang berganti diri dengan kesedihan. Sitti menemui kekasihnya di situ, dari gagasan tak mengenal sepatu. Tak ada novel untuk cinta 30 menit, yang mengubah perempuan jadi selendang panjang.
    Sitti mengisap tradisi dan kolonialisme penuh sepatu di situ. Belajar memilih hari yang lain, dari sebuah novel yang tidak menyimpan racun. Tetapi aku telah
    jadi perempuan, Sitti. aku telah jadi perempuan di seluruh novel yang sedih. Hingga rambut panjang menyentuh leherku sendiri. Siapakah yang telah tertembak di situ, antara sejarah, novel, atau seorang ibu.
    Ada anak-anak menari, menyayi, dalam novel yang lain. Mereka memakai tubuh ibunya. Dan menemukan Sitti dalam tradisi yang lain, antara masa lalu yang melepaskan sepatunya dalam sejarah: Sitti, ilmu pengetahuan itu seperti novel penuh batu, dia yang tak ada, dan semangka.

Larik pertama dan kedua tersusun dengan untaian larik yang tergolong panjang, masing-masing mempunyai delapan dan tujuh larik. Jika dilihat, larik yang tersusun dalam sajak tersebut juga panjang, yaitu berkisar antara enam sampai dengan sembilan kata per lariknya. Hal itu menandakan sebuah bentuk narasi yang berusaha bercerita dengan agak memadai. Dengan kata lain, nuansa naratif ingin ditampilkan penyairnya. Nuansa itu kira-kira menyiratkan sebuah ratapan bagi tokoh Sitti yang terjepit tradisi beserta dampak kolonialisme, yang di dalam konteks teksnya, kekuasaan patriarkat dilambangkan oleh Datuk Maringgih.

Sajak "Perempuan dalam Novel" ini memiliki beberapa permainan aliterasi yang kental dan ansonansi yang juga bagus untuk didengarkan walaupun sesungguhnya, seperti sajak Malna yang lain, tidak berangkat dengan permainan demikian. Sajak-sajak Malna tetapi lebih menekankan permainan diksi. Pada larik pertama terdapat permainan aliterasi vokal bilabial [b] dan [p] Sebuah biografi tak pernah minta ampun pada siapa pun.

Aliterasi [s] juga terdapat pada Sitti menemui kekasilnya di situ, dari gagasan tak mengenal sepatu. Atau berikut ini, Sitti mengisap tradisi dan kolonialisme penuh sepatu. Konsonan itu memperoleh kombinasi huruf vokal [a], [i], [e], pada dan menemukan Sitti dalam tradisi yang lain, antara masa lalu yang melepaskan sepatunya dalam sekolah: Kombinasi aliterasi tersebut menimbulkan tanda indeksikal yang mengesankan saling-silang hal pelik yang dihadapi oleh tokoh Sitti dalam persoalan ketegangan antara tradisi, kolonialisme dan kekuasaan patriarkal.

Terdapat juga pengulangan beberapa kata yang sama pada frasa lain, seperti kata sepatu, novel, perempuan. Namun, yang sering muncul adalah kata sepatu dan novel. Pengulangan itu mengisyaratkan gagasan hal kemajuan yang disimbolkan oleh lambang sepatu. Diksi tersebut menjadi simbol yang kentara, jika hal itu dilihat menurut konteks waktu yang dihubungkan dalam sajak itu. Yang menguatkan diksi itu menjadi simbol kemajuan adalah kata sepatu dijelaskan oleh kata kolonialisme. Kolonialisme menimbulkan dampak terhadap suatu ranah yang belum disentuhnya, yaitu berupa diperkenalkannya hal-hal baru. Dalam arti kata yang lain, kehadiran yang lama, seperti tradisi digantikan oleh kehadiran yang baru, yaitu kemajuan. Kemajuan, terutama ditampakkan dalam objek-objek material yang mewakili gagasan yang dianggap modern itu, seperti benda ketika itu yang bernama sepatu. Oleh karena itu, ada kemungkinan penyejajaran derajat simbol dalam kata sepatu dengan kata kolonialisme.


3.5.1 Perempuan dalam Pengaruh Perubahan

Judul sajak itu semuanya memiliki huruf kapital. Frasa pertama dimulai dengan huruf kapital. Kalimat itu berupa kalimat deklaratif-negasi berpola S-P-O-K: Sebuah biografi, tak pernah minta ampun pada siapa pun. Frasa sebuah biografi, yang bertanda koma menandakan sebuah penekanan subjek yang otonom. Biografi tersebut tidak terhalangi dan memiliki kekuatan yang tidak bisa dihambat oleh apa pun juga karena frasa tersebut dikuatkan oleh frasa sesudahnya, tak pernah minta ampun pada siapa pun. Klausa kedua menerangkan bahwa biografi itu adalah sebuah tempat. Di situ orang mendandani Sitti kembali..., kata di situ mengisyaratkan bahwa biografi adalah sebagai sebuah kisah yang berbentuk sebuah novel atau roman sebagai bentuk fiksi yang dapat dibelokkan untuk menjadi sebuah kisah tragis walaupun ketika itu ia terinspirasi dari kejanggalan gejala kekuasaan patriarkat.

Klausa di situ orang mendandani Sitti kembali juga merupakan klausa deklaratif berpola K-S-P-O. Di situ berperan sebagai keterangan tempat,tetapi tempat yang memiliki dintensi waktu yang jauh di belakang. Hal itu dikuatkan pula oleh kata "kembali". Kalimat ketiga juga berbentuk kalimat deklaratif yang merupakan kalimat majemuk bertingkat berpola S-P-K. Senyumnya merupakan subjek dan predikatnya adalah tak mau jauh, sedangkan keterangannya adalah dari seluruh novel. Tempat orang berganti dengan kesedihan merupakan keterangan kedua yang menunjukkan tempat novel tersebut. Klausa-klausa itu menunjukkan bahwa bait sajak itu mengemukakan pembacaan sebuah fiksi, atau tepatnya sebuah biografi, sebuah diksi yang sering digunakan oleh penyair. Fiksi tersebut juga menandakan sebuah persamaan dengan sebuah situs.

Klausa selanjutnya juga bersifat deklaratif hingga akhir bait pertama. Sitti masih menemui kekasihnya di situ. Klausa itu masih merujuk pada suatu novel yang ditunjukkan dengan frasa di situ. Pengulangan itu juga terjadi pada bait kedua sebanyak dua kali. Sitti mengisap tradisi dan kolonialisme penuh sepatu di situ. dan Siapakah yang telah tertembak di situ. Pengulangan tersebut adalah pernyataan untuk mempertanyakan sebuah kata konotatif "tertembak". Kata itu lebih bersifat indeksikal yang menunjukkan kemungkinan objek penderitanya sebagai korban. Di sini korban yang dimaksudkan adalah sejarah, novel, atau seorang ibu.

Pada kalimat sebelumnya, aku lirik menyatakan diri sebagai perempuan, Sitti, aku telah jadi perempuan di seluruh novel yang sedih. Klausa aku telah jadi perempuan menandakan aku lirik ingin merasakan bagaimana jika menjadi tokoh perempuan yang mengalami nasib seperti Sitti.

Klausa Ada anak-anak menari, menyanyi dalam novel yang lain bersifat deklaratif yang berpola S-P-P-K. Ada anak-anak merupakan subjek kalimat yang dilengkapi dengan kata ada. Ini menunjukkan hal berita bahwa ada subjek, yaitu anak-anak. Subjek tersebut berbentuk jamak dan melakukan kegiatan yang simultan dengan isyarat predikat ganda menari, menyanyi. Hal itu menimbulkan kesan ramai dan suasana gembira. Anak-anak merupakan tanda ikonik untuk makna kesucian, keceriaan, dan ketidakberdosaan karena mereka belum memasuki kewajiban dan beban yang diberikan kepada orang dewasa.

Mereka memakai tubuhi ibunya, mereka adalah referens anak-anak dan tubuh ibunya adalah kata yang juga mengandung referens anak-anak, yaitu imbuhan-nya yang merupakan pengganti kata mereka. Kata memakai merupakan predikat yang mempersamakan tindakan untuk menyerupai, menempati peran seperti ibu. Biasanya, asosiasi anak-anak dan ibu atau wanita adalah objek penderita yang sering berperan sebagai korban kekerasan tindakan kaum laki-laki.

Dan menemukan Sitti dalam tradisi yang lain adalah kalimat yang mengalami pelesapan subjek mereka yang sebenarnya adalah dan mereka. Klausa dan menemukan Sitti menunjukkan bahwa Sitti adalah sebuah model yang telah menjadi legenda atau mitos di masyarakat dalam hal hubungan perkawinan yang justru dimunculkan dari karya fiksi novel.

la merupakan simbol karena seolah sudah menjadi contoh dari fiksí yang mewakili realitas yang tidak jarang dijumpai. Tokoh simbol itu menjelma juga dalam fiksi yang lain. Artinya, ia tidak hanya terdapat dalam suatu masa dan satu tradisi tertentu, tetapi juga di tempat lain, antara masa lalu yang melepaskan sepatunya dalam sekolah. Klausa tersebut mengisyaratkan di dalam novel, rujukan pada tokoh simbol Sitti itu terus mengilhami kisah-kisah di novel lain walaupun konteksnya telah berbeda.


3.5.2 Ziarah ke dalam Mitos Perempuan Sitti

Judul sajak "Perempuan Dalam Novel" merupakan tanda indeksikal dari tubuh sajak tersebut. Tanda itu merujuk pada seorang tokoh rekaan dalam novel terkenal Marah Rusli, "Sitti Nurbaya". Secara lebih khusus kata perempuan dipilih dan bukan dalam kata wanita karena mempunyai konotasi yang cukup berbeda. Dulu kata wanita lebih digunakan untuk ide kemajuan dan kata perempuan melahirkan cita rasa yang agak konservatif dan tradisional mengenai gagasan emansipasi. Justru kata emansipasi lebih diwakili oleh cita rasa kata wanita, seperti wanita perkotaan atau wanita karier, sedangkan kata perempuan merupakan diksi yang dulunya melambangkan subordinasi, lambang yang sering mewakili ketidaksetaraan dan mengandung bias. Kata itu mengandung muatan ideologis yang tidak berimbang dari kekuasaan lelaki.

"Perempuan dalam Novel" ketika dipahami sebagai Sitti itu berubah sebagai tanda simbolik yang lebih spesifik lagi, yaitu kata tersebut dijadikan pemeo dalam suatu peristiwa kawin paksa yang mengandung cacat moral dan motif.

Bait pertama menyebutkan kata biografi. Bagi penyair kata tersebut merupakan suatu lokus pembacaan dan penciptaan makna dari apa yang dilihatnya sebagai sebuah taman atau situs. Tempat itu bagaikan sebuah tempat ziarah untuk menemukan jejak masa silam, seperti disebutkan orang menandai Sitti kembali. Kata menandai bersinonim dengan kata menghiasi, yaitu untuk mempercantik sesuatu. Barangkali juga kata mendandani kembali mengisyaratkan bagaimana pembacaan terhadap novel itu terus mengalami perjalanan tafsir. Tafsir itu pun dapat ditarik melalui sudut pandang lain, seperti diisyaratkan oleh penyair dalam frasa menandai Sitti kembali, hanya/untuk melihat kisah cinta menyembunyikan dirinya. Akan tetapi, dengan faktor lain, seperti posisi perempuan dalam kekuasaan lelaki, justru persilangan faktor ini mengakibatkan orang bersedih atau terharu. Walaupun Siti tetap berusaha untuk tabah, yang ditandai dengan senyumnya tak mau jauh dari seluruh novel, pembacaan itu tidak mampu juga membendung kesedihan, tempat orang berganti diri dengan kesedihan. Larik selanjutnya mewakili bagaimana kisah cinta Sitti.

Bait kedua memperlihatkan pemakaian tanda simbolik, seperti kolonialisme dan sepatu dalam dinamika yang dihadapi oleh Sitti. Dan hal ini pun kemudian ditanggapi oleh aku lirik bahwa pada umumnya perempuan, tidak hanya pada diri Sitti saja, adalah sebuah subjek sekaligus objek yang mengalami kesedihan dan keterjepitan. Tetapi, aku telah jadi/perempuan. Sitti. Aku telah jadi perempuan di seluruh/novel yang sedih. Ini menyerupai suatu tindakan fenomenologis dari aku lirik yang berusaha memahami dan menyelami perasaan Sitti layaknya sebagai diri Sitti sendiri. Hal itu dilambangkan sebagai metamorfosis aku lirik menjadi seperti perempuan.

Frasa Sitti mengisap tradisi dan kolonialisme merepresentasikan keserempakan berlangsungnya dua dunia yang sebenarnya saling berlainan sifat dan asal. Yang pertama itu bersifat genus lokal, dalam pengertian sesuatu yang berasal dari komunitas lokal atau merupakan salah satu bentuk kebudayaan masyarakat yang terpakai dalam tubuh masyarakat tersebut. Tradisi merupakan suatu konstruksi yang dimunculkan dalam wajahnya yang sangat dipahami oleh masyarakat yang mengembangkannya.

Tradisi memiliki muatan simbolik dan pemitosan serta banyak mengambil inspirasi dari kekuasaan yang ada di luar diri manuisa. Contohnya, dalam masyarakat tradisional, mereka menciptakan semacam kode budaya yang disebut dengan totem, sedangkan kolonialisme adalah sebuah kekuatan yang berasal dari luar dan bersifat ekspansif. Dengan kata lain, kolonialisme dijalankan dengan sifat mempengaruhi dan kemudian menguasai suatu kelompok masyarakat oleh kekuatan asing.

Di dalam kalimat pertama pada bait kedua ini terdapat kata yang bersifat indeksikal, yaitu kata mengisap, yaitu mengisap tradisi dan kolonialisme. Pemakaian kata itu menimbulkan suatu pertentangan makna dari apa yang diakibarkan oleh tradisi kepada orang yang menjalaninya. Dengan demikian, yang menjadi kelaziman jika seseorang hidup dalam tradisi adalah bahwa ia atau mereka menjadi terisap atau diisap oleh tradisi.

Secara denotatif, kata mengisap memiliki pengertian menyerap dan memasukkan sesuatu ke dalam suatu tempat. Akan tetapi, pengertian denotatif mengisap adalah sekaligus diisap oleh tradisi dan kolonialisme itu. Kemungkinan maksud pemakaian kata itu menurut logika adalah bahwa proses diisap itu mendahului proses mengisap karena tradisi dan kolonialisme itu merupakan bentuk gagasan yang diciptakan dan disepakati. Mungkin saja penyairnya mempertimbangkan adanya proses transaksi budaya dan kekuasan melalui mekanisme yang dinamakan dengan hegemoni. Dengan kata lain, menjadikan segala bentuk dominasi oleh pihak pengisap kepada yang diisap tanpa berterusan melalui kekerasan, tetapi melalui normalisasi kesadaran massa bahwa apa yang ditawarkan kepada mereka adalah sesuatu yang normal dan lazim dan menjadi kebutuhan. Hal itu mungkin menjelaskan bahwa setelah mereka diisap, lalu mereka pun digiring untuk mengisap sendiri apa yang ditawarkan dalam pengisapan itu.

Kata mengisap kemudian dijelaskan sebagai belajar dalam kalimat Belajar memilih hari yang lain, dari sebuah novel yang tidak menyimpan racun. Frasa novel yang tidak menyimpan racun merupakan frasa yang mengandung unsur negasi, yaitu kata tidak menyimpan racun. Ini mengisyaratkan bahwa tokoh simbolik Sitti berusaha keluar dari apa yang membelenggunya, yaitu dari novel yang tidak menyimpan racun. Racun merupakan tanda ikonik dan simbolik dari hal yang mematikan atau yang membusukkan. Mungkin yang dimaksud dengan racun itu adalah yang merujuk kepada tanda ikonik tradisi dan kolonialisme tersebut.

Pada bait ketiga, ada personifikasi anak-anak yang menari, bernyanyi, dan bergembira di dalam novel yang lain. Bait itu masih merupakan simbolisasi tentang perempuan. Hanya saja, Sitti pada bait itu bukanlah sebagai Sitti yang primordial dalam novel yang dimaksudkan sebagai sumber penciptaan tokoh Sitti, yaitu kisah yang ditulis dalam novel Sitti Nurbaya. Hal itu menandakan bahwa si aku lirik mengalihkan pembicaraan dengan mengadakan pelebaran pemaparan, tetapi masih menggunakan Sitti sebagai simbol perempuan.

Diksi anak-anak dalam kalamat anak-anak menari, menyanyi, dalam novel yang lain berlaku sebagai subjek yang melakukan pembacaan terhadap kisah yang menyangkut hal perempuan. Mereka melakukannya dengan mengambil inspirasi dari pribadi ibu dan bukan dari sudut pandang yang lain, seperti sudut pandang kaum laki-laki. Hal itu ditandai oleh pemakaian simbol ibu dalam kalimat mereka memakai tubuh ibunya. Frasa dan menemukan Sitti dalam tradisi yang lain menyiratkan bahwa persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan tidak hanya seperti yang dihadapi oleh tokoh Sitti yang primordial dalam latar waktu dalam novel yang disinggung oleh penyair itu. Akan tetapi, persoalan tersebut barangkali adalah mengenai nasib perempuan yang hidup di zaman yang sudah bergeser. Hal itu ditandai oleh kalimat dan menemukan Sitti dalam tradisi yang lain, antara masa lalu yang melepasakan sepatunya dalam sejarah.

Pada bait terakhir aku lirik mengatakan kepada Sitti perumpamaan ilmu pengetahuan dengan memakai simile seperti novel penuh batu, dia yang tak ada, dan semangka. Frasa tersebut menyebutkan ilmu pengetahuan itu seperti tiga perumpamaan, yaitu novel seperti yang disebutkan oleh aku lirik sebelumnya, ungkapan dia yang tak ada, dan semangka. Tiga perumpamaan terakhir ini menimbulkan ketidakpastian makna apa yang dimaksud dengan dia yang tak ada dan semangka.


3.5.3 Simpati untuk Sitti

Sudut pandang yang dipakai dalam sajak itu adalah orang pertama tunggal yang berlaku sebagai narator. Pada bait pertama, aku lirik narator secara penuh bercerita tentang Sitti kepada pembaca implisit, yaitu pembaca biasa karena bait itu bersifat berita dan opini aku lirik mengenai Sitti.

Pada bait kedua sang narator tidak secara penuh menyampaikan narasi kepada pembaca, tetapi ia mengeluarkan pernyataan kepada Sitti selaku orang kedua. Sang narator pun melontarkan pernyataan kepada Sitti yang imajiner. Percakapan tersebut seolah dilakukan kepada Sitti yang diam, seperti yang dimitoskan dalam novel itu. Sitti hanya bisa menerima nasib sebagai pihak yang lemah dan hanya melakukan perlawanan dengan Sitti menemui kekasihnya di situ, yang dalam tanda referensialnya tokoh itu bernama Syamsul Bahri.

Sang narator meriyampaikan rasa simpatinya kepada Sitti dengan mengandaikan dirinya berubah menjadi (seperti) Sitti, Tetapi aku telah jadi perempuan, Sitti. Aku telah jadi perempuan di seluruh novel yang sedih. Hingga rambut panjang menyentuh leherku sendiri. Pada bait ketiga sang narator kembali berpaling kepada pambaca implisit dan kembali mengurai narasi singkatnya tentang Sitti. Namun, bait itu berisi pengandaian sosok dan mitos Sitti yang terdapat dalam kisah novel yang lain dan masih menggambarkan Sitti sebagai model perempuan yang terjepit dalam sejarah, yaitu antara menerima dan menolak nilai baru yang muncul dalam masyarakat.