Lompat ke isi

Pangguno:Rahmatdenas/Masjid Raya

Wikipedia Minangkabau - Lubuak aka tapian ilimu

Bab 3 – Gagasan Membangun Masjid Raya

Sumatera Barat telah menjadi lokus tradisi intelektual Minangkabau yang amat besar peranannya dalam kehidupan Tanah Air selama paruh pertama abad ke-20. Hal itu dapat dilihat dalam sumbangan yang diberikan para pemikir dan praktisi yang berasal dari ranah Minang dalam hampir semua bidang kehidupan.

Gagasan pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat bergulir pada masa kepemimpinan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi. Gagasan itu bukan semata soal membangun masjid yang representatif untuk skala provinsi secara fisik, tapi berkelindan dengan misi pengembangan sumber daya manusia di bidang agama.

Fakta di lapangan, Sumatera Barat saat itu tidak memiliki masjid raya yang representatif di jalan protokol atau pusat pemerintahan. Jika kita berjalan dari Alang Lawas sampai jangkauan pusat kota di Bandara Tabing, hanya hitungan masjid kecil berdiri di sepanjang jalan. Kebanyakan masjid tentu saja peruntukannya sebatas untuk kompleks permukiman, kecuali satu milik kampus Universitas Negeri Padang.

Sebetulnya, sudah ada Masjid Nurul Iman yang kapasitasnya besar dan memiliki akses yang mudah dijangkau dari jalan protokol. Secara kewenangan, masjid itu dikelola oleh milik pemerintah provinsi Sumatera Barat. Pendahulu Gamawan Faizi, Gubernur Zainal Bakar memilih mempertahankan status masjid raya Masjid Nurul Iman dengan mengupayakan renovasi lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, rencana yang digulirkan Zainal Bakar yakni membongkar masjid lama agar masjid baru dengan perencanaan yang matang benar-benar bisa diwujudkan.

Alasan pembongkaran masjid lama yakni untuk memperluas kapasitas masjid dan pentaan ulang bangunan. Masjid awal, yang pembangunannya dimulai era Gubernur Sumatera Barat pertama Kaharudin Datuk Rangkayo Basa pada 26 September 1958, adalah hasil pembangunan simultan yang memakan waktu nyaris 19 tahun untuk dapat dikatakan benar-benar selesai. Malang, tak sampai setahun usai diresmikan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud pada 1 April 1977, terjadi insiden insiden bom.

Pembangunan Masjid Nurul Iman sebenarnya tak terlepas dari rencana Gubernur Sumatera Barat pertama Kaharudin Datuk Rangkayo Basa menghadirkan fasilitas ibadah yang representatif skala provinsi, sejalan dengan rencana pembangunan Kantor Gubernur Sumatera Barat. Rencana tu diwujudkan dengan mencarikan lahan di pusat kota. Namun, dinamika yang terjadi setelah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) menyulitkan pemerintah dalam mendapatkan lahan. Tak banyak opsi lahan strategis di pusat kota terbatas, kecuali lahan di sekitar Lapangan Imam Bonjol yang saat itu dikenal "mahal" dan "dikuasai oleh tentara".

Masjid Nurul Iman akhirnya mendapatkan lahan tempat berdiri ia sekarang dari TNI. Lahan itu berukuran 150 x 100 meter. Pembangunan dimulai dengan dana awal pembangunan terutama berasal dari sumbangan Komando Daerah Militer III/17 Agustus dan Kementerian Agama RI. Pengerjaan pondasi bangunan tuntas pada 1960. Pada 1962, masjid sudah difungsikan untuk Salat Jumat di tengah kondisi bangunan yang belum rampung.

Lantaran kaitannya dengan PRRI, masjid yang dibangunan awalnya direncakana diberi nama Nurul Aman. Nama itu dimaksudkan sebagai "lambang keamanan", mengingat situasi Padang yang diliputi kekacauan selama PRRI. Belakangan, nama itu diubah untuk melepaskan embel-embel dengan TNI.

Bom meledak pada 11 November 1976. Meski tidak memakan korban jiwa, ledakan menyebabkan kerusakan interior pada masjid, termasuk loteng yang rusak dan jendela kaca pecah. Nyaris 30 tahun sesudah itu, tak ada pengembangan berarti pada Masjid Nurul Iman.

Begitulah akhirnya, era kepemimpinan Zainal Bakar, gagasan membangun masjid raya tak mengapung. Hhitung-hitungan kasar suda jelas: anggaran untuk merenovasi masjid lama tentu tidak sebanyak jika merencanakan masjid baru.

Namun, karena minimnya dana, pembangunan berjalan lamban bahkan sempat terbengkalai. Ketika pembangunan hampir tuntas, sebuah bom meledak di dalam masjid pada 1976.[3]

Mengingat kondisi bangunan yang sudah tidak layak akibat sejumlah kerusakan, masjid ini mulai dibongkar sejak 2004. Pembangunan kembali Masjid Nurul Iman rampung pada 2007. Namun, akibat gempa bumi di Sumatera Barat pada 2009, Masjid Nurul Iman kembali mengalami kerusakan. Sejak 2016, masjid ini menyandang nama Masjid Agung Nurul Iman.

Pembangunan


Penampakan Masjid Nurul Iman sebelum dibongkar

Pembangunan Masjid Nurul Iman dimulai pada 26 September 1958, ketika Gubernur Sumatera Barat dijabat oleh Kaharudin Datuk Rangkayo Basa. Rencana semula, masjid akan diberi nama Nurul Aman yang dimaksudkan sebagai "lambang keamanan", mengingat situasi Padang yang diliputi kekacauan selama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Inisiatif pembangunan datang dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai bentuk permintaan maaf atas operasi penumpasan PRRI yang mereka lakukan.[4][5][6]


Masjid dibangun di atas lahan berukuran 150 x 100 meter di dekat Lapangan Imam Bonjol, kawasan yang lahannya dikenal "mahal" dan "dikuasai oleh tentara".[4] Dana awal pembangunan terutama berasal dari sumbangan Komando Daerah Militer III/17 Agustus dan Kementerian Agama RI. Pengerjaan pondasi bangunan tuntas pada 1960. Pada 1962, masjid sudah difungsikan untuk Salat Jumat di tengah kondisi bangunan yang belum rampung.[5]


Selama tahun-tahun berikutnya, pembangunan Masjid Nurul Aman terbengkalai karena kendala dana. Warga enggan menyumbang sehubungan dengan ingatan mereka terhadap operasi militer yang dilancarkan oleh TNI saat memadamkan pergolakan PRRI.[2] Gubernur Kaharuddin sempat membentuk yayasan berbadan hukum untuk kelanjutan pembangunan masjid, tetapi tidak menunjukkan hasil berarti. Akibatnya, pada 7 Juli 1965, panitia pembangunan yang diketuai oleh Boer Yusuf melayangkan surat permohonan bantuan dana ke pemerintah pusat.[5]


Setelah sempat terbengkalai, pembangunan dapat dilanjutkan kembali pada masa Orde Baru berkat bantuan pemerintah pusat.[2] Pada 10 Maret 1966, Gubernur Suputro Brotodihardjo mengeluarkan SK tentang penggantian nama masjid menjadi Nurul Iman. Pada 1968, beberapa ruang di lantai pertama masjid sudah dimanfaatkan oleh IAIN Imam Bonjol sebagai kantor rektor, perpustakaan, dan ruang kuliah.[5] Pada 1976, pembangunan sudah mendekati fase penyelesaian.


Pada April 1977, pemakaian Masjid Nurul Iman diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Saat itu, bangunannya terdiri dari dua lantai dengan luas masing-masing 2.700 m² dan 1.350 m². Total dana yang sudah digunakan untuk pembangunan sekitar Rp300 juta, termasuk bantuan dari TNI dan infak dari jemaah. Dari jumlah itu, Presiden Soeharto menyumbang sebanyak Rp32,5 juta.[7][8] Soeharto selalu singgah ke Masjid Nurul Iman setiap berkunjung ke Sumatera Barat sehingga membuat masjid ini mendapat julukan Masjid Presiden.[4]


tiga besar sekaligus bersejarah, yakni Masjid Raya Ganting di sisi timur, Masjid Nurul Iman yang berada

Gamawan Fauzi mengalami betul susahnya mencarikan masjid yang layak untuk menyambut pimpinan negara dan tamu negara. Hal itu tentu kontras dengan gaung Sumatera Barat yang terkenal dengan semboayan ABS-SBK.

Meski menggulirkan gagasannya secara resmi saat menjadi gubernur, Gamawan Fauzi sudah merasakan betul adanya kebutuhan akan masjid raya jauh sebelumnya.

Pertanyaan dan suara-suara tentang itu diwujudkan Gamawan Fauzi begitu ia mulai dilantik menjadi Gubernur Sumatera Barat pada 15 Agustus 2005


Keresahan demikian barangkali telah dirasakan banyak pihak, tetapi tidak pernah begitu dipikirkan. Sampai akhirnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla saat melakukan kunjungan ke Padang dan salat Jumat di Masjid Nurul Iman berceletuk, “Mana masjid raya Sumbar?”

“Sumbar iniABS-SBK, tetapu masjid rayanya sebesar ini?’, kata JK sembari tertawa ditirukan Gamawan Fauzi.

Selain kondisi itu, Gamawan juga menilai Sumbar perlu memiliki landmark baru yang mencerminkan Keminangkabauan. Setiap membahas Sumbar, landmark yang muncul selalu Jam Gadang di Bukittinggi. Padahal, Bukittinggi bukan ibu kota Sumbar dan Jam Gadang juga tidak banyak kaitannya dengan simbol Minangkabau, kecuali atap gonjongnya.


Gagasan pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat bergulir sejak 2005. Padang selaku ibu kota provinsi dianggap tidak memiliki masjid yang representatif untuk menampung jemaah dalam jumlah banyak. Awalnya, Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar memutuskan cukup melakukan renovasi terhadap Masjid Nurul Iman karena pembangunan sebuah masjid baru akan banyak menghabiskan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).[1] Gubernur berikutnya, Gamawan Fauzi menganggap keberadaan masjid yang representatif penting untuk dijadikan tempat berbagai kegiatan keagamaan.[2]

Pada Januari 2006, berlangsung pertemuan bilateral antara Indonesia dan Malaysia yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi di Bukittinggi. Salah satu rangkaian pertemuan bertepatan dengan hari Jumat. Meski di Padang terdapat beberapa masjid besar, panitia acara tidak melihat ada "masjid yang tepat" bagi kedua kepala negara untuk melaksanakan salat Jumat, sehingga lokasi yang dipilih adalah Masjid Agung Tangah Sawah di Bukittinggi.[3][4][5]

Berkaca dari peristiwa di Bukittinggi, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat memutuskan untuk mematangkan rencana pembangunan masjid. Sewaktu pemilihan lokasi, sempat muncul usulan agar masjid baru dibangun di lokasi Kantor Gubernur di Jalan Sudirman. Namun, karena alasan nilai historis gedung tersebut, disepakatilah lokasi di Jalan Chatib Sulaiman, menempati area seluas 40.343 meter persegi. Area ini merupakan lokasi Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Padang, yang nantinya dipindahkan ke lokasi baru di Lubuk Minturun.[5][6][7]

Bab 4 – Memilih Lokasi dan Arsitektur Masjid Raya

Sayembara

Setelah pemilihan lokasi, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menggelar sayembara membuat rancangan masjid. Sayembara diikuti oleh 323 peserta dari berbagai negara. Sebanyak 71 desain masuk dan selanjutnya diseleksi oleh dewan juri yang di antaranya terdiri dari sastrawan Wisran Hadi, arsitek Eko Alvares, dan ulama Syamsul Bahri Khatib. Pemenang utama sayembara diumumkan pada September 2006 dan mendapatkan hadiah Rp150 juta dari total hadiah Rp300 juta.[5][6][7] Hasil sayembara dimenangkan oleh tim yang diketuai arsitek Rizal Muslimin[8] beranggotakan Muh. Yuliansyah, Ropik Adnan, dan Irvan P. Darwis.[9] Rancangannya berupa bangunan persegi yang alih-alih berkubah tapi justru membentuk gonjong.[10]

Rizal adalah arsitek dari kantor konsultan arsitektur Urbane yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat.[11] Desain hasil rancangannya terinspirasi dari bentuk gonjong rumah gadang dengan penyesuaian kebutuhan geometri ruang ibadah yang berdenah bujur sangkar. Secara personal, ia telah lama mengeksplorasi elemen-elemen arsitektur Minangkabau. “Kenapa saya bisa menghasilkan bentuk masjid yang bisa diterima banyak orang, karena saya sudah sejak lama suka pada arsitektur rumah gadang, tidak bisa dibikin-bikin. Dari hal yang disukai, akan muncul hal- hal yang baik, ...jadi elemen-elemen yang muncul dalam desain merupakan hal-hal yang sudah lama saya apresiasi.”[12]

Rancangan Masjid Raya Sumatera Barat hasil sayembara pernah menuai kritik, terutama disuarakan oleh DPRD Sumatera Barat. Ketua DPRD Leonardy Harmainy menyebut rancangan masjid tidak lazim lantaran tidak memiliki kubah. Polemik sekaitan kubah mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pembangunan.[6] Polemik baru mereda setelah terjadinya gempa bumi pada 13 September 2007. Di tengah beralihnya fokus publik pada gempa, Gubernur Gamawan Fauzi melakukan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat pada 21 Desember 2007.

Bab 5 – Setelah Batu Pertama Diletakkan

Dari 2008 hingga 2012, pengerjaan pembangunan masjid telah melewati empat tahap. Tahap pertama untuk menyelesaikan struktur bangunan menghabiskan waktu dua tahun sejak dimulai pada awal tahun 2008. Tahap kedua dilanjutkan dengan pengerjaan ruang salat dan tempat wudu pada 2010. Tahap ketiga selama tahun berikutnya meliputi pemasangan keramik lantai dan eksterior masjid. Tiga tahap pertama berjalan dengan mengandalkan akomodasi APBD Sumatera Barat sebesar Rp103,871 miliar, Rp15,288 miliar, dan Rp31 miliar.[13] Memasuki tahap keempat yang dimulai pada pertengahan 2012, pengerjaan menggunakan kontrak tahun jamak. Tahap keempat menggandalkan anggaran sebesar Rp25,5 miliar untuk menyelesaikan ramp, bidang miring yang terhubung ke jalan. Pekerjaan pembangunan sempat terhenti selama tahun 2013 karena ketiadaan anggaran dari provinsi.

Terkait keterbatasan pendanaan, alokasi APBD Sumatera Barat untuk pembangunan masjid semula direncanakan hanya sebagai dana stimulan. Pada awalnya, panitia pembangunan yang diketuai oleh Marlis Rahman sempat menghimpun sumbangan masyarakat untuk membantu pembangunan masjid, selain melakukan kerja sama dengan pihak swasta dan negara Timur Tengah. Namun, bantuan dari masyarakat dan perantau, termasuk donasi via nada sambung hanya berjalan untuk tahap pertama pembangunan.

Pada 2009, Kerajaan Arab Saudi telah mengirimkan bantuan untuk mendukung pembangunan masjid. Namun, bantuan dari Arab Saudi bernilai 50 juta dolar Amerika Serikat datang bersamaan dengan gempa bumi yang melanda Sumatera Barat sehingga pemerintah pusat melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengalihkan peruntukan bantuan untuk keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana.[13][14][15][16]

Peresmian perdana

Meski tidak rutin, Masjid Raya Sumbar telah mulai digunakan untuk ibadah sejak awal tahun 2012, terutama Salat Jumat dan Salat Ied. Masjid ini mulai menjadi tuan rumah kegiatan keagamaan tingkat provinsi seperti tablig akbar dan pertemuan lainnya. Gubernur Irwan Prayitno menjadikannya tempat kegiatan wirid rutin jajaran pegawai negeri sipil untuk memperkenalkan masjid.[17][18] Namun, frekuensi pemakaian masih terbatas karena belum rampungnya fasilitas listrik dan ketiadaan air bersih.[19]

Mengawali tahun 2014, Pemerintah Turki mengirimkan bantuan karpet permadani untuk mendukung penyelenggaran ibadah seiring kerja sama yang dibangun oleh pemerintah provinsi. Salat Jumat perdana menandai pembukaan Masjid Raya Sumatera Barat untuk salat rutin pada 7 Februari 2014. Masjid resmi dibuka untuk umum dengan frekuensi terbatas, karena belum rampungnya fasilitas listrik dan air bersih. Masjid Raya Sumatera Barat untuk kali petama digunakan sepanjang malam bulan Ramadhan.

Pada tahun 2014, pemerintah provinsi kembali menganggarkan dana Rp17,19 miliar untuk pembangunan tahap kelima, meliputi pengerjaan interior kubah. Selama pengerjaan, kegiatan ibadah diselenggarakan di lantai dasar. Penyelesaian ramp yang digunakan sebagai jalur evakuasi dikerjakan dengan memanfaatkan anggaran sebesar Rp14,5 miliar dari APBD provinsi pada tahun 2015.[20][21] Memasuki pertengahan 2016, penyelesaian fasad dan lantai atas masjid dilanjutkan dengan menggunakan alokasi dana Rp37,2 miliar dari pemerintah provinsi. Akibatnya, masjid ditutup untuk kegiatan ibadah sejak 19 September.[22][23] Sampai tahun 2016, ketujuh tahap pertama pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat telah menghabiskan anggaran Rp240,751 miliar.[24]

Penyelesaian

Pada 2016, pemerintah Sumatera Barat mendapat bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum RI sebesar Rp10,1 miliar yang digunakan untuk pembangunan pekarangan.[25][26] Pada tahap kedelapan, kelanjutan pembangunan dibiayai melalui penerimaan dana bantuan keuangan khusus dari dua provinsi yakni Jawa Barat dan Papua dengan total sebesar Rp12,5 miliar.[24] Anggaran bersumber dari pemerintah provinsi Papua sebesar Rp5 miliar dan Jawa Barat sebesar Rp7,5 miliar. Bantuan tersebut digunakan untuk penyelesaian lantai dasar masjid[27] yang akan dijadikan ruangan pertemuan, ruang penjagaan, pustaka, instansi listrik, dan lain-lain.[28]

Penyelesaian mihrab pada lantai atas dan area parkir menurut rencana akan didanai dari APBD Sumatera Barat 2017.[29] Setelah penetapan APBD 2017, Masjid Raya Su­matra Barat kembali mendapat penambahan anggaran sebesar Rp19,5 miliar untuk pembangunan satu menara, berubah dari rancangan awal sebanyak empat menara. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum RI kembali memberi tambahan dana untuk penyelesaian taman dan area parkir masjid sebesar Rp30,3 miliar.[26][30][31][32][33]

Pada 2018, pemerintah daerah memberikan perpanjangan waktu kepada kontraktor untuk menyelesaikan menara karena molor dari target yang ditetapkan. Pembangunan menara sampai pada 31 Desember 2017 memakan biaya Rp14,4 miliar,[34] sementara sisa biaya sebesar Rp5,1 miliar dianggarkan kembali pada APBD 2018 yang digabungkan dengan biaya penyelesaian interior masjid dan menara. Biaya penyelesaian pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat yang dianggarkan pada APBD 2018 yakni sebesar Rp11,4 miliar.[35][36] Adapun dari pemerintah pusat, terdapat tambahan dana untuk pembangunan pagar yang belum selesai.[37][38]

Selama pengerjaan interior, kegiatan ibadah dipindahkan ke lantai dasar, terhitung sejak 16 Juli 2018.[39] Pada awal tahun 2019, lantai atas masjid kembali dibuka untuk umum yang ditandai dengan salat Jumat perdana pada 4 Januari 2019. Pembukaan ini sekaligus menandai tuntasnya pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat.[40]

Arsitektur

Masjid Raya Sumatera Barat menampilkan arsitektur modern yang tak identik dengan kubah. Menurut sejarawan UIN Imam Bonjol Padang Sudarman, masjid ini sangat mengakomodasi arsitektur lokal, terutama gonjong dan ragam hias rumah gadang.[41]

Meskipun demikian, bentuk atap masjid terinspirasi dari bentangan kain sorban Nabi Muhammad yang digunakan untuk mengusung batu Hajar Aswad. Ketika empat kabilah suku Quraisy di Mekkah berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak memindahkan batu Hajar Aswad ke tempat semula setelah renovasi Ka'bah, Nabi Muhammad memutuskan meletakkan batu Hajar Aswad di atas selembar kain sehingga dapat diusung bersama oleh perwakilan dari setiap kabilah dengan memegang masing-masing sudut kain.[1]

Bangunan utama Masjid Raya Sumatera Barat memiliki denah dasar seluas 4.430 meter persegi. Konstruksi bangunan dirancang menyikapi kondisi geografis Sumatera Barat yang beberapa kali diguncang gempa berkekuatan besar. Masjid ini ditopang oleh 631 tiang pancang dengan fondasi poer berdiameter 1,7 meter pada kedalaman 7,7 meter. Dengan kondisi topografi yang masih dalam keadaan rawa, kedalaman setiap fondasi tidak dipatok karena menyesuaikan titik jenuh tanah tanah.[rujuakan?]

Ruang utama yang dipergunakan sebagai tempat salat terletak di lantai atas berupa ruang lepas. Lantai atas dengan elevasi tujuh meter terhubung ke permukaan jalan melalui ramp atau bidang miring. Dengan luas 4.430 meter persegi, lantai atas diperkirakan dapat menampung 5.000–6.000 jemaah. Adapun lantai dua berupa mezanin berbentuk leter U memiliki luas 1.832 meter persegi.[rujuakan?]

Konstruksi rangka atap menggunakan pipa baja. Gaya vertikal beban atap didistribusikan oleh empat kolom beton miring setinggi 47 meter dan dua kolom busur bersilang yang mempertemukan kolom beton miring secara diagonal. Setiap kolom miring ditancapkan ke dalam tanah dengan kedalaman 21 meter, memiliki fondasi tiang bor sebanyak 24 titik dengan diameter 80 centimeter. Pekerjaan kolom miring melewati 13 tahap pengecoran selama 108 hari dengan memperhatikan titik koordinat yang tepat.[42]

Masjid Raya Sumatera Barat membutuhkan biaya yang besar untuk perawatan dan operasional, meliputi mekanikal, perawatan kontruksi, dan petugas, dengan total kebutuhan dana Rp4,2 miliar per tahun.[40]

Penghargaan

  • Penghargaan Abdullatif Al Fozan untuk Arsitektur Masjid periode 2017–2020.[43][44]

Referensi

  1. a b https://dpkd.sumbarprov.go.id/berita/read/291-filosofi-gonjong-masjid-raya-sumbar.html
  2. https://kemenag.go.id/read/sumbar-segera-punya-masjid-agung-gvpk
  3. "Megahnya Masjid Raya Sumbar". Republika Online. 2019-05-25. Diakses tanggal 2019-12-21. 
  4. https://sumbar.antaranews.com/berita/268725/masjid-raya-sumbar-perpaduan-nilai-islam-dan-adat-minangkabau
  5. a b c Yusfita, Rizka Desri. "Kisah Masjid Raya Sumbar Tanpa Kubah, Jadi Perdebatan Alot hingga Campur Tangan Ridwan Kamil". Tribunnews.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2019-12-21. 
  6. a b c Yusra, Abrar (2006). Wartawan Berintegritas Bung Nasrul Siddik. Teras. pp. 291-294. 
  7. a b "Tiga Hari Di Bukittinggi, SBY Ceria". detikcom (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-21. 
  8. "Cerita Rizal Muslimin Merancang Desain Masjid Raya Sumbar". Suluah.com (dalam bahasa Indonesia). 2021-12-30. Diakses tanggal 2022-02-02. 
  9. http://www.urbane.co.id/project/masjid-raya-sumatera-barat/
  10. Ghosh, Mainak (2020-01-24) (dalam bahaso en). Perception, Design and Ecology of the Built Environment: A Focus on the Global South. Springer Nature. ISBN 978-3-030-25879-5. https://books.google.com/books?id=hyTMDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA394&dq=%22Masjid+RAYA%22+%22GAMAWAN+FAUZI%22&hl=en. 
  11. https://www.jawapos.com/jpg-today/21/02/2019/kebanggaan-ridwan-kamil-dengan-masjid-rawa-sumbar/
  12. https://digilib.itb.ac.id/index.php/gdl/view/34205/
  13. a b http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/3843/
  14. "DPRD Akan Panggil BNPB terkait 500 M Dana Hibah Arab Saudi"[pautan nonaktif salamonyo]. 2 Agustus 2010.
  15. "Rp 400 M Bantuan Gempa Arab Saudi Peruntukannya Ditentukan Bappenas". Republika. 12 Juni 2010.
  16. "Arab Saudi akan Bantu Korban Gempa 50 Juta Dolar". Republika. 7 Oktober 2009.
  17. "Masjid Raya Sumbar Alternatif Tempat Shalat Id". ANTARA. 14 Agustus 2012. Diakses tanggal 21 Desember 2014. 
  18. "Melihat Efektivitas Pengajian di Masjid Raya Sumbar". Harian Haluan. 21 Maret 2012. Diakses tanggal 21 Desember 2014. 
  19. "Pembangunan Masjid Raya Sumbar Dikebut". Padang Ekspres. 16 Juli 2012. Diakses tanggal 21 Desember 2014. 
  20. "Butuh Rp148 Miliar untuk Penyelesaian Masjid Raya Sumbar" Archived 2016-10-11 di Wayback Machine.. Harian Haluan.
  21. Pembangunan Mesjid Raya Sumatera Barat Archived 2016-11-30 di Wayback Machine..
  22. "Bangunan Mesjid Raya Sumbar Unik dan Tinggi Nilai Seni, Pengerjaan Butuh Ketelitian".
  23. Belanja Modal Pengadaan Bangunan Sarana Peribadahan (Pembangunan Mesjid Raya Tahap VII) Archived 2016-12-01 di Wayback Machine..
  24. a b Agus Yulianto. "Pembangunan Masjid Raya Sumbar Habiskan Dana Rp 253,251 Miliar". Republika. 17 November 2016.
  25. "Pembangunan Masjid Raya Sumbar Dilanjutkan". 4 Juni 2016. Harian Haluan.
  26. a b Malik, Dusep (2018-05-01). "Mengintip Indahnya Kubah Masjid Raya Sumatera Barat". VIVA.co.id (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2019-01-04. 
  27. Biaya Finishing Lantai Dasar - Kegiatan Finishing Lantai Dasar Mesjid Raya Sumatera Barat.
  28. Yudha Manggala P. Putra. "Masjid Raya Sumbar Bisa Digunakan Kembali Januari". '"Republika. 7 December 2016.
  29. "Berubah, Menara Masjid Raya Sumbar Hanya akan Dibangun Satu Saja" Archived 2016-12-01 di Wayback Machine..
  30. "Rp19 Miliar untuk Menara Masjid Raya". Harian Haluan. 20 Desember 2016.
  31. "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-04. Diakses tanggal 2019-01-04. 
  32. "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-04. Diakses tanggal 2019-01-04. 
  33. http://ciptakarya.pu.go.id/dok/produk/profil/pdf/1569379571-Profil%20Infrastruktur%20Permukiman%20Provinsi%20Sumatera%20Barat%20TA%202018-2019.pdf
  34. Pekerjaan Tak Rampung, Kontraktor Menara Masjid Raya Sumbar Dikenai Didenda. 12 Januari 2018. Harian Singgalang.
  35. Nugroho, Joko. "Legislator: menara masjid raya Sumbar harus selesai sesuai jadwal". ANTARA News. Diakses tanggal 5 Februari 2018. 
  36. http://lpse.sumbarprov.go.id/eproc4/lelang/11953016/pengumumanlelang
  37. "Presiden Sholat Jumat di Masjid Raya Sumbar". 9 Februari 2018. ANTARA.
  38. "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-04. Diakses tanggal 2019-01-04. 
  39. "LPSE Provinsi Sumatera Barat: Informasi Lelang". LPSE Sumatera Barat. Diakses tanggal 2 Februari 2018. 
  40. a b "Pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat Tuntas". Portal Berita Singgalang (dalam bahasa Indonesia). 2019-01-04. Diakses tanggal 2019-01-04. 
  41. Sastra, Yola (2021-05-06). "Masjid Raya Sumbar, Simbol Berpadunya Adat dan Syarak". Kompas.id. Diakses tanggal 2021-05-06. 
  42. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (5 Maret 2009). "Dana Pembangunan Masjid Raya Sumbar Tahap II Rp150 M". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-26. Diakses tanggal 21 Desember 2014. 
  43. "H.H.,Governor of Madinah, sponsors the closing ceremony of the 3rd round of Abdullatif al Fozan Award for mosque architecture". Zawya. 20 Desember 2021. Diakses tanggal 22 Desember 2021. 
  44. Mustika, Syanti (21 Desember 2021). "Alhamdulliah, Masjid Kebanggaan 'Urang Awak' Masuk Desain Terbaik Dunia". detikcom. Diakses tanggal 22 Desember 2021.