Lompat ke isi

Pangguno:Rahmatdenas/Masjid Raya

Wikipedia Minangkabau - Lubuak aka tapian ilimu

Bab 3 – Gagasan Filosofis[suntiang | suntiang sumber]

Gagasan pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat bergulir pada masa kepemimpinan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi pada tahun 2005. Gagasan itu bukan semata soal membangun masjid yang representatif untuk skala provinsi secara fisik, tapi berkelindan dengan program-program pengembangan sumber daya manusia, kaderisasi ulama, dan pusat kegiatan keagamaan.

Pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat merupakan salah satu kebijakan strategis pemerintah provinsi dalam rangka mengimplementasikan agenda peningkatan kualitas kehidupan beragama dan sosial budaya di tengah-tengah masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas beragama Islam, sebagamana tertuang dalam visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sumatera Barat 2005–2025 Nomor 7 Tahun 2008 tanggal 22 Juli 2008.

Dalam RPJPD tersebut, ada limamisi dengan dua misi yang terkait yaitu: Mewujudkan Kehidupan Agama dan Budaya Berdasarkan Filosofi ABSSBK dan Mewujudkan Sumber Daya Insani Yang Berkualitas, Amanah dan Berdaya Saing Tinggi.

Sejalan dengan RPJPD, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sumatera Barat tahun 2006 –2008  Nomor 4 tahun 2007 tanggal 26 April 2007 memuat tujuh agenda dengan dua di antaranya yang terkait, yakni Meningkatkan Kualitas Kehidupan Beragama dan Sosial Budaya serta Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas.

Secara sepsifik, Gubernur Gamawan Fauzi menetapkan enam arah kebijakan di bidang kehidupan bergama, yakni (1) memberikan ruang gerak yang luas terhadap hasrat umat beragama untuk mengamalkan ajaran agama dengan mempertimbangkan lingkungan sosial budaya masyarakat; (2) menyediakan dukungan bagi peningkatan pemahaman dan pengamalan ajaran agama serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan keagamaan; (3) mengembangkan upaya-upaya persuasif dan dialogis dalam menjembatani perbedaan baik dalam satu agama maupun antar agama;

Selanjutnya, (4) mengembangkan toleransi antarpaham keagamaan yang dapat menciptakan kebersatuan dan kebersamaan umat yang harmonis, dan dapat mengembalikannya kepada pemahaman agama yang standar dan universal yaitu Al-Qur’an dan hadis; (5) mengarahkan pembangunan keagamaan secara berimbang antara orientasi pembangunan fisik dengan orientasi pencerdasan dan perbaikan kualitas dan kapasitas manusia melalui penguatan fungsi pusat ibadah yang komprehensif; dan (6) melakukan pengkajian dan mengembangkan produk hukum daerah untuk  peningkatan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.

"Kehadiran masjid yang dibangun dengan desain khas Minangkabau diharapkan akan dapat menjadi simbul pemersatu kita bersama dan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Sumatera Barat baik yang berdomisili di kampung halaman maupun yang berada di perantauan," petikan pidato Gubernur Gamawan Fauzi.

Gagasan Masjid Raya Sumatera Barat tidak lahir seketika, melainkan akumulasi refleksi pengalaman dan perjalanan Gubernur Gamawan terhadap kondisi sosial masyarakat, berinteraksi dengan komunitas Minangkabau di perantauan, dan mendengar pendapat ulama.

Sewaktu menjabat Bupati Solok, Gamawan kerap memenuhi undangan berbagai daerah baik dalam maupun luar Sumatera Barat untuk bicara mengenai upaya menghadirkan good governance dan clean governance. Saat itu, namanya bersinar di nasional karena keberhasilannya melakukan perbaikan birokrasi dan tata kelola pemerintahan dengan sejumlah inovasi.

Dalam tiap kesempatan kunjungan, Gamawan berinteraksi dengan komunitas-komintas Minang di perantauan. Mendengar kritik dan masukan untuk pembangunan daerah. Salah satu keluhan yang kerap terdengar adalah mengenai kualitas SDM Sumatera Barat dan kelangkaan ulama.

Gamawan berusaha menjawab persoalan yang dikeluhkan masyarakat mulai dari kapasitasnya selaku Bupati Solok. "Saya tidak terlalu menanggapi. Yang harus kita lakukan bagaimana menjawab persoalan. Orang kan suka menjawab, saya sudah mengerjakan ini, mengerjakan itu. Saya tidak. Saya buat program saja secara konkrit," tuturnya.

Pada 2002, Solok menjadi daerah pertama yang mencanagkan aturan imbauan berpakaian Muslim bagi pegawai negeri dan pelajar lewat Peraturan Daerah No. 6 tahun 2002. Aturan tersebut merupakan aspirasi tokoh masyarakat baik pemuka agama maupun adat karena khawatir dengan degradasi moral. Penerapannya melalui uji coba terlebih dahulu selama dua tahun lewat Surat Edaran. Setelah itu, barulah ditingkatkan status hukumnya.

Program demi program yang dicanangkan Gamawan muncul sebagai masukan dari ulama. Ia rutin duduk dengan ulama setiap Kamis malam. Ketua MUI Sumatera Barat saat ini, Gusrizal Gazahar yang saat itu merupakan pengurus MUI Solok ingat betul pertemuan itu berlangsung di rumah dinas buapti. Kajian dibentangkan sampai dini hari. Kalau tidak selesai, disambung lagi dengan diskusi sampai Subuh esoknya. Pindah tempat dari rumah bupati ke Radio Solinda di Batu Batupang.

Pada pengujung masa jabatannya, ia mencangkan sebuah perkampungan Islami yang berbasis agama, adat, dan budaya. Tempatnya sudah direncanakan di lahan seluas 500 hektare dekat Jembatan Timbang Lubuk Selasih. Sayang, konsep perkampungan Islami belum berhasil diwujudkan karena saat perencanaan dirampungkan, jabatan Gamawan sudah sampai di ujung masa jabatan.

Latar belakang keluarga juga membentuk sikap hidup Gamawan yang dekat dengan agama dan ulama. Ayahnya lulusan Thawalib Parabek, sementara ibunya lulusan Thawalib Padang Panjang. Mereka mengajarkan agama secara keras, mulai dari pelaksanaan ibadah maupun nilai-nilai agama.

Ulama sejatinya merupakan jangkar persatuan yang menghimpun perbedaan menjadi potensi untuk kemajuan masyarakat. Masyarakat membutuhkan kehadiran ulama yang mampu memberikan pencerahan dan jalan keluar atas persoalan sesuai situasi dan kondisi.

Masjid Raya Sumatera Barat disiapkan dengan berbagai fasilitas penunjang sehingga diharapkan menjadi kompleks pusat keagamaan atau Islamic Center. Sarana dan prasarana tersebut berupa pelatihan dan pendidikan yang muaranya menyiapkan dai-dai yang dapat berperan sebagai penyejuk dan penuntun masyarakat. Masjid Raya Sumatera Barat diharapkan menjadi simpul berbagai aktivitas keagamaan, seperti pengajian, ceramah, diskusi agama, serta kegiatan sosial dan kemanusiaan.

Intinya diarahkan penekanan latar belakang filosofis membangun Masjid Raya Sumbar untuk menjawab tiga hal:

Pengembangan SDM Sumatera Barat[suntiang | suntiang sumber]

Pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Kenyataan menunjukkan bahwa ada negara-negara yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi pembangunannya kurang berhasil, karena sumber daya manusianya kurang berkualitas. Sebaliknya, ada negara-negara yang miskin sumber daya alam, tetapi berhasil menjadi negara industri maju, karena sumber daya manusianya berkualitas.

Sebaliknya, redahnya kualitas SDM akan menyebabkan rentetan masalah. Potensi yang ada tidak tergaram secara optimal. Padahal, jika potensi tersebut diptimalkan, masyarakat akan sejahtera. Tingkat kesejahteraan bukan dipengaruhi oleh ketersediaan potensi, tetapi seberapa jauh potensi yang ada bisa dimanfaatkan. Semakin optimal pemanfataan potensi yang ada, akan semakin besar peluang untuk mencapai kesejahteraan yang diinginkan. Sebaliknya, potensi yang begitu besar tidak akan mampu menghadirkan kesejahteraan jika dibiarkan begitu saja.

Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah dengan memajukan pendidikan. Sejarah membuktikan keunggulan pendidikan di Sumatera Barat telah melahirkan para pemikir dan praktisi yang berkontribusi signifikan dalam berbagai bidang kehidupan bangsa. Daerah ini terkenal memiliki tradisi pendidikan yang kuat, terutama sistem pendidikan Islam. Jauh sebelum suku bangsa lain di Indonesia mengenal pendidikan, orang Minang sudah mengembangkan sistem pendidikan Islam di surau-surau dan madrasah yang mereka bangun sendiri. Lembaga-lembaga itu melahirkan banyak ulama dan intelektual Islam yang berpengaruh.

Pada masa Hindia Belanda, orang Minang memperoleh kemajuan mereka karena mereka memanfaatkan dengan baik keberadaan sistem pendidikan yang dikenalkan oleh Belanda. Mereka tidak hanya memasukkan anak-anaknya ke sana, tetapi dengan swadaya sendiri membangun banyak sekali sekolah dengan mengadaptasi model sekolah ala Barat itu.

Pada pertengahan abad ke-19, jumlah sekolah di Minangkabau berkembang dengan pesat. Pada awal abad ke-20, untuk wilayah dengan penduduknya yang tidak terlalu banyak, jumlah sekolah di seluruh Minangkabau sudah mencapai separuh jumlah sekolah yang ada di seluruh Pulau Jawa dan Madura. Laporan pada tahun 1925 menyebutkan, jumlah semua sekolah yang terdapat di Minangkabau sudah dua kali lipat jumlah sekolah yang ada di seluruh Jawa dan Madura.

Tak cukup sampai menimba ilmu di tanah kelahiran, orang Miang berkelana ke berbagai tempat di mana memungkinkan mendapatkan ilmu dan beroleh kemajuan. Kalau sudah tidak ada lagi sekolah yang lebih tinggi di daerahnya, mereka kirim anak-anaknya sekolah ke Pulau Jawa, bahkan ke Negeri Belanda. "Tak ada rantau yang terlalu jauh bagi mereka, tidak juga rantau Mekkah ataupun Kairo," demikian tulis Hasril Chaniago dalam pengantar Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang.

Kemajuan pendidikan di Sumatera Barat terbukti dengan munculnya banyak tokoh-tokoh nasional di berbagai bidang seperti menjadi ulama, politisi pengusaha, cendikiawan, dan ilmuwan. Orang Minangkabau dengan jumlah populasi yang cukup kecil sekian persen bisa berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa. Sumbangan mereka tidak lepas dari pendidikan yang mereka timba.

Pengaruh orang-orang besar dari Sumatera Barat turut membangun citra pendidikan berkualitas di Sumatera Barat. Kota Padang yang merupakan ibu kota provinsi juga dikenal sebagai kota pendidikan. Orang-orang dari luar pun banyak yang tertarik belajar di lembaga pendidikan pesantren mau pun perguruan tinggi di Sumatera Barat. Tidak hanya orang dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dari negara jiran seperti Malaysia banyak  yang tertarik dan menuntut ilmu ke lembaga pendidikan di Sumatera Barat.

Bung Karno pernah berucap agar berpikir seperti orang Minang, berbicara seperti orang Batak, dan bekerja seperti orang Jawa. Ungkapan ini menjadi bukti sumber daya manusia Minang yang unggul dalam kemampuan berpkirnya. Kemampuan ini juga yang melahirkan tokoh-tokoh nasional semacam Hatta, Tan Malaka, M. Yamin, M Natsir dan lainnya. Mereka menjadi tokoh pelopor kemajuan bangsa. Peran para tokoh dan gagasannya dalam mewarnai perjalanan bangsa menjadi penanda majunya SDM Sumatera Barat di zaman awal berdiri bangsa.

Pada zaman dulu, pemuda laki-laki Minang tidak tinggal di rumah, tapi di surau. Rumah hanya sekedar tempat makan dan cuci baju, sementara berbagai aktivitas lainnya hingga tidur di surau. Di surau mereka belajar tentang agama dan silat. Kebiasaan ini membentuk pemuda Minang cerdas, tahu dengan agama, bisa bela diri dan menjadi pribadi yang berkualitas. Laki-laki Minang yang memiliki budaya merantau juga membuat mereka memiliki kemampuan bertahan hidup dalam berbagai keadaan.

Sayangnya kemajuan orang-orang Sumatera Barat di masa lalu tidak lagi tampak lagi saat ini. Fenomena SDM mulai banyak dibicarakan. Pembangunan mulai terasa tertinggal dalam berbagai bidang dari daerah lain di Indonesia. Mundurnya kualitas orang Minangkabau membuat potensi di daerah tidak dapat digarap secara maksimal. Jika dulu banyak orang luar belajar ke sekolah dan pesantren di Sumatera Barat, kini malah sebaliknya. Putra-putri Minang kini banyak yang belajar di sekolah dan pesantren di pulau Jawa.

Di era belakangan, gaung tokoh asal Minangkabau tidak lagi seperti sebelumnya. Ranah Minang tidak menjadi rujukan karena memudarnya tokoh yang muncul. Ragam faktor menjadi penyebab kemajuan tidak pesat seperti dulu lagi. Salah satu penyebab utama karena memudarnya penerapan agama dan adat dalam kehidupan orang Minang. Orang Minang tidak sepenuhnya lagi menerapkan prinsip hidup "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah".

Pada zaman sekarang, pemuda-pemuda Minang tidak ada lagi berkumpul di surau. Pemuda lebih sibuk menghabiskan waktu duduk menonton televisi di rumah atau bermain bersama teman-temannya di luar. Kondisi ini sangat kontras dengan kehidupan pemuda di masa lalu. Orang tua juga tidak mewariskan kebiasaan dulu kepada anak-anaknya. Pola hidup belajar di surau seperti semakin asing, sehingga kondisi ini membuat sulit munculnya ulama-ulama dari Minangkabau.

Hal itu ia terapkan pada jajaran yang ia pimpin di Solok. Ia mendorong agar para pejabat tak hanya berpikir sebatas menyelesaikan tugas, tetapi bagaimana melahirkan inovasi sehingga menjadi contoh bagi daerah lain.

"Saya dicari-cari di Solok. Solok itu ramailah oleh pejabat dari berbagai daerah. Ada bupati di Jawa Tengah, berkata belum boleh dilantik oleh gubernu katanya sebelum ke Solok. Sudah itu NTB, gubernur menyarankan DPRD pergi ke Solok. Sekali rombongan datang, bisa 60 orang. Pada 2004, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2003–2007 Taufiequrachman Ruki ke Solok membawa semua Irjen Kementerian," ujar Gamawan.

Masalah: pendidikan dan SDM Sumatera Barat

Solusi: Mengembalikan keunggulan pendidikan dan SDM Sumetara Barat berbasis agama dan adat

Tinjauan sejarah: Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu daerah yang masyarakatnya yag menghargai pendidikan

Kaderisasi Ulama[suntiang | suntiang sumber]

Ulama secara sederhana berarti orang yang mengetahui atau orang yang memiliki ilmu. Tidak ada pembatasan ilmu secara spesifik, agama ataupun umum. Dalam praktik di lapangan hari ini, makna ulama mengalami penyempitan seiring perkembangan ilmu-ilmu keislaman, khususnya syariah dan fikih. Ditambah syarat khusus berupa pengakuan dari komunitasnya sendiri. Jadi, seseorang baru disebut ulama ketika dia memiliki keahlian dan kedalaman ilmu keislaman, punya integritas moral dan akhlak, dan mendapat pengakuan.

Pembahasan mengenai peran ulama tidak bisa dilepaskan dari konteks agama dan umat Islam. Kehadiran seorang ulama sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah umat, baik dalam ranah politik, kekuasaan, pemerintahan, sosial, budaya, pendidikan, maupun berbagai permasalahan lainnya. Ulama memiliki peran penting dalam pembentukan masyarakat Muslim dan pelestarian ajaran Islam. Masyarakat memiliki harapan besar untuk menjadi komunitas Muslim yang taat dalam menjalankan ajaran Islam sebagai wujud hubungan dengan Sang Khalik.

Selain itu, masyarakat berharap bisa berinteraksi sosial dengan baik, yang merupakan refleksi hubungan dengan sesama makhluk. Oleh karena itu, ulama dianggap sangat penting dan diharapkan berperan aktif dalam semua aspek kehidupan umat. Seorang ulama tidak hanya diharapkan menguasai dan memahami ajaran agama, tetapi juga harus menjadi penggerak, motivator, dan dinamisator yang mendorong perkembangan dan pembangunan umat. Seorang ulama harus memiliki komponen keulamaan yang tercermin dalam integritas, kualitas keilmuan, serta kepercayaan masyarakat terhadap kesalehan moral dan tanggung jawab sosialnya. Gelar ulama yang disandang seseorang belum sepenuhnya bermakna jika tidak diwujudkan dalam sifat dan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh seorang ulama.

Dalam sebuah jurnal berjudul Pesantren: Kaderisasi Ulama dan Regenerasi Umat (Subri Hasan,2010) menjelaskan tentang besarnya peran ulama dalam mengajarkan Islam kepada ummat. Sayyid Qutb memperkuat pandangan ini dengan menyatakan bahwa seorang ulama adalah "seseorang yang mempelajari, memahami, dan mengamalkan isi Al-Qur'an." Ini menunjukkan bahwa ulama tidak hanya berperan dalam menyampaikan ajaran agama, tetapi juga dalam menerapkan dan menghidupkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih dalam lagi, ulama memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan menyebarkan ilmu pengetahuan agama, menjadi teladan moral, serta menjadi pemimpin dalam komunitas mereka. Mereka diharapkan untuk memberikan solusi dan bimbingan dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, baik dalam aspek spiritual maupun sosial. Dalam konteks modern, ulama juga harus mampu menjembatani antara tradisi Islam dan tuntutan kemajuan zaman, memastikan bahwa ajaran Islam tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan kontemporer.

Dengan demikian, ulama bukan hanya pemimpin agama, tetapi juga agen perubahan sosial yang mampu menginspirasi dan membimbing umat menuju kehidupan yang lebih baik, selaras dengan nilai-nilai Islam. Peran mereka sangat krusial dalam membentuk karakter dan moral masyarakat, serta dalam memelihara dan mengembangkan warisan keilmuan Islam.

Pada saat zaman yang semakin berkembang ini, jumlah ulama mengalami penurunan yang signifikan, dan masyarakat Muslim menghadapi kelangkaan ulama. Perkembangan zaman dan teknologi telah meminggirkan peran ulama. Masalah ini semakin jelas ketika banyak ulama yang diakui keilmuan dan sikapnya wafat tanpa ada pengganti yang setara dalam. Di sisi lain, fenomena menjamurnya dai, penceramah, ustaz, dan penulis agama terlihat di mana-mana. Anehnya, banyak dari mereka tidak berlatar belakang pendidikan agama atau tidak memiliki gelar sarjana agama. Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu yang bukan agam, tetapi malah bericara luas tentang agama.

Selain itu, ada juga banyak ulama yang terlibat dalam politik praktis dengan berbagai pertimbangan sosiologis, ideologis, politis, dan ekonomi. Hal ini memperkuat anggapan bahwa kesucian makna keulamaan, yang selama ini menjadi simbol kepemimpinan ulama umat, telah bergeser. Apalagi jika ulama yang terlibat dalam politik tersangkut kasus-kasus yang tidak bermoral. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran ulama terus menurun. Perubahan ini berdampak pada persepsi masyarakat terhadap ulama dan keulamaan itu sendiri. Dahulu, ulama dihormati sebagai figur yang memiliki integritas tinggi, pengetahuan agama yang mendalam, dan moral yang kuat. Namun, keterlibatan dalam politik dan skandal moral membuat citra mereka menurun.

Di tengah kelangkaan ulama yang benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan benar, muncul kebutuhan mendesak untuk regenerasi ulama yang berkualitas. Pendidikan agama yang mendalam dan menyeluruh menjadi kunci untuk melahirkan ulama-ulama yang mampu menjawab tantangan zaman. Institusi pendidikan agama perlu diperkuat dan didukung untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya memiliki pengetahuan agama yang luas, tetapi juga memiliki integritas dan moral yang tinggi.

Dalam konteks modern, ulama juga perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan informasi. Mereka harus mampu menggunakan media digital untuk menyebarkan ajaran agama dan berkomunikasi dengan umat. Dengan demikian, ulama tetap relevan dan dapat memberikan bimbingan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Regenerasi ulama yang berkualitas dan adaptif terhadap perkembangan zaman adalah suatu keharusan untuk menjaga keberlanjutan ajaran Islam dan membimbing umat menuju kehidupan yang lebih baik dan bermoral tinggi.

Kondisi kelangkaan ulama pernah digambarkan oleh Masoed Abidin, ulama sepuh asal Koto Gadang. Bila masyarakat datang ke masjid pada saat sekarang ini, mereka tidak menemukan ulama di sana, akan tetapi mereka hanya menemukan garin. Di mana ulama berada? Mereka bekerja mencari nafkah, bila ceramah saja mereka datang ke masjid. Harusnya, ulama-ulama tersebut dibiayai oleh negara sebagaimana yang terjadi di Malaysia. Hingga mereka bisa fokus melayani ummat. Efeknya adalah, timbul persepsi di tengah-tengah masyarakat yang cenderung menyederhanakan ulama sebagai profesi pekerjaan ekonomis.

Mencari sesuatu yang pernah ada, tapi sekarang rasanya seperti sudah hilang. "Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari kita. Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kita mulai merasakannya," demikian sebait puisi Taufiq Ismail yang mewakili perasaan tersebut.

Jika kita membandingkan kebesaran ulama Minangkabau masa lalu, maka muncul pertanyaan apakah yang hilang dari Sumatera Barat sekarang? Sebenarnya, Sumatera Barat tidak kekurangan lembaga pendidikan agama mulai dari madrasah hingga pesantren yang menjadi wahana atau tempat penggodokan calon-calon kader ulama. Namun,

Apalagi sampai sekarang sosok dan kompetensi ulama yang didambakan oleh masyarakat belum ada kesepakatan umum yang memadai sebagai standar. Pada kalangan tertentu nomenklatur ulama lebih dipahami  sebagai orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang dalam, bukan sekadarnya saja. Mereka taat beribadah, memiliki sifat-sifat wara' (sungguh dan rendah hati) memiliki  integritas pribadi yang tinggi, qanaah atau mencukupi kepentingan dunia secara sederhana dan tidak berlebihan apalagi terkesan mewah. Ulama menjadi mumpuni (disegani) dan memiliki percaya diri yang tinggi serta kharisma, wibawa dan akhlak yang mulia. Lebih dari itu, diri dan keluarganya tidak punya aib dan cela etika, sosial dan ekonomi.

Tentu saja di dalam pergaulan sosial, sosok ulama yang diidamkan adalah yang uswatun hasanah, ikutan ummat, pergi tempat bertanya, pulang tempat berberita. Mereka yang hanya punya ilmu, berakhlak dan integritas saja bukan dari kalangan yang berkecimpung di dalam soal-soal agama dan keagamaan, ghalibnya mungkin disebut para sarjana,  ilmuwan atau cendekiawan (zu'ama) saja.

Pada pihak lain ada obsesi ummat yang menggebu-gebu, bahwa yang dimaksud ulama itu adalah tokoh seperti Buya Hamka, Buya Sutan Mansyur, dan Buya Dt. Palimo Kayo atau generasi terdahulu seperti ayahnya Hamka, Inyiak Rasul, Inyiak Ibrahim Musa, Inyiak Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, Inyiak Sulaiman al-Rasuli atau Inyiak Canduang, Inyiak Jaho, Thaib Umar, dan seterusnya.

Mayoritas para ulama-ulama Mianngakabu terdahulu dikenal bukan karena lahir dari sebuah pesantren, surau, madrasah atau sekolah, tetapi setelah mengalami penjelajahan dan eksplorasi ilmu melalui pendidikan di berbagai tempat, baik formal maupun informal dan otodidak. Dimulai pendidikan awal dari keluarga yang pada umumnya, ayah mereka sudah ulama dalam ukuran yang relatif mumpuni (punya nama, disegani dan berwibawa) pada masanya. Mereka lalu menuntut ilmu ke berbagai surau dan menyauk ilmu ke sumbernya di Timur Tengah untuk memperdalam ilmu agamanya.

Setelah menima ilmu di Timur Tengah, mereka pulang dan menjadi tempat ummat mengadukan soal-soal kegamaan dan kehidupan. Di antara mereka (sebagian besar) menjalankan dakwah berbasis madrasah atau surau atau lembaga pendidikan yang mereka dirikan.

Apabila padanan klasik tadi yang disebut ulama  yang dijadikan rujukan dewasa ini, maka menjadikan pesanatren sebagai wahana kaderisasi ulama meminta beberapa hal yang harus dipertimbangkan berikut ini. Pertama, pesantren sekarang harus memiliki tokoh  ulama besar atau guru besar  seperti kiyai kalau di Jawa. Tokoh ini bukan saja menjadi guru yang mengajarkan ilmu, tetapi langsung menjadi role-model bagi para santrinya sekaligus soko gru atau tonggak utama bagi ustaz dan ustazah serta guru di pesantren tersebut.

Menurut hemat penulis, tokoh yang seperti disebutkan tadi itu yang langka (untuk tidak menyebutkan tidak ada) sekarang ini  di pesantren, di Sumbar. Pada pondok pesantren ini  harus ada semacam kiyai tadi yang di sini boleh disebut Buya, Tuanku atau Inyiak. Beliau-beliau itulah yang menjadi motor penggerak, oran tua dan tokoh utama pemilik otoritas penuh pengendali ilmu, moral, akhlak dan kharisma sebuah pesantren.

Kedua, soal subyek ilmu dan kurikulum  yang diajarkan. Sudah dimaklumi, bahwa apapun pesantrennya, sekolah dan madrasahnya dewasa ini yang ingin tamatan atau lulusannya mendapat civil effect dan pengakuan pemerintah, seyogyanyalah menggunakan kurikulum resmi pemerintah yang menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum.

Seberapa jauh tingkat daya serap santri, siswa atau murid mampu mengikuti dan menguasai mata pelajaran yang sangat banyak tersebut, tentu perlu direnungkan. Bila sosok ulama klasik masa lalu yang akan dilahirkan, maka mata belajaran atau subyek ilmu-ilmu yang diajar dan dipelajari harus diseleksi sedemikian rupa dan yang paling utama adalah ilmu-ilmu agama itu sendiri yang diprioritaskan. Ulumul qur'an dan ulumul hadist, fikih dan ushul fikih, tauhid, ilmu tasawuf, ilmu akhlak dan seterusnya.

Semua itu harus secara simultan lebih intensif menguasai Bahasa Arab, sehinggga pada kelas tertentu sudah mampu  menguasai kitab gundul atau kitab kuning  secara memadai. Kompetensi penguasaan ilmu dan ilmu alat yang disebut Bahasa Arab itu, tidak bisa ditawar-tawar, alias sudah suatu kewajiban utama.

Sejauh ini, untuk mendukung optimasi kompetensi sebagai kader ulama, mata pelajaran pendukung seperti matematik, dan dasar-dasar ilmu ekonomi, perlu dipertimbangkan pula untuk mampu menjadi bekal nanti ketika pada saatnya para santri yang selesai belajar di pesantren ini menjadi tempat ummat bertanya kelak untuk menghitung pembagian harta warisan, ilmu faraidh, pembagian zakat, infak dan sadakah serta penggerak dan inspirator ekonomi syariah di kemudian hari.

Rasanya, ilmu-ilmu umum dan humaniora seperti sejarah, ilmu kewarganegaraan dan lain-lain tadi harus diseleksi sedemikian rupa, sehinggga ketersediaan waktu, serta kekuatan daya tangkap santri terhadap ilmu-ilmu pokok agama lebih kondusif dibandingkan dengan segala macam ilmu harus dijejalkan ke otak mereka.

Di balik itu, yang perlu sekarang adalah tekad, keberanian, kerja keras,  kerjasama dan sama-sama bekerja untuk merevitalisasi pesantren sebagai wahana kaderisasi ulama. Untuk ini perlu beberapa langkah. Pertama, perubahan reorientasi institusional. Institusi pesantren seharusnya memang bertujuan untuk tafaqquh fi al-din (QS). Selama ini, secara selintas untuk  Sumbar, kelihatannya pesantren sama saja dengan madrasah agama yang penguasaan ilmu pengetahuan umum kurang, ilmu dan pengetahuan  agama juga kurang. Ada resiko memilih yang perlu diambil.

Bila sebuah pesantren diharapkan menjadi wahana kaderisasi ulama, maka pilihan lain tidak ada kecuali memberikan porsi dominasi subyek ilmu-ilmu agama yang standart yang dominan. Kedua, input atau calon santri yang masuk harus yang punya niat dan kecerdasan yang mendukung untuk benar-benar belajar agama dan kalau mungkin, ada dalam hati mereka yang paling dalam untuk menjadi pewaris nabi, al-ulama warastatul anbiya'. Kenyataan sekarang, sekolah agama atau  pesantren oleh sebagian besar generasi muda menjadi alternatif terakhir. Akibatnya, seperti yang disitir Nurckholish Madjid (2003):

" sering kali terjadi orang-orang yang tidak lulus tes masuk perguruan tinggi kemudian lari ke pesantren untuk menjadi santri dan kemudian menjadi ulama. "Dengan demikian, terkesan bahwa orang-orang yang menjadi ulama adalah manusia-manusia sisa yang potensinya rendah. Akhirnya malah menjadi ulama-ulama yang kurang pandai."   (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0311/14/daerah/688368.htm)

Ketiga, perlu dipikirkan sinerjisitas dan hubungan yang erat, terkait dan saling menguntungkan antara pesantren dengan perguruan tinggi agama seperti IAIN dan Universitas Islam yang memilki fakultas dan program studi yang mendukung pendidikan lanjutan kaderisasi ulama. Apabila lulusan pesantren yang sudah kuat dasar-dasar ilmu agamanya melanjutkan ke perguruan tinggi Islam yang subyek studinya bertumpu pada perangkat keras ilmu-ilmu agama Islam seperti ulumul qur'an, ulumul hadist, fikih, ushul fikih, tauhid, akhlak, tasawuf dan filsafat, maka ada optimisme yang realistis untuk melahirkan ulama-ulama pada waktunya kelak.

Di sinilah tantangan baru harus berani dihadapi. Apakah sosok, kompetensi dan profile ulama yang diharapkan ummat ke depan masih yang klasik atau sudah berubah kepada yang lebih alit,  kontemporer (kekinian) bahkan avant-garde (perintis ke depan/pelopor). Diramalkan, dan kelihatannya sekarang sudah semakin jelas, pengaruh media grafika dan elektronika serta perkembangan teknologi komunikasi-informasi (information communication technology/ICT) amatlah dominan dalam kehidupan sosial dan masyarakat, ummat dan bangsa  sehari-hari dewasa ini. Baik pada skala dan radius lokal, nasional, regional lebih-lebih mondial atau internasional.

Oral media atau mimbar langsung tatap muka, masih tetap dominan dan bertahan dan itu tampaknya lebih kepada konsumen  generasi tua. Untuk generasi muda, perkembangan ICT dan media ini amatlah perlu dicermati dan diarifi dengan cerdas. Maka kompetensi ulama harus diberi bobot baru, di samping menguasai kitab kuning, ulumul qur'an, ulumul hadist, fikih, ushul fikih, tasawuf, tauhid dan filsafat dan Bahasa Arab, maka kapabilitas menggunakan bahasa asing lainnya seperti Bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Perancis dan seterusnya serta penguasaan ICT serta media tadi, merupakan tuntutan afirmatif yang tidak bisa diabaikan.

Mimbar langsung di Masjid dan Mushalla, sudah semakin diinterfensi oleh audio (radio), audio-visual (TV), dan virtual world , dunia maya electronic- internet. Yang disebut paling belakangan ini para ulama harus mencoba memberikan bimbingan kepada ummatnya melalui jagat raya yang lebih komplit melalui cellular phone dengan  sms, tayangan audio-visiual, website dan blog di dunia maya tadi .

Dengan demikian, maka wacana atau diskursus tentang pesantren sebagai tempat penggodokan kaderisasi ulama, perlu menekankan bahwa  pengajaran ilmu di sini harus diseiringkan dengan penguasaan perangkat  ICT dan media  tadi. Dengan demikian, tentulah  diperlukan laboratorium bahasa, laboratoium komputer, perpustkaan konvensional dengan kitab-kitab dan buku-buku putih dan kuning serta diseiringkan bahkan harus disejajarkan   dengan keberadaan perpustakaan moderen digital yang on-line dengan seluruh jaringan koneksi internet di dunia.  Itu semua tentulah tantangan yang amat besar.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Revitalisasi Pesantren di Minangkabau, Wahana Kaderisasi Ulama", Klik untuk baca:

Membentang Jalan ke Mesir[suntiang | suntiang sumber]

Pemenuhan undangan Duta Besar RI di Cairo kepada Gubernur Sumatera Barat tertanggal 15 Januari 2008 dan 12 Februari 2008 untuk menghadiri lokakarya “Dukungan terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir tanggal 12 dan 13 April 2008” bersama Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, Kakanwil Agama Provinsi Sumatera Barat, Ketua MUI Sumatera Barat juga terkait dengan mempersiapkan sumber daya manusia yang akan mengelola masjid.

Kunjungan ke Universitas Al-Azhar di Mesir tanggal 11 – 14 April 2008 ini juga terkait dengan mempersiapkan para ustadz dan ustadzah yang akan bertugas magang di Masjid Raya Sumatera Barat setelah kelulusan dari Universitas Al-Azhar.

Mahasiswa Indonesia di Mesir yang berjumlah 6.000 orang diantaranya 406 orang berasal dari Sumatera Barat adalah aset dan sumberdaya yang sangat potensial. Karenanya merupakan suatu keperluan logis untuk membantu memaksimalkan potensi tersebut yang diharapkan kelak menjadi pembawa misi keislaman dan kebangsaan di masyarakat Indonesia.

Secara umum, pokok bahasan yang dibicarakan dalam lokakarya ini meliputi persoalan sejak masa persiapan studi, masa menjalani studi, dan masa pasca studi. Persoalan tersebut kemudian diurai secara mendalam berdasarkan jenis masalah sekaligus dicarikan alternatif solusinya.

Menjadi Islamic Center Sumatera Barat[suntiang | suntiang sumber]

Islamic center atau pusat kajian islam merupakan institusi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Islam. Lembaga ini memiliki banyak fungsi sebagai tempat ibadah, pendidikan, dan pusat komunitas. Kehadiran lembaga ini penting sebagai wadah pembinaan umat melalui pendidikan dan persaudaraan. Di banyak negara, dan sejumlah wilayah di Indonesia, Islamic Center menjadi pusat kegiataan keagamaan dan sosial bagi masyarakat tersebut.

Awal mula Islamic Center muncul di negara-negara barat sebagai pusat kegiatan dan ibadah bagi umat Islam. Lokasinya biasanya berada saat masyarakat Islam menjadi minoritas di suatu daerah. Berada di tengah mayoritas non Islam membuat umat Muslim kesulitan dalam beribadah dan mengadakan pertemuan terutama terkait keagamaan. Oleh karena itu, Islamic Center didirikan untuk menjaga ukhuwah Islamiah anatara umat muslim. Islamic Center ini dibangun oleh umat muslim di negara-negara barat yang tidak memiliki masjid di tempat tinggalnya, sehingga dibuatlah gedung sebagai pusat ibadah dan berbagai kegiatan.

Islamic Center kemudian diadopsi menjadi pusat kegiatan ibadah dan aktivitas keislaman di Indonesia. Dalam buku petunjuk Pelaksanaan Proyek Islamic Center di seluruh Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 1976, Islamic Center dijelaskan sebagai lembaga keagamaan yang berfungsi sebagai pusat pembinaan dan pengembangan agama Islam. Lembaga ini berperan penting sebagai wadah untuk pelaksanaan dakwah di era pembangunan. Islamic Center pertama di Indonesia adalah Masjid PUSDAI (Pusat Dakwah Islam) dibangun pada tahun 1998. Masjid ini kemudian menjadi pionir yang kemudian dibangun berbagai Islamic Center di banyak kota. Seiring berjalannya waktu, kini hampir setiap kota di Indonesia memiliki Islamic Center.

Islamic Center hadir didorong oleh banyak faktor. Salah satunya adalah persepsi masyarakat terhadap masjid. Banyak yang melihat masjid hanya sebagai tempat sakral untuk ibadah ritual seperti shalat, dzikir, dan membaca Al-Qur’an. Sementara kegiatan lain, seperti pendidikan dan dakwah, malah dipindahkan ke ruang-ruang tertentu atau bahkan dianggap tidak layak jika digelar di dalam masjid. Akibatnya, masjid hanya ramai saat pelaksanaan shalat. Sementara pada zaman Rasulullah masjid bukan cuman tempat shalat. Islamic Center berfungsi mengembalikan masjid seperti pada zaman Rasulullah SAW, di mana masjid juga  sebagai tempat diskusi, musyawarah, pembinaan, dan pendidikan. Islamic Center adalah usaha untuk mengubah persepsi ini. Masjid hendaknya dikembalikan sebagaimana fungsinya pada masa Rasulullah. Masjid selalu ramai oleh berbagai kegiatan umat muslim, baik untuk ibadah maupun kegiatan sosial.

Di sisi lain, perkembangan zaman membuat umat Muslim semakin tertarik untuk belajar Islam lebih baik. Banyak persoalan dalam kehidupan yang membutuhkan jawabannya sesuai petunjuk dalam agama. Namun karena masjid hanya difungsikan untuk ibadah, kegiatan lain jadi sering dipindahkan ke gedung atau lembaga lain. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya kelompok-kelompok kajian dan organisasi dengan pemahaman agama yang berbeda-beda. Kondisi ini kadang menimbulkan kerenggangan solidaritas di antara umat muslim. Islamic Center menjawab semua keresahan itu dengan fungsinya sebagai sarana untuk berinteraksi dan menjalin ukhuwah Islamiyah antar umat muslim, bahkan menjadi tujuan wisata religi.

Islamic Center memiliki bagian utama sebuah masjid yang memiliki fungsi utama sebagai lokasi ibadah. Masjid berfungsi sebagaimana biasanya untuk menggelar shalat lima waktu, shalat Jumat yang wajib bagi laki-laki,  shalat tarawih saat bulan Ramadan, serta shalat hari raya. Keberadaan Islamic Center menjadi ruang umat Islam untuk menggelar ibadah secara berjemaah, mempertebal keimanan, dan mempereat kebersamaan.

Islamic center juga memiliki fungsi pendidikan sebagai salah satu aspek penting terutama dalam menyebarkan ilmu agama. Lembaga ini biasanya memngadakan program pendidikan agama Islam baik untuk anak-anak atau orang dewasa. Bisa juga menjadi lokasi bagi orang-orang luar Islam yang bersyahadat menjadi mualaf menyatakan masuk Islam. Program pendidikan  di Islamic Center diantaranya belajar membaca Al-Quran, fiqh, Tauhid, dan banyak lainnya. Lewat pendidikan umat Islam bisa lebih mengamalkan ilmu agama sehingga bisa mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Islamic center biasanya juga tempat belajar bersama para guru atau tokoh ulama yang didatangkan dari luar. Islamic center menjadi pusat komunitas untuk berkumpul satu sama lain saat belajar dengan ulama-ulama. Tak hanya ceramah agama, acara-acara lain seperti seminar, pertemuan, workshop juga sering digelar di Islamic center. Acara-acara ini menjadi wadah berkumpul yang berdampak semaikin kuatnya ikatan sosial sesame muslim.

Masyarakat Sumatera Barat dikenal sangat menghormati adat istiadat dan budaya mereka yang menjunjung tingi Islam. Banyak nilai-nilai adat yang hidup di tengah masyarakat mencerminkan kepatuhan mereka dalam beragama yang telah diwariskan oleh generasi terdahulu mereka. Masyarakat Minang menjalani hidup dengan memegang prinsip hidup: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah," yang berarti adat didasarkan pada agama, dan agama didasarkan pada kitabullah (Al-Qur’an).

Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat kemudian memberikan pengaruh pada budaya Minangkabau. Budaya asing dengan mudah masuk dan mempengaruhi norma-norma yang telah lama dijunjung masyarakat Minangkabau. Salah satu dampak negatif dari pengaruh budaya asing yakni turunnya pengamalan nilai-nilai agama dan leih mengikuti budaya asing.

Kondisi perlu dilakukan antisipasi yang tepat, Provinsi Sumatera Barat harus memiliki sarana atau wadah yang dapat menampung informasi dan kegiatan yang berkaitan dengan agama Islam, sebagai pusat pembinaan umat dan sebagai benteng yang melandasi adat istiadat masyarakat Minangkabau.

Masjid juga harus dapat berperan sebagai pusat pembinaan umat dan dakwah Islamiyah, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Ini berarti masjid harus menjadi tempat pembinaan umat, menyediakan layanan sosial, kesehatan, dan pendidikan, pembinaan anak dan remaja, serta penyaluran bakat mereka dalam bidang seni dan olahraga, bahkan hingga pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat.

Dengan mayoritas penduduk beragama Islam, di Provinsi Sumatera Barat tidak sulit menemukan masjid. Saat ini, jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat yang beragama Islam lebih dari 4.360.286 jiwa atau hampir 97% dari total penduduk. Sedangkan jumlah masjid yang ada di Sumatera Barat jumlahnya mencapai ribuan. Namun, dari sekian banyak masjid tersebut, belum ada yang berukuran luas dan tmampu melayani kegiatan dan aktivitas umat Islam di tingkat provinsi.

Pembangunan sebuah Masjid Raya, sebagai Islamic Center merupakan kebutuhan sebagai proses pembangunan masyarakat Islam yang sangat dibutuhkan. Masjid Raya dapat menampilkan citra positif bagi daerah, tentu jika dibangun dengan pertimbangan arsitektural khas daerah dapat melambangkan perwujudan falsafah dasar pembangunan masjid secara fungsional dan rasional, serta dikelola dengan manajemen yang profesional.

Kehadiran Islamic Center di suatu daerah dapat menjadi pusat pembinaan dan pengembangan agama Islam yang efektif, serta menjadi tempat berbagai kegiatan sosial dan keagamaan masyarakat muslim. Islamic Center dengan infrastruktur yang memadai dapat menjadi alat untuk membina dan mengembangkan pemahaman serta pengamalan agama Islam di kalangan masyarakat. Pada akhirnya Islamic Center tidak hanya menjadi pusat kegiatan keislaman yang fokus pada ibadah ritual tetapi juga pada kegiatan sosial dan pendidikan.

Islamic Center memainkan peran vital dalam pendidikan Islam non formal. Keberadaan Islamic Center dalam masyarakat erat kaitannya dengan upaya pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan ini mencakup berbagai aspek, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan, perekonomian, dan sosial kemasyarakatan. Keberhasilan Islamic Center mendapatkan perhatian luas dari masyarakat tidak terlepas dari strategi dakwah yang dirancang dengan baik dan terorganisir. Hidupnya Islamic Center bergantung pada komitmen untuk membangun peradaban berbasis ilmu keagamaan, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.

Pemanfaatan Islamic Center dalam meningkatkan pendidikan Islam non formal di masyarakat juga efektif melalui beberapa indikator. Salah satunya adalah melalui kegiatan sosial keagamaan yang melibatkan partisipasi langsung dari masyarakat. Kegiatan-kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap Islamic Center serta meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap berbagai program yang diselenggarakan. Selain itu, Islamic Center berfungsi sebagai pusat informasi, penyiaran, dan komunikasi bagi masyarakat luas.

Tujuan utama dari Islamic Center, selain menjadi pusat pendidikan Islam, juga perlu diseimbangkan dengan fungsinya dalam pengembangan masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan konkret dan metode pelaksanaannya yang melibatkan masyarakat secara langsung. Misalnya, Islamic Center dapat menyelenggarakan berbagai program pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan masyarakat dalam berbagai bidang.

Pemanfaatan Islamic Center dalam upaya meningkatkan pendidikan Islam memiliki posisi yang signifikan. Pendekatan sosio-kultural yang diterapkan dapat berupa kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat secara langsung, seperti kajian umum, kegiatan pembinaan iman, santunan anak yatim, khitan massal, serta program pemberantasan buta huruf Al-Qur’an. Melalui kegiatan-kegiatan ini, Islamic Center dapat membangun hubungan yang erat dengan masyarakat serta memperkuat nilai-nilai keagamaan dan sosial.

Secara keseluruhan, peran Islamic Center dalam pemberdayaan dan pendidikan Islam non formal sangat penting. Melalui berbagai kegiatan dan program yang dirancang dengan baik, Islamic Center dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dari berbagai aspek, baik keagamaan, ekonomi, maupun sosial. Dengan komitmen yang kuat untuk membangun peradaban yang berbasis ilmu, Islamic Center dapat menjadi pusat transformasi yang membawa perubahan positif bagi masyarakat luas.

Dalam perkembangan dakwah di Sumatera Barat, masjid menjadi pusat pertemuan untuk menyebarkan syiar agama Islam. Dalam beberapa kesempatan, umat Islam di Sumatera Barat mengundang ulama-ulama baik level nasional maupun internasional. Kehadiran masjid yang representatif menjadi kebutuhan bagi masyarakat muslim saat menghadirkan tokoh-tokoh ulama dari luar. Harus ada masjid besar yang menampung Jemaah dalam jumlah yang sangat banyak mncapai ribuan orang. Masjid besar tentu juga akan menambah semangat masyarakat dalam belajar lebih dalam tentang Islam dari ulama-ulama yang dipercaya kedalaman ilmunya.

Kebutuhan masjid raya level provinsi sangat dibutuhkan mengingat belum adanya simbol penyatuan umat Islam di Sumatera Barat pada awal tahun 2000-an. Jika berbicara di level nasional, maka Indonesia memiliki Masjid Istiqlal sebagai simbol masjid raya tingkat negara. Masjid yang digagas zaman Presiden Soekarno itu menjadi simbol persatuan umat Islam Indonesia di level negara. Hingga kini Masjid Istiqlal berdiri kokoh menjadi kebanggaan masyarakat muslim Indonesia. Masjid nasional ini juga menjadi salah satu tujuan pelancong muslim dari berbagai daerah bahkan mancanegara.

Sementara di level provinsi di Indonesia, sejumlah masjid telah dikenal sebagai ikon suatu daerah. Masjid Raya Baiturrahman di Aceh misalnya. Masjid dengan arsitektur yang megah menjadi simbol kekuatan masyarakat Aceh saat tsunami melanda. Contoh lain Masjid Agung Jawa Tengah, bangunannya dirancang dengan gaya arsitektur perpaduan Jawa, Arab, dan Romawi. Banyak masjid level provinsi dibangun di berbagai daerah, namun Sumatera Barat hingga tahun 2005 belum memiliki masjid level provinsi dengan gaya khas Minangkabau sebagai masyarakat yang berdiam di wilayah tersebut.

Kemudian, jika berbicara di level kota di Sumatera Barat, maka dapat dilihat hadirnya masjid-masjid raya sebagai simbol masyarakat muslim di daerah tersebut. Kota Padang misalnya, punya Masjid Agung Nurul Iman sebagai masjid raya tingkat kota. Kegiatan-kegiatan keagaaman seperti peringatan Maulid Nabi atau Israk Mikraj digelar disini. Ada juga Kota Bukittinggi dengan Masjid Raya Bukittinggi sebagai masjid raya level kota menjadi pusat berbagai kegiatan keislaman. Bahkan tidak hanya level kota, masjid-masjid raya terkadang juga ada pada tingkat kelurahan atau nagari dan kecamatan yang menjadi Islamic Center di level daerah tersebut.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan masjid raya level provinsi? Oleh karena itu, kehadiran Masjid Raya Sumatera Barat dapat menjawab pertanyaan ini. Masjid Raya Sumatera Barat perlu hadir sebagai Islamic Center dan simbol masyarakat muslim Sumatera Barat. Pendirian masjid ini berguna mewujudkan masyarakat madani, yang menjalani hidup sesuai syiar Islam, bergerak dinamis menuju kemajuan, saling peduli dan tolong menolong membangun kesejahteraan umat.

Sumatera Barat pada tahun 2000-an dianggap belum memiliki Islamic Center yang mumpuni pada level provinsi. Masjid Raya Sumatera Barat sebagai Islamic Center dapat menjadi lembaga pendidikan, lembaga pengkajian dan pengembangan Islam, serta fasilitas sosial dan budaya masyarakat sekitarnya. Hadirnya Masjid Raya Sumatera Barat sebagai Islamic Center dapat menjadi pusat peradaban Islam yang berkontribusi pada masyarakat Sumatera Barat.




Bab 4 – Lokasi dan Sayembara[suntiang | suntiang sumber]

Mencari Lokasi[suntiang | suntiang sumber]

Sebelum berdiri Masjid Raya Sumatara Barat, Padang sebagai ibu kota provinsi saat itu tidak memiliki masjid raya yang representatif di jalan protokol atau pusat pemerintahan. Jika kita berjalan dari Alang Lawas sampai jangkauan pusat kota di Bandara Tabing, hanya hitungan masjid kecil berdiri di sepanjang jalan. Kebanyakan masjid tentu saja peruntukannya sebatas untuk kompleks permukiman, kecuali satu milik kampus Universitas Negeri Padang.

Sebetulnya, sudah ada Masjid Nurul Iman yang dikelola oleh milik pemerintah provinsi Sumatera Barat. Kapasitasnya cukup besar dan aksesnya mudah dijangkau dari jalan protokol. Pendahulu Gamawan Faizi, Gubernur Zainal Bakar memilih mempertahankan status Masjid Nurul Iman sebagai masjid provinsi. Ide Zainal Bakar yakni membongkar bangunan masjid lama agar dapat dapat dibangun masjid baru dengan kapastias yang lebih luas dan konstuksi yang lebih kokoh.

Pembangunan awal Masjid Nurul Iman dimulai era Gubernur Sumatera Barat pertama Kaharudin Datuk Rangkayo Basa tepatnya pada 26 September 1958. Butuh waktu nyaris 19 tahun sampai akhirnya pembangunannya dapat dikatakan elesai. Malang, tak sampai setahun usai diresmikan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud pada 1 April 1977, terjadi insiden insiden bom.

Pembangunan Masjid Nurul Iman sebenarnya tak terlepas dari rencana pemerintah daerah menghadirkan fasilitas ibadah yang representatif skala provinsi, sejalan dengan rencana pembangunan Kantor Gubernur Sumatera Barat di Jalan Sudirman. Rencana tu diwujudkan dengan mencarikan lahan di pusat kota. Namun, dinamika yang terjadi setelah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) menyulitkan pemerintah dalam mendapatkan lahan. Tak banyak pilihan lahan strategis di pusat kota, kecuali lahan di sekitar Lapangan Imam Bonjol yang saat itu dikenal "mahal" dan "dikuasai oleh tentara".

Masjid Nurul Iman akhirnya mendapatkan lahan tempat berdiri ia sekarang dari TNI. Lahan itu berukuran 150 x 100 meter. Dana awal pembangunan terutama diperoleh dari sumbangan Komando Daerah Militer III/17 Agustus dan Kementerian Agama RI. Pengerjaan pondasi bangunan tuntas pada 1960. Pada 1962, meski belum rampung, masjid sudah dapat difungsikan untuk Salat Jumat.

Lantaran kaitannya dengan PRRI, masjid yang dibangunan awalnya direncakana diberi nama Nurul Aman. Nama itu dimaksudkan sebagai "lambang keamanan", mengingat situasi Padang yang diliputi kekacauan pasca-PRRI. Belakangan, nama itu diubah untuk melepaskan embel-embel dengan TNI.

Meski disupport oleh negara melalui TNI dan Kementerian Agama, proses pembangunan Masjid Nurul Iman berlangsung seret. Minimnya dana membuat pembangunan berjalan lamban bahkan sempat terbengkalai. Ketika pembangunan hampir tuntas, sebuah bom meledak di dalam masjid pada 11 November 1976. Meski tidak memakan korban jiwa, ledakan menyebabkan kerusakan interior pada masjid, termasuk loteng yang rusak dan jendela kaca pecah. Nyaris 30 tahun sesudah itu, tak ada perbaikan maupun pengembangan berarti pada Masjid Nurul Iman.

Pembongkaran Masjid Nurul Iman baru dimulai pada tahun akhir jabatan dijabat Zainal Bakar pada tahun 2005. Untuk alasan keamanan, masid ditutup dan sekeliling area dipagari dengan seng. Alhasil, tidak ada aktivitas peribadatan selama pembongkaran berlangsung. Namun, jelang masa jabatan Zainal Bakar berakhir, pekerjaan pembongkaran belum selesai sehingga menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh gubernur berikutnya.

Begitulah akhirnya, tak pernah terbetik gagasan membangun masjid baru pada sebelum masa kepemimpinan Gamawan Fauzi. Hitung-hitungan kasar suda jelas: anggaran untuk merenovasi masjid lama tentu tidak sebanyak jika merencanakan dari awal masjid baru dengan lokasi baru pula.

Meski menggulirkan gagasannya secara resmi saat menjadi gubernur, Gamawan Fauzi sudah merasakan betul adanya kebutuhan akan masjid provinsi yang besar dan representatif jauh sebelumnya. Saat menerima tamu dari nasional, ia merasakan betul susahnya mencarikan masjid yang dirasa pas untuk menggambarkan Sumatera Barat yang terkenal dengan semboayan ABS-SBK.

Pertanyaan dan suara-suara tentang ketiadaan masjid akhirnya diwujudkan Gamawan Fauzi begitu ia mulai dilantik menjadi Gubernur Sumatera Barat pada 15 Agustus 2005

Keresahan demikian barangkali telah dirasakan banyak pihak, tetapi tidak pernah begitu dipikirkan. Sampai akhirnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla saat melakukan kunjungan ke Padang dan salat Jumat di Masjid Nurul Iman berceletuk, “Mana masjid raya Sumbar?”

“Sumbar ini ABS-SBK, tetapi masjid rayanya sebesar ini?" kata JK sembari tertawa ditirukan Gamawan Fauzi.

Pada Januari 2006, berlangsung pertemuan bilateral antara Indonesia dan Malaysia yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi di Bukittinggi. Salah satu rangkaian pertemuan bertepatan dengan hari Jumat. Meski di Padang terdapat beberapa masjid besar, panitia acara tidak melihat ada "masjid yang tepat" bagi kedua kepala negara untuk melaksanakan salat Jumat, sehingga lokasi yang dipilih adalah Masjid Agung Tangah Sawah di Bukittinggi.

Berkaca dari peristiwa di Bukittinggi, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat memutuskan untuk mematangkan rencana pembangunan masjid.

Sewaktu pemilihan lokasi, sempat muncul usulan agar masjid baru dibangun di lokasi Kantor Gubernur di Jalan Sudirman. Namun, karena alasan nilai historis gedung tersebut, disepakatilah lokasi di Jalan Chatib Sulaiman, menempati area seluas 40.343 meter persegi. Area ini merupakan lokasi Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Padang, yang nantinya dipindahkan ke lokasi baru di Lubuk Minturun.

Proses Sayembara[suntiang | suntiang sumber]

Selain latar belakang filosofis, Gubernur Gamawan Fauzi menilai Sumatera Barat perlu memiliki landmark baru yang mencerminkan lokalitas MInangkabau. Setiap membahas Sumatera Barat, landmark yang muncul selalu Jam Gadang peninggalan Belanda di Bukittinggi. Padahal, Bukittinggi bukan ibu kota dan Jam Gadang tidak banyak kaitannya dengan simbol Minangkabau, kecuali atap gonjongnya.

"Jam Gadang peninggalan Belanda. Mana bangunan monumental karya anak bangsa? Bisa gak kita membuat sehingga nanti landmark tidak lagi Jam Gaang, tapi sebuah masjid raya yang cocok dengan semboayan ABS-SBK. Karena itu masjid raya harus luar biasa," kenang Gamawan.

Sebagai tindak lanjut, maka dibentuklah panitia pembangunan yang efektif mulai bekerja sekitar April 2006. Gubernur Gamawan Fauzi memperjuangkan pos anggaran sebesar Rp100 miliar untuk kerja-kerja panitia, termasuk peruntukannya untuk penelitian, seminar, penjajakan ke luar negeri, dan sayembara.

Setelah pemilihan lokasi, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU) bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menggelar sayembara Masjid Raya Sumatera Barat. Dinas PU saat itu dikepalai oleh Syamsuir Burhan, sedangkan IAI Sumatera Barat diketuai Eko Alvares.

Pengumuman sayembara dilakukan pada Juli 2006. Peserta diberi waktu 45 hari untuk mengirimkan karya mereka. Total hadiah yang diperebutkan yakni sebesar Rp300 juta untuk empat pemenang, yakni pemenang utama sebesar Rp150 juta dan tiga juara harapan dengan hadiah berturut-turut Rp 75juta, Rp50 juta, dan Rp25 juta.

Dalam pengumuman sayembara, dewan juri menggariskan representasi yang digunakan yakni nilai keislaman dan lokalitas Minangkabau. Selain itu, karena pengalaman gempa bumi yang disertai tsunami di Aceh pada 2004, ketentuan sayembara menyebutkan bangunan masjid diharuskan memiliki fungsi sebagai tempat berlindung masyarakat ketika gempa dan tsunami.

Sayembara diikuti oleh 323 peserta. Mereka tidak hanya tersebar dari berbagai daerah dalam negeri, tetapi juga dari mancanegara seperti Jerman dan Malaysia. Sebanyak 71 desain masuk dengan berbagai macam-macam model. Mulai dari berbentuk kubah raksasa, berkubah banyak khas Turki, beratap limas khas masjid Indonesia, sampai bangunan berpilar-pilar layaknya Masjid Nabawi. Ada pula beberapa yang eksentrik alias out of the box.

Seluruh desain yang masuk ke panitia selanjutnya diseleksi menjadi 10 besar oleh dewan juri yang diketuai oleh oleh sastrawan dan budayawan Minang Wisran Hadi. Anggotanya sebanyak sembilan orang yang terdiri dari empat unsur, yakni arsitek (IAI Sumatera Barat), tokoh adat (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau), ulama (MUI), serta akademisi.

Nama-nama anggota dewan juri adalah: Eko Alvares (arsitektur/IAI), Nasrun Haroen (ulama/MUI), Syamsul Bahri Khatib (tokoh adat/LKAAM), Irhash A. Shamad (sejarawan/IAIN Imam Bonjol Padang), Syamsul Asri (arsitek/Universitas Bung Hatta), Erlim Hasan (arsitek/Unand), H. Ahmadillah (pemuka agama/Dewan Masjid Indonesia), Nasrun Haroen (MUI), Rudy Ferial (insinyur sipil/Universitas Andalas), Sudirman Is (arsitek/Universitas Bung Hatta), dan Revian Body (insinyur sipil/Universitas Negeri Padang).

10 besar desain terpilih dipajang di Gubernuran. Saat melihat desain, Gubernur Gamawan langsung terpincut dengan salah satu desain yang keluar dari tradisi masjid berkubah. Bntuknya tak lagi geometris, tapi mengeksploarasi bentuk yang mirip dengan gonjong pada rumah gadang tapi sama sekali baru dan belum pernah wujud sebelumnya.

"Nah, ada satu yang unik ketika saya datang berkunjung ke panitia. Saya langsung tertarik dengan satu desain yang keluar dari tradisi berkubah. Berkubah itu sudah terlalu banyak. Saya lihat masjid-masjid besar di Kalimantan. Kita buat untuk setara dengan masjid kabuatennya saja tidak bisa, apalagi menandinginya. Belum lagi Riau dan provinsi lain. Macam-macam daerah masjidnya besar-besar. Berkubah semua. Mulai kita pikir, mencoba out of the box. Kita bisa buat masjid yang lain dari yang biasa-biasa," tutur Gamawan Fauzi.

Meski punya preferensi pribadi, Gubernur Gamawan menyerahkan hasil seleksi sepenuhnya ke pada dewan juri.

dan selanjutnya diseleksi oleh dewan juri yang berasal dari tiga kelompok, yaitu kelompok arsitek (IAI Sumatera Barat), tokoh adat (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau), dan pemuka agama (Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Masjid).

Dari sejumlah peserta tersebut, setelah mengalami proses penjurian, dihasilkan empat pemenang. Pemenang utama diraih oleh Rizal Muslimin beranggotakan Muh. Yuliansyah, Ropik Adnan, dan Irvan P. Darwis.

Harapan I diraih oleh Dwi Santi Vitorini dengan anggota Patricia Dewi Hermina Hendriana, Rullya Octarina Andi Madina Edieb, dan Achmad Deni Tardiyana. Pemenang Harapan II diraih oeh Nelly Lolita Daniel, Deddy Wahjudi, Raiyan Laksamana, Andy Sundoro, dan Sri Handayani Nurhasanah. Adapun Harapan III diraih oleh Amien Roychanie yang anggotanya yakni Achmad Fanani, Bayu Yanuardi, M Bambang Margono, dan Adi Prastyo. Semua pemenang beralamatkan di Bandung, kecuali tim Amien Roychanie dari Bekasi.

Rizal Muslimin merupakan arsitek jebolan S-1 dan S-2 Universitas Katolik Parahyangan. Ia menjadi dosen di almamaternya dan bekerja di biro arsitek Urbane di Bandung yang didirikan Ridwan Kamil, kelak menjadi Gubernur Jawa Barat. Anggota-anggota yang terlibat membantu Rizal dalam proses desain merupakan rekan sekantonya di Urbane.

Rancangan Masjid Raya Sumatera Barat hasil sayembara pernah menuai kritik, terutama disuarakan oleh DPRD Sumatera Barat. Ketua DPRD Leonardy Harmainy menyebut rancangan masjid tidak lazim lantaran tidak memiliki kubah.

Polemik sekaitan kubah mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pembangunan. Polemik baru mereda setelah terjadinya gempa bumi pada 13 September 2007. Di tengah beralihnya fokus publik pada gempa, Gubernur Gamawan Fauzi melakukan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat pada 21 Desember 2007.

Bab 5 – Arsitektur[suntiang | suntiang sumber]

Eksplorasi Bentuk Gonjong[suntiang | suntiang sumber]

Kebudayaan Minangkabau didasarkan pada kejadian yang berlaku di alam. Orang Minang memiliki falsafah untuk menjadikan alam sebagai sumber pengetahuan yang diabadikan dalam ungkapan alam takambang jadi guru (alam terhampar menjadi guru). Sifat alam yang tetap menjadi dasar untuk merumuskan adat berbuhul mati, sedangkan sifat alam yang berubah menjadi dasar merumuskan adat berbuhul sentak.

Alam merupakan sumber pengetahuan tak terbatas yang selalu dapat digali dan pada akhirnya menuntun manusia untuk mengenal Sang Pencipta. Dalam ajaran Islam, berbagai peristiwa atau kejadian di alam semesta dikenal sebagai ayat kauniyah. Banyak ayat Al-Quran tentang ilmu pengetahuan dan kewajiban menuntut ilmu yang dikaitkan dengan perintah memperhatikan alam.

Keselarasan orang Minang dengan alam tercermin dalam berbagai produk budaya, termasuk arsitektur. Aspek-aspek arsitektur Minangkabau mulai dari bentuk, konstruksi, material, ukiran, dan orientasi rumah dirancang menyesuaikan kondisi alam, seperti iklim dan topografi. Dalam arsitektur, manusia tidak pernah bisa melepaskan diri dari batasan dan hukum-hukum alam yang ada di sekitarnya.

Secara tradisional, arsitektur Minangkabau dapat dijumpai pada rumah gadang, rangkiang, balairung, dan surau. Rumah gadang adalah rumah hunian komunal sekelompok keluarga, kecuali laki-laki akil balig yang belum menikah. Rangkiang terdapat di halaman rumah gadang untuk menyimpan padi hasil panen. Balairung merupakan tempat berkumpul sekelompok kepala keluarga melakukan musyawarah. Adapun surau menjadi tempat anak laki-laki berkumpul menekuni bermacam ilmu dan keterampilan serta tidur pada malam hari. Pengaruh arsitektur tradisional Minangkabau meresap pula pada bangunan dengan fungsi keagamaan (Islam), yakni masjid.

Salah satu ciri khas yang menonjol pada arsitektur Minangkabau yakni gonjong, bentuk atap pelana yang melengkung ke atas seperti tanduk kerbau. Terdapat perbedaan pendapat mengenai asal usul bentuk gonjong. Hal ini dikarenakan sumber sejarah Minangkabau umumnya berasal dalam bentuk lisan, yaitu melalui petatah-petitih atau cerita yang disebut sebagai tambo. Di antara pendapat terkait asal bentuk atap gonjong, ada yang mengaitkannya dengan bentuk tanduk kerbau, haluan kapal, dan daun sirih bersusun.

Pendapat tentang bentuk atap gonjong berasal tanduk kerbau didasarkan pada legenda tentang asal usul kata Minangkabau. Menurut legenda, pada masa dahulu datang pasukan yang hendak menyerang wilayah Minangkabau. Untuk mencegah peperangan, penguasa setempat mengusulkan pertempuran dilakukan secara simbolis dengan adu kerbau. Kerbau milik penguasa setempat menang dalam adu kerbau sehingga menginspirasi masyarakat menamai kata Minangkabau, berasal dari kata "menang" dan "kerbau".

Sementara itu, pendapat yang mengemukakan atap gonjong berasal dari bentuk haluan kapal dikaitkan dengan kisah pendaratan kapal Iskandar Zulkarnain yang menurut tambo merupakan salah seorang nenek moyang orang Minangkabau. Panglima perang Iskandar Zulkarnain dikisahkan berlayar ke Asia Tenggara dan mendaratkan kapal di puncak Gunung Marapi Atap gonjong yang sepintas menyerupai kapal dibuat sebagai wujud kenangan masyarakat Minangkabau terhadap leluhur mereka Menurut Syafwandi, peneliti arsitektur Minangkabau dari Universitas Negeri Padang, pendapat tentang asal usul gonjong dari bentuk haluan kapal dikuatkan dengan julukan yang diberikan kepada tukang rumah adat, yakni "nankodoh rajo", yang berasal dari kata nahkoda raja.

Pendapat lainnya mengatakan bentuk gonjong melambangkan daun sirih bersusun karena sirih sejak lama menjadi perlambangan budaya yang sangat penting dan sakral di Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, sirih bermakna sebagai penyambung tali silaturahmi. Sampai saat ini, sirih masih digunakan dalam setiap kegiatan adat masyarakat Minangkabau.

Di antara peninggalan tertua dari bangunan dengan atap bergonjong yakni Rumah Gadang Kampai Nan Panjang di Nagari Balimbiang dan Balairung Sari di Nagari Pariangan yang terdapat di Kabupaten Tanah Datar. Keduanya diperkirakan berasal dari peninggalan abad ke-17. Rumah Gadang Kampai Nan Panjang merupakan rumah gadang milik Suku Kampai yang telah diwariskan secara turun-temurun kepada lima generasi. Adapun Balairung Sari merupakan tempat musyawarah dan pertemuan para pemuka masyarakat membicarakan segala hal berkaitan dengan adat Minangkabau.

Dalam bangunan modern, tradisi penggunaan gonjong secara marak dimulai di Padang, yakni pada kantor-kantor pemerintahan Sumatera Barat. Salah satu bangunan awal yang menggunakannya yakni Kantor Gubernur Sumatera Barat di Jalan Sudirman. Bangunan tersebut mulai dikerjakan pada 1961 pada masa kepemimpinan Kaharudin Datuk Rangkayo Basa dan selesai pada 1917 dan diresmikan dilakukan pemakaiannya oleh Gubernur Harun Zain pada 1971.

Rancangan awal bangunan dikerjakan oleh Biro Urip, biro arsitek tertua di Bandung dengan konsep bangunan modern berlantai empat. Bangunan memanjang menghadap jalan dengan dua sayap yang masing-masing dilengkapi dengan fasilitas lift. Di tengah pembangunan, terjadi perubahan pada desain atap dari semula hanya dak beton diubah menjadi atap berbentuk gonjong. Gagasan menampilkan gonjong muncul dari hasil diskusi antara Gubernur Kaharuddin dengan budayawan asal Kamang, Miral Manan. Penambahan gonjong di bangunan pemerintah dimaksudkan sebagai upaya "menonjolkan suatu ciri Minangkabau" pasca-penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berpusat di Sumatera Tengah

Kehadiran Kantor Gubernur Sumatera Barat menandai maraknya penggunaan gonjong sebagai identitas provinsi, termasuk lambang provinsi Sumatera Barat rancangan Ibenzani Usman pada 1971. Penerus Harun Zain, Gubernur Azwar Anas bahkan mengeluarkan himbauan agar bangunan pemerintahan di Sumatera Barat dibangun dengan atap gonjong. Penggunaan atap gonjong seiring waktu meluas hingga ke wilayah kabupaten dan kota lain. Pada 1990, melalui Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1990, penggunaan atap bagonjong secara resmi dijadikan sebuah kewajiban.

Di luar Sumatera Barat, atap bergonjong dipopulerkan oleh orang Minang yang merantau, terutama yang membuka warung makan. Gonjong menjadi simbol yang melekat pada tampilan bangunan rumah makan Padang yang tersebar di seluruh Nusantara.

Dekade awal 2000-an, mulai bermunculan eksplorasi penggunaan-penggunaan bentuk gonjong yang semula hanya transplantasi langsung dari bentuk vernakular. Gonjong tidak lagi terlihat sebagaimana bentuk asli pada rumah gadang, tetapi diimprovisasi dengan mengedepankan kesan modern. Salah satu wadah yang mendorong lahirnya eksplorasi ini yakni melalui sayembara arsitektur. Kreatifitas aristek melahirkan karya-karya memungkin gonjong diterapkan pada berbagai peruntukan bangunan, termasuk pada masjid dengan penyesuaian kebutuhan geometri.

Proses Kreatif dan Filosofi[suntiang | suntiang sumber]

Rizal adalah arsitek dari kantor konsultan arsitektur Urbane yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Desain hasil rancangannya terinspirasi dari bentuk gonjong rumah gadang dengan penyesuaian kebutuhan geometri ruang ibadah yang berdenah bujur sangkar. Secara personal, ia telah lama mengeksplorasi elemen-elemen arsitektur Minangkabau. “Kenapa saya bisa menghasilkan bentuk masjid yang bisa diterima banyak orang, karena saya sudah sejak lama suka pada arsitektur rumah gadang, tidak bisa dibikin-bikin. Dari hal yang disukai, akan muncul hal- hal yang baik, ...jadi elemen-elemen yang muncul dalam desain merupakan hal-hal yang sudah lama saya apresiasi.”

Arsitek memegang peranan penting menentukan keberlangsungan sebuah proses desain. Peran arsitek tersebut berada pada ruang kreatifitas, ketika penerjemahan sebuah abstraksi gagasan ke dalam tampilan formal berlangsung. Untuk menjembatannya, seorang arsitek membutuhkan sebuah pendekatan arsitektural yang dapat menuntun jalannya proses desain.

Pakar dan pengajar arsitektur Geoffrey Broadbent dari Amerika Serikat dalam buku The Design In Architecture (1973) menjelaskan setidaknya terdapat empat pendekatan dalam perancangan arsitektur. Keempat pendekatan dimaksud adalah: pendekatan desain secara pragmatis, pendekatan desain secara ikonis, pendekatan desain secara analogi, dan pendekatan desain secara kanonis.    

Desain pragmatis yakni penciptaan bentuk tiga dimensional atau proses desain secara pragmatis, mengacu pada proses coba-coba/mencoba-coba (trial and error), dengan memanfaatkan berbagai sumber daya  (material) yang ada sedemikian rupa memenuhi maksud yang ingin dicapai. Menurut Broadbent, proses desain secara pragmatis ini dipandang sebagai cara pertama yang dilakukan manusia dalam menciptakan suatu karya arsitektural. Sekalipun demikian metode pragmatis ini tetap dipergunakan juga pada masa sekarang, khususnya dalam kaitan dengan upaya pemanfaatan material-material baru. Teknologi konstruksi yang baru juga sering didasari pada proses pragmatis ini.

Setelah suatu bentuk tiga dimensional berhasil dikembangkan secara pragmatis dan memenuhi kebutuhan ataupun selera pembuatnya, bentukan ini biasanya akan hadir secara terus-menerus dalam rentang waktu yang sangat lama, dan tidak jarang hadir pula di berbagai daerah dan bahkan sangat berjauhan. Istilah arsitektur tradisional dan vernakular atau arsitektur rakyat (folk arsitektur), sebenarnya menunjuk pada pemahaman ini. Dengan kata lain, di sini kita berhadapan dengan suatu metode yang baru dalam hal penciptaan bentuk.

Dalam hal ini, bentuk tidak lagi diciptakan secara pragmatis (coba-coba), tetapi dengan cara mengacu (meniru/menjiplak) bentukan yang telah ada sebelumnya. Peniruan yang berulang-ulang pada akhirnya akan mengakibatkan terbentuknya image dalam masyarakat yang bersangkutan bahwa bentukan tersebut adalah bentukan yang ideal bagi mereka yang perlu dipertahankan. Cara seperti inilah yang disebut dengan proses desain secara ikonis.

Desain analogi adalah penciptaan bentukan arsitektural dengan pendekatan analogi, pada dasarnya dapat dijelaskan sebagai upaya desain yang berangkat dari suatu pengibaratan/pengandaian. Dalam hal ini objek (arsitektur atau elemen arsitektur tertentu) diibaratkan sebagai suatu hal yang spesifik. Untuk itu perlu dibedakan antara yang dianalogkan dengan analognya. Yang dianalogkan menunjukkan pada objek yang akan didesain, sementara analognya adalah objek yang menjadi sumber pengibaratan.

Desain kanonis yakni pendekatan perancangan yang didasarkan pada berbagai aspek tertentu seperti aspek geometri objek, sistem proporsi, modul, tatanan massa yang semuanya mengarah pada keteraturan sebagai dasar perancangan. Pendekatan ini lebih bernuansa intelektual (bandingkan dengan pendekatan analogis yang lebih bersifat intuitif).

Pemilihan pendekatan desain merupakan salah satu bagian dari proses kreatif yang berlangsung dalam diri arsitek. Pemilihan pendekatan desain tersebut dilakukan melalui berbagai pertimbangan, yang tentu saja dipengaruhi oleh sistem kognitif yang berlangsung dalam diri arsitek. Lawson dan Dorst dalam Design Experties (2009) menulis, ketika proses desain berlangsung, arsitek memanggil dan mengumpulkan berbagai informasi, pengetahuan dan pengalaman yang tertanam dalam memorinya untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan desain.

**

Inspirasi seorang arsitek dalam melahirkan karya adalah akumulasi design knowledge bisa berasal apa saja, dari mana saja, dan kapan saja. Dalam hal ini, design knowledge Rizal Muslimin bersumber dari pengalaman dan pengamatannya tentang Padang secara khusus dan Minangkabau secara umum.

".... Saya membangun memori tentang Kota Padang di benak saya. Saya rasakan ketika saya berada di Kota Padang, ...seperti sehabis liburan ke suatu tempat, pasti yang dirasakan campur aduk ya, kalau kita pilah pilah, ...yang terasa adalah gonjong, iklim pantainya...Kemudian memori ketika jalan di Kota Padang, Padang itu kota yang linear, dia memanjang sepanjang pantai...Kebetulan tapak ini berada di antara kota dan bandara, jadi setiap orang yang akan ke Kota Padang pasti akan melewati lahan ini. Selain itu, tidak begitu banyak bangunan tinggi...Memori yang juga muncul pada waktu itu, kan tahun 2006, jadi memori tsunami di Aceh masih segar di masyarakat, dan Kota Padang salah satu kota yang terancam...Itu semua masuk di benak saya..."

Seperti proses sayembara pada umumnya, yang dilakukan pertama kali oleh Rizal adalah mempelajari TOR dan spesifikasi teknis. Di TOR, yang menjadi garis besar dewan juri yakni bagaimana masjid merepresentasikan semboyan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Desain tersebut dinilai menjawab kebutuhan Sumbar. Selain memiliki ciri khas Minangkabau, kisah Nabi Muhammad SAW juga menjadi inspirasi dalam desainnya. Selain itu, yang tidak kalah penting, masjid didesain tahan gempa serta berfungsi sebagai selter saat gempa dan tsunami.

Filosofi[suntiang | suntiang sumber]

Ketika karya lahir, ia menjadi intepretasi sang arsitek dan publik.

Meskipun demikian, bentuk atap masjid terinspirasi dari bentangan kain sorban Nabi Muhammad yang digunakan untuk mengusung batu Hajar Aswad. Ketika empat kabilah suku Quraisy di Mekkah berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak memindahkan batu Hajar Aswad ke tempat semula setelah renovasi Ka'bah, Nabi Muhammad memutuskan meletakkan batu Hajar Aswad di atas selembar kain sehingga dapat diusung bersama oleh perwakilan dari setiap kabilah dengan memegang masing-masing sudut kain.

Respons dan Penerimaan[suntiang | suntiang sumber]

Begitu pemenang diumumkan, sempat ada suara-suara yang mempertanyakan desain Rizal Muslimin yang dianggap keluar dari langgam masjid saat itu. Sebab, umumnya masjid identik dengan kubah. Gubernur Gamawan Fauzi meladeni itu dengan mempertanyakan balik soal kubah. “Ada yang pakai kubah tetapi bukan masjid. Gedung Putih di AS, pakai kubah tapi bukan masjid. Di Rusia, banyak bangunan pakai kubah tapi bukan masjid,” ujarnya.

Di DPRD Sumatera Barat yang saat itu diketuai oleh Leonardy Harmainy, rancangan Masjid Raya Sumatra Barat sempat menuai kritik. Tak hanya karena tidak memiliki kubah, tapi bentuknya yang dikatakan mirip kapal Bugis.

Polemik sekaitan kubah mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pembangunan. Polemik baru mereda setelah terjadinya gempa bumi pada 13 September 2007. Di tengah beralihnya fokus publik pada gempa, Gubernur Gamawan Fauzi melakukan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Raya Sumatra Barat pada 21 Desember 2007.

Banyak penelitian dalam bidang studi arsitektur yang mengangkat Masjid Raya Sumatera Barat sebagai kasus studi. Karya Rizal Muslimin ini menerima banyak pujian dan apresiasi dari berbagai kelompok masyarakat karena bentuknya yang berani mendobrak pakem zaman. Di dunia akademik, penelitian mengenai masjid ini telah banyak dilakukan, terutamadari kelompok ilmu teknik sipil dan seni. Sebagian besar penelitian-penelitian tersebut, baik dari kelompok ilmu teknik sipil maupun arsitektur, dilakukan ketika awal pembangunan masjid berlangsung, yaitu tahun 2006 sampai 2007. Terkait penelitian dari rumpun arsitektur, pembahasan yang dilakukan terfokus pada aspek desain.

Penelitian Sari Triana dari Universitas Diponegoro pada 2006 melihat konsep desain Masjid Raya Sumatera Barat sebagai sebuah upaya untuk menghadirkan kebaruan dari aspek-aspek arsitektur vernakular Minangkabau ke dalam bangunan baru. Penelitian senada dilakukan oleh Ratna dari Universitas Indonesia pada 2007 menulis Masjid Raya Sumatera Barat sebagai sebuah desain yang dihasilkan dari pengawinan unsur etnik dan modernisasi yang dilakukan pada gonjong Rumah Gadang.

Sementara itu, Feni Kurniati dalam penelitiannya pada tahun 2015 membahas representasi arsitektural Masjid Raya Sumatera Barat yang dikerucutkan pada representasi nilai keislaman dan budaya lokal Minangkabau. Berikutnya, Nurhayatu Nufut Alimin dari Universitas Sebelas Maret pada 2016 mencoba menguraikan berbagai persepsi terhadap bentuk masjid yang unik.

Masjid Raya Sumatera Barat menampilkan arsitektur modern yang tak identik dengan kubah. Menurut sejarawan UIN Imam Bonjol Padang Sudarman, masjid ini sangat mengakomodasi arsitektur lokal, terutama gonjong dan ragam hias rumah gadang.

Bab 6 – Proses Pembangunan[suntiang | suntiang sumber]

Spesifikasi Teknis Bangunan[suntiang | suntiang sumber]

Bangunan utama Masjid Raya Sumatera Barat memiliki denah dasar seluas 4.430 meter persegi. Konstruksi bangunan dirancang menyikapi kondisi geografis Sumatera Barat yang beberapa kali diguncang gempa berkekuatan besar. Masjid ini ditopang oleh 631 tiang pancang dengan fondasi poer berdiameter 1,7 meter pada kedalaman 7,7 meter. Dengan kondisi topografi yang masih dalam keadaan rawa, kedalaman setiap fondasi tidak dipatok karena menyesuaikan titik jenuh tanah tanah.

Ruang utama yang dipergunakan sebagai tempat salat terletak di lantai atas berupa ruang lepas. Lantai atas dengan elevasi tujuh meter terhubung ke permukaan jalan melalui ramp atau bidang miring. Dengan luas 4.430 meter persegi, lantai atas diperkirakan dapat menampung 5.000–6.000 jemaah. Adapun lantai dua berupa mezanin berbentuk leter U memiliki luas 1.832 meter persegi.

Konstruksi rangka atap menggunakan pipa baja. Gaya vertikal beban atap didistribusikan oleh empat kolom beton miring setinggi 47 meter dan dua kolom busur bersilang yang mempertemukan kolom beton miring secara diagonal. Setiap kolom miring ditancapkan ke dalam tanah dengan kedalaman 21 meter, memiliki fondasi tiang bor sebanyak 24 titik dengan diameter 80 centimeter. Pekerjaan kolom miring melewati 13 tahap pengecoran selama 108 hari dengan memperhatikan titik koordinat yang tepat.

Masjid Raya Sumatera Barat membutuhkan biaya yang besar untuk perawatan dan operasional, meliputi mekanikal, perawatan kontruksi, dan petugas, dengan total kebutuhan dana Rp4,2 miliar per tahun.

Proses Pembangunan[suntiang | suntiang sumber]

Dari 2008 hingga 2012, pengerjaan pembangunan masjid telah melewati empat tahap. Tahap pertama untuk menyelesaikan struktur bangunan menghabiskan waktu dua tahun sejak dimulai pada awal tahun 2008. Tahap kedua dilanjutkan dengan pengerjaan ruang salat dan tempat wudu pada 2010. Tahap ketiga selama tahun berikutnya meliputi pemasangan keramik lantai dan eksterior masjid. Tiga tahap pertama berjalan dengan mengandalkan akomodasi APBD Sumatera Barat sebesar Rp103,871 miliar, Rp15,288 miliar, dan Rp31 miliar. Memasuki tahap keempat yang dimulai pada pertengahan 2012, pengerjaan menggunakan kontrak tahun jamak. Tahap keempat menggandalkan anggaran sebesar Rp25,5 miliar untuk menyelesaikan ramp, bidang miring yang terhubung ke jalan. Pekerjaan pembangunan sempat terhenti selama tahun 2013 karena ketiadaan anggaran dari provinsi.

Terkait keterbatasan pendanaan, alokasi APBD Sumatera Barat untuk pembangunan masjid semula direncanakan hanya sebagai dana stimulan. Pada awalnya, panitia pembangunan yang diketuai oleh Marlis Rahman sempat menghimpun sumbangan masyarakat untuk membantu pembangunan masjid, selain melakukan kerja sama dengan pihak swasta dan negara Timur Tengah. Namun, bantuan dari masyarakat dan perantau, termasuk donasi via nada sambung hanya berjalan untuk tahap pertama pembangunan.

Pada 2009, Kerajaan Arab Saudi telah mengirimkan bantuan untuk mendukung pembangunan masjid. Namun, bantuan dari Arab Saudi bernilai 50 juta dolar Amerika Serikat datang bersamaan dengan gempa bumi yang melanda Sumatera Barat sehingga pemerintah pusat melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengalihkan peruntukan bantuan untuk keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana.

Meski tidak rutin, Masjid Raya Sumbar telah mulai digunakan untuk ibadah sejak awal tahun 2012, terutama Salat Jumat dan Salat Ied. Masjid ini mulai menjadi tuan rumah kegiatan keagamaan tingkat provinsi seperti tablig akbar dan pertemuan lainnya. Gubernur Irwan Prayitno menjadikannya tempat kegiatan wirid rutin jajaran pegawai negeri sipil untuk memperkenalkan masjid. Namun, frekuensi pemakaian masih terbatas karena belum rampungnya fasilitas listrik dan ketiadaan air bersih.

Mengawali tahun 2014, Pemerintah Turki mengirimkan bantuan karpet permadani untuk mendukung penyelenggaran ibadah seiring kerja sama yang dibangun oleh pemerintah provinsi. Salat Jumat perdana menandai pembukaan Masjid Raya Sumatera Barat untuk salat rutin pada 7 Februari 2014. Masjid resmi dibuka untuk umum dengan frekuensi terbatas, karena belum rampungnya fasilitas listrik dan air bersih. Masjid Raya Sumatera Barat untuk kali petama digunakan sepanjang malam bulan Ramadhan.

Pada tahun 2014, pemerintah provinsi kembali menganggarkan dana Rp17,19 miliar untuk pembangunan tahap kelima, meliputi pengerjaan interior kubah. Selama pengerjaan, kegiatan ibadah diselenggarakan di lantai dasar. Penyelesaian ramp yang digunakan sebagai jalur evakuasi dikerjakan dengan memanfaatkan anggaran sebesar Rp14,5 miliar dari APBD provinsi pada tahun 2015. Memasuki pertengahan 2016, penyelesaian fasad dan lantai atas masjid dilanjutkan dengan menggunakan alokasi dana Rp37,2 miliar dari pemerintah provinsi. Akibatnya, masjid ditutup untuk kegiatan ibadah sejak 19 September. Sampai tahun 2016, ketujuh tahap pertama pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat telah menghabiskan anggaran Rp240,751 miliar.

Pada 2016, pemerintah Sumatera Barat mendapat bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum RI sebesar Rp10,1 miliar yang digunakan untuk pembangunan pekarangan. Pada tahap kedelapan, kelanjutan pembangunan dibiayai melalui penerimaan dana bantuan keuangan khusus dari dua provinsi yakni Jawa Barat dan Papua dengan total sebesar Rp12,5 miliar. Anggaran bersumber dari pemerintah provinsi Papua sebesar Rp5 miliar dan Jawa Barat sebesar Rp7,5 miliar. Bantuan tersebut digunakan untuk penyelesaian lantai dasar masjid yang akan dijadikan ruangan pertemuan, ruang penjagaan, pustaka, instansi listrik, dan lain-lain.

Penyelesaian mihrab pada lantai atas dan area parkir menurut rencana akan didanai dari APBD Sumatera Barat 2017. Setelah penetapan APBD 2017, Masjid Raya Su­matra Barat kembali mendapat penambahan anggaran sebesar Rp19,5 miliar untuk pembangunan satu menara, berubah dari rancangan awal sebanyak empat menara. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum RI kembali memberi tambahan dana untuk penyelesaian taman dan area parkir masjid sebesar Rp30,3 miliar.

Pada 2018, pemerintah daerah memberikan perpanjangan waktu kepada kontraktor untuk menyelesaikan menara karena molor dari target yang ditetapkan. Pembangunan menara sampai pada 31 Desember 2017 memakan biaya Rp14,4 miliar, sementara sisa biaya sebesar Rp5,1 miliar dianggarkan kembali pada APBD 2018 yang digabungkan dengan biaya penyelesaian interior masjid dan menara. Biaya penyelesaian pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat yang dianggarkan pada APBD 2018 yakni sebesar Rp11,4 miliar. Adapun dari pemerintah pusat, terdapat tambahan dana untuk pembangunan pagar yang belum selesai.

Selama pengerjaan interior, kegiatan ibadah dipindahkan ke lantai dasar, terhitung sejak 16 Juli 2018. Pada awal tahun 2019, lantai atas masjid kembali dibuka untuk umum yang ditandai dengan salat Jumat perdana pada 4 Januari 2019. Pembukaan ini sekaligus menandai tuntasnya pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat.

Penghargaan[suntiang | suntiang sumber]

  • Penghargaan Abdullatif Al Fozan untuk Arsitektur Masjid periode 2017–2020.

Referensi[suntiang | suntiang sumber]